Pergantian Regulasi dan Disparitas Pendidikan Tinggi
Gonta-ganti regulasi bisa mempertajam disparitas kualitas di dunia pendidikan tinggi. Langkah urgen untuk memperkecil disparitas ini dengan menjamin keterpenuhan standar nasional pendidikan tinggi.
Oleh
ASYARI
·4 menit baca
Akhir-akhir ini dunia pendidikan tinggi kembali memagnet perhatian publik. Bukan karena soal praktik nirakademik, seperti plagiasi, korupsi, transaksional di jalur penerimaan mahasiswa baru, tawuran mahasiswa, aksi kekerasan dan pelecehan seksual di kampus, melainkan karena gonta-ganti regulasi di dunia pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Pemendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 yang ditetapkan pada 16 Agustus 2023 mencabut dan menyatakan tidak berlaku empat regulasi terkait Sistem Penjaminan Mutu, Standar Pendidikan Tinggi, Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, dan Standar Pendidikan Guru. Perguruan tinggi akan ”sibuk” untuk dua tahun ke depan melakukan penyesuaian sejak permendikbudristek ini diundangkan.
Dunia pendidikan kita tidak sunyi dari gonta-ganti regulasi. Misalnya regulasi kurikulum, sejak 1947 tercatat 11 kali pergantian dan yang teranyar adalah Kurikulum Merdeka. Khusus di dunia pendidikan tinggi juga terjadi pergantian. Pada 2004, berlaku Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang merupakan pengganti Kurikulum 1994.
Delapan tahun kemudian melalui Peraturan Presiden No 8/2012 diberlakukan Kurikulum KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) dengan substantif memuat penjenjangan capaian learning outcomes dan ketentuan merekognisi pengalaman kerja belajar masa lampau serta capaian pembelajaran yang disepakati secara nasional di tengah hamparan luas Nusantara nan sarat keragaman. Pergantian ini berlanjut dengan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) berdasarkan Permendikbudristek No 3/2020 dengan semangat utamanya mendekatkan perguruan tinggi dengan dunia usaha (DUDI).
Pada prinsipnya tidak ada yang salah dengan sering terjadinya perubahan regulasi. Perkembangan dan perubahan di eksternal dunia pendidikan yang kian masif dan dinamis meniscayakan adanya respons oleh pemegang otoritas perguruan tinggi ke arah lebih baik dan membuat lebih berkualitas. Namun, perlu disadari bahwa kondisi gonta-ganti regulasi tersebut telah menjadikan perguruan tinggi selalu berada dalam transisi aturan.
Setiap perubahan regulasi dari pusat membawa implikasi turunan perlunya melakukan sinkronisasi berbagai ketentuan akademik yang menjadi guidance pelaksanaan proses belajar mengajar, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (tridharma perguruan tinggi) dengan instrumen akreditasi yang dikeluarkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) serta penyesuaian pada pola pelayanan administrasi kampus.
Perguruan tinggi yang ’kaya’ sumber daya akan cepat melakukan penyesuaian, tetapi yang ’miskin’ sumber daya, ditambah lagi jauh dari pusat, butuh tahapan dan waktu yang panjang.
Perubahan dan penyesuaian ini membutuhkan waktu, sumber daya, dan biaya. Perguruan tinggi yang ”kaya” sumber daya akan cepat melakukan penyesuaian, tetapi yang ”miskin” sumber daya, ditambah lagi jauh dari pusat, butuh tahapan dan waktu yang panjang. Berbagai acara sosialisasi, lokakarya, dan diskusi kelompok terpumpun (FGD) baik untuk dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa digelar untuk menguatkan literasi dari setiap regulasi baru.
Setelah selesai dan sukses melakukan penyesuaian kurikulum dan berbagai aturan akademik turunan untuk merespons ketentuan KBK, perguruan tinggi kemudian harus berjuang merevisi KBK ke KKNI. Begitu juga kini perguruan tinggi berlanjut sedang melakukan berbagai bongkar pasang bahan kajian/materi kuliah, metode, dan standar evaluasi serta penilaian yang sejalan dengan kebijakan Kurikulum Kampus Merdeka. Begitu terus yang akan dilakukan oleh perguruan tinggi untuk merespons berbagai perubahan regulasi yang terjadi.
Warna disparitas
Perubahan regulasi tentu membawa misi perbaikan dan peningkatan kualitas. Namun, dewasa ini di dunia pendidikan tinggi tengah terjadi disparitas kualitas. Data peringkat dan status akreditasi sebagai indikator kualitas perguruan tinggi menjelaskan adanya disparitas tersebut.
Data Statistik Pendidikan Indonesia tahun 2021 menginformasikan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok penyelenggara memperoleh nilai akreditasi program studi (prodi) yang cukup variatif. Di perguruan tinggi negeri (PTN), ada 14,40 persen prodi yang belum terakreditasi, perguruan tinggi asing (PTA) sebanyak 49,87 persen, perguruan tinggi kementerian lain (PTKL) berjumlah 21,25 persen, dan perguruan tinggi swasta (PTS) dengan jumlah 42,50 persen. Secara agregat terdapat 40 persen prodi yang belum terakreditasi.
Pada aspek sumber daya manusia, total guru besar (profesor) di Indonesia sebanyak 5.097 orang yang tersebar di 3.403 PTN dengan jumlah prodi 25.987 (rerata 0,13 persen profesor tiap prodi). Berbeda dengan kondisi di PTS dengan jumlah 15.815 prodi memiliki 1.063 guru besar (rerata 0,067 persen profesor tiap prodi). Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), guru besar berjumlah 432 dengan 1.796 prodi (rerata 0,24 persen profesor tiap prodi) dan di PTKIS terdapat 74 guru besar yang tersebar di 2.450 prodi (rerata profesor 0,030 persen).
Warna-warni disparitas tidak hanya ditemukan di PT yang dikelola Kemendikbudristek, tetapi juga ditemukan di kementerian/kelembagaan lainnya. Di Kementerian Agama, misalnya dalam rentang tujuh tahun terjadi penambahan PTKI sebanyak 154 (pada 2015 sebanyak 693 dan pada 2022 sebanyak 847). Pertumbuhan kuantitas yang bagus ini sayangnya diikuti trade off, yaitu munculnya kesenjangan kuantitas dan kualitas. Jumlah PTKI tersebut masih dominan terkonsentrasi di Jawa. Begitu juga dalam akreditasi A/unggul masih tersebar di Jawa (buku Grand Design PTKI 2020-2024 dan Data Emis Pendis 2023).
Menjamin keterpenuhan standar
Menciptakan pemerataan kualitas pendidikan tinggi merupakan hal mendesak untuk dijadikan agenda prioritas nan lebih serius. Agenda ini sudah disebutkan secara eksplisit dalam RPJMN 2020-2024. Presiden Jokowi di berbagai kesempatan memberikan arahan terkait pembangunan SDM serta 11 arah kebijakan dalam mewujudkan SDM berkualitas yang salah satunya adalah meningkatkan pemerataan layanan pendidikan berkualitas.
Peningkatan dan pemerataan kualitas SDM melalui pendidikan termasuk pendidikan tinggi menjadi titik tumpu kebijakan Presiden. Namun, dalam action-nya kebijakan ini harus diwujudkan lebih gigih oleh para pihak terkait.
Untuk memperkecil disparitas di dunia perguruan tinggi yang urgen dilakukan adalah menjamin keterpenuhan standar nasional pendidikan tinggi sebagaimana dimuat di Permendikbudristek No 53/2023 pada bagian Bab II Pasal 3 sampai Bab III Pasal 64. Pemenuhan standar ini menjadi starting point upaya peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan tinggi. Kini, alih-alih dapat meningkatkan kualitas, memenuhi standar saja perguruan tinggi masih banyak yang terseok-seok. Buktinya, masih banyak sebaran perguruan tinggi terakreditasi C dan tidak terakreditasi.
Kepastian terpenuhinya standar oleh perguruan tinggi harus mendapat tempat di semesta kebijakan dan dukungan lembaga pemerintah yang bertugas mengurusi pendidikan tinggi. Kesibukan dalam bentuk ikut mengurus suksesi di internal perguruan tinggi menjadikan perguruan tinggi sebagai kanalisasi politik dengan menggarap sivitas akademika sebagai captive market kepentingan politik dan agenda lainnya yang dapat mencederai upaya peningkatan kualitas mesti ditunda atau lebih baik ditiadakan.
Berbagai pihak yang terkait dengan dunia pendidikan tinggi harus segera mengambil peran dan gigih dalam usaha pembenahan fundamental dan simultan untuk keterpenuhan standar nasional pendidikan tinggi agar disparitas semakin kecil dan tidak dalam. Semoga
Asyari, Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri (UIN) Bukittinggi