Akreditasi dan atau pemeringkatan hanya komponen untuk melihat sejauh mana PT itu diakui dunia sebagai lembaga pendidikan kredibel. PT sebagai lembaga pendidikan harus kembali mengingat tujuan awal dari pendidikan.
Oleh
YOGIE PRANOWO
·4 menit baca
Badan Pusat Statistik merilis data, pada 2021 terdapat 3.115 perguruan tinggi di Indonesia.
Dari data ini, lembaga akreditasi nasional (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi/BAN-PT) membaginya berdasarkan peringkat akreditasi, yaitu peringkat A, B, dan C, untuk akreditasi yang dilakukan menggunakan tujuh standar serta peringkat unggul, baik sekali, baik, dan tak terakreditasi untuk akreditasi yang dilakukan dengan menggunakan IAPS 4.0 dan IAPT 3.0.
Selain peringkat akreditasi yang dikeluarkan lembaga pemerintah ini, kita juga sering mendengar adanya lembaga pemeringkat PT dari swasta, seperti QS World University Ranking (QS WUR), Webometric, dan Times Higher Education (THE).
Indikator penilaian yang digunakan, antara lain, kemampuan riset tenaga pendidik, fasilitas, kemampuan kerja lulusannya, mahasiswa internasional, kerja sama kemitraan, sistem pembelajaran, dan inovasi yang dikembangkan.
Baik pemerintah lewat BAN-PT maupun lembaga akreditasi swasta secara tak langsung telah menjadi agen marketing PT. Peringkat yang dipublikasikan disinyalir juga berpengaruh pada persepsi orang kebanyakan terhadap PT, khususnya bagi PT yang dapat akreditasi unggul.
Baik pemerintah lewat BAN-PT maupun lembaga akreditasi swasta secara tak langsung telah menjadi agen marketing PT.
Alhasil, orang kebanyakan akan melihat dan lebih memilih PT dengan status akreditasi unggul daripada yang lain. Harapannya, jika bisa kuliah di sana, niscaya akan dapat benefit lebih banyak dan tentu saja jaminan di masa depan.
Bagi masyarakat luas, kualitas PT bukan hanya dilihat dari fasilitas, landasan filosofis pengembangan kurikulum, atau jumlah riset yang berbobot. Namun, lebih daripada itu, mereka menaruh harapan pada PT agar dapat memberi jaminan ketika lulus, mereka dapat langsung bekerja dan berakhir sejahtera.
Dalam Peraturan BAN-PT Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 1 disebutkan, akreditasi PT diadakan untuk melihat apakah PT itu layak menjalankan fungsi dan peranannya sebagai institusi pendidikan atau tidak. Dengan kata lain, pada dasarnya, akreditasi PT bukan dimaksudkan sebagai jaminan mutlak akan masa depan sejahtera.
Akreditasi dan atau pemeringkatan hanya komponen untuk melihat sejauh mana PT itu diakui dunia sebagai lembaga pendidikan kredibel.
Didie SW
Masalah penafsiran
Manusia pada dasarnya makhluk berbahasa. Melalui bahasa, kita bisa memahami banyak hal di dunia ini, begitu pun sebaliknya. Artinya, dalam kehidupan, perjuangan kita merupakan perjuangan menafsirkan dunia lewat diskursus tertentu.
Dari pembahasan soal masalah penafsiran dan diskursus, Paul Ricouer dalam bukunya, Hermeneutics and the Human Sciences (1981), menarik beberapa kesimpulan. Pertama, diskursus sebagai peristiwa itu bersifat temporal dan berlalu begitu saja. Dalam konteks PT, PT dengan status akreditasi rendah, jika mau tumbuh dan berkembang, pasti akan dapat mencapai status unggul.
Sebaliknya, PT dengan status unggul akan mendapat status kurang baik jika ia tak mau berjuang mempertahankannya.
Diskursus semacam itu muncul dan hilang silih berganti. Di sinilah keunggulan dari diskursus yang dibakukan dengan tulisan. Setiap termin bisa kita lihat dan analisis lewat pemberitaan media. Artinya, status akreditasi bukanlah jaminan mutlak akan sebuah penilaian yang saklek.
Kedua, diskursus dikatakan sebagai representasi dunia secara faktual. Situasi ini memberi kerangka atas diskursus. Misalkan, status akreditasi bisa dipahami sebagai sebuah petunjuk yang telah dibuat: di level mana kelayakan PT berada sehingga PT tersebut bisa berbenah dan meningkatkan status kelayakannya sebagai lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, PT perlu memiliki fondasi yang kokoh dalam menjalankan fungsi dan peranannya sebagai lembaga pendidikan agar tujuannya tercapai.
Oleh karena itu, PT perlu memiliki fondasi yang kokoh dalam menjalankan fungsi dan peranannya sebagai lembaga pendidikan agar tujuannya tercapai. Selain itu, fondasi itu nantinya juga akan berguna sebagai jati diri PT yang selalu menekankan nilai-nilai keutamaan yang menjadi semangat sivitas akademi.
Dengan demikian, harapannya, walau PT itu belum mencapai status unggul, memiliki fondasi yang kokoh sehingga masyarakat akan tetap melihatnya sebagai PT yang kredibel dan status hanyalah masalah waktu.
Fondasi dimaksud ialah prinsip: ada (enable), mendesak (constrain), dan membangun (constitute). Pertama, enable. Artinya, segala kebijakan yang diambil PT harus selalu berdasarkan kemungkinan yang berlandaskan pada data yang sungguh ada, sesuai analisis kebutuhan, dan bukan hanya dari keinginan ataupun kepentingan sekelompok orang. Dengan demikian, kebijakan yang diambil sungguh menitikberatkan pada prinsip kepantasan, bukan sekadar subyektif belaka.
Kedua, mendesak (constrain), artinya kebijakan yang diambil juga memaksa PT beserta seluruh sivitas akademinya sadar bahwa setiap tindakan yang dilakukan memiliki tujuan yang sifatnya sosiologis, komunal, dan demi kepentingan bersama. Jadi, kebijakan yang diambil sungguh berkorelasi langsung terhadap semua aspek yang ada di PT itu dan berlaku sama, tanpa pandang bulu.
Didie SW
Ketiga, membangun (constitute), artinya selalu ada nilai yang diperjuangkan PT yang tujuannya tak lain adalah untuk membangun generasi manusia yang mampu memanusiakan manusia lainnya. Pada dasarnya, PT sebagai lembaga pendidikan harus kembali mengingat tujuan awal dari pendidikan itu sendiri, yakni tidak hanya mencerdaskan bangsa, tetapi juga mampu mendidik secara humanis sehingga melahirkan generasi manusia yang mampu memanusiakan manusia lain.
Tujuan ini akan membantu PT menyadarkan masyarakat bahwa kualitas pendidikan bukan semata hanya untuk mendapatkan kerja di tempat bonafide, melainkan jadi manusia yang utuh dan bermartabat.
Pendidikan di jenjang apa pun akhirnya bermuara pada kemanusiaan yang terus-menerus disempurnakan. Ini tugas kita bersama, semua lapisan golongan, untuk mewujudkan kultur pendidikan yang lebih bisa memanusiakan manusia ketimbang mempertanyakan status akreditasi semata.
Yogie Pranowo, Kepala Bagian Akademik Stikes Telogorejo, Semarang dan Alumnus Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.