Pragmatisme Bernegara
Pancasila tidak berhenti pada sila ketuhanan tetapi ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan bukan soal sama rata sama rasa, melainkan rakyat tidak dizalimi atau diperlakukan sebagai tumbal pembangunan.
Berbeda dengan kerajaan, negara adalah bauran antara ideologi dan pembangunan. Apabila ideologi adalah jiwa negara, maka hasil pembangunan adalah raganya. Yang membedakan raga negara-negara satu sama lain adalah jiwanya.
Ideologi memberikan landasan teoretis bernegara dan menjadi identitas pembeda suatu negara. Tidak ada dua ideologi negara yang sama, tetapi muara berideologinya sama, yakni membangun kesejahteraan rakyat.
Rakyat tak bisa hidup dengan ideologi semata, betapa pun membakar semangat, betapa pun bagus secara konseptual. Dampak konkret ideologi harus dalam bentuk kesejahteraan rakyat (a living ideology). Sampai-sampai ada tipologi negara kesejahteraan (welfare state).
Meski Indonesia bukan negara kesejahteraan, Alinea IV Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan tujuan bernegara ”untuk memajukan kesejahteraan umum”. Tidak hanya bisa makan, rakyat juga harus sehat, terampil bekerja, tinggal di tempat layak huni. Pemerintah bertanggung jawab untuk memfasilitasi ketersediaan lapangan kerja dan layanan publik yang terjangkau.
Pemimpin yang baik bukan karena fasih berideologi, melainkan turunnya angka kemiskinan, pengangguran, dan anak tengkes. Itu sebabnya, Pancasila tidak berhenti pada sila ketuhanan. Muara berideologi adalah ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan bukan soal sama rata sama rasa, melainkan rakyat tidak dizalimi atau diperlakukan sebagai tumbal pembangunan, hak-hak hidup bermartabat diakui.
Keadilan bukan soal sama rata sama rasa, melainkan rakyat tidak dizalimi atau diperlakukan sebagai tumbal pembangunan, hak-hak hidup bermartabat diakui.
Pragmatisme pembangunan
Tanpa kepemimpinan pragmatis, kesejahteraan umum hanya mimpi bernegara. Namun, ideologi pembangunan (developmentalism) tidak hanya memprasyaratkan pemimpin yang berwatak pembangun, tetapi juga tata kelola pemerintahan (good governance).
Penguasa tidak menutup mata terhadap konflik kepentingan orang-orang di lingkar kekuasaan, terutama relasi antara bisnis dan kekuasaan, kerawanan konflik kepentingan sosok penguasa (pejabat) yang sekaligus pengusaha.
Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum, salah satu fokus ekonomi sembilan tahun terakhir rezim pemerintahan Joko Widodo adalah investasi dan pembangunan infrastruktur yang masif di seluruh Indonesia, yang belum pernah terjadi sebelumnya, meski masih dominan di Pulau Jawa.
Ratusan pembangunan infrastruktur tergolong proyek strategis nasional (PSN) meliputi jalan tol, pos lintas batas negara, jalur kereta api, pelabuhan, bandar udara, irigasi, bendungan, jaringan tulang punggung serat optik nasional, dan Ibu Kota Nusantara.
Untuk membiayai pembangunan, salah satunya dengan utang. Pembayaran bunga utang pemerintah dalam RAPBN 2024 mencapai Rp 497,3 triliun atau 20 persennya, komponen tertinggi dari total belanja negara (selain belanja gaji, barang, modal, subsidi, hibah, bantuan sosial). Biasanya komponen tertinggi adalah belanja gaji dan barang.
Pemerintah juga gencar dalam realisasi investasi yang bernilai strategis, seperti smelter, pabrik baterai litium, dan otomotif (mobil listrik).
Namun, harus selalu diingat kesalahan model pembangunan tinggal landas dengan menjadikan rakyat tertinggal sebagai landasan pacu. Yang terbaru adalah konflik masyarakat adat di Pulau Rempang dengan aparat negara yang hendak mengamankan salah satu PSN.
Lima dekade lalu, sosiolog Peter Berger mengkritik model pembangunan yang menjadikan rakyat sebagai korban sakralisasi investasi dan pembangunan yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi (Pyramids of Sacrifice: Political Ethics and Social Change, 1976).
Pembangunan adalah satu soal. Efisiensi dan kualitasnya adalah soal lain.
Proyek pengadaan menara BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika yang bernilai Rp 17 triliun dikorupsi Rp 8 triliun, hampir separuh nilai proyek. Salah satu tersangka korupsi adalah menteri terkait.
Direktur utama sebuah BUMN sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek jalan tol senilai Rp 13,5 triliun, dengan kerugian negara Rp 1,5 triliun (berpotensi meningkat), lebih dari 10 persen. Obyek korupsi itu dekat Jakarta. Bisa dibayangkan betapa sulitnya pengawasan bagi proyek-proyek strategis nasional yang jauh dari pusat pemerintahan, dengan kepala daerah sebagai raja-raja kecil.
Korupsi bernegara
Musuh nomor satu good governance adalah perilaku koruptif. Korupsi tidak hanya mengurangi kualitas, tetapi juga menghambat pembangunan, membuat rakyat miskin tetap tertinggal.
Dengan susah payah skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merayap 8 poin dari 32 menjadi 40 (skala 0-100), selama 2012-2019. Namun, hanya dalam setahun (2020), skor anjlok 3 poin (37). Tahun berikutnya (2021), skor naik 1 poin (38), tetapi tahun berikutnya (2002) anjlok lebih dalam lagi, 4 poin (34). Peringkat IPK Indonesia di dunia global pun merosot ke-110 (dari 180 negara), dari ke-96 sebelumnya.
Dua kali skor anjlok dalam tiga tahun menggambarkan tren penurunan kinerja pemberantasan korupsi dan seharusnya mengkhawatirkan.
Yang hilang dari KPK versi baru adalah keliarannya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan (sipil, militer).
Bahwa korupsi berbanding lurus dengan pembangunan bisa diambil contoh dari Vietnam yang kini menjadi primadona tujuan investasi asing. Produk domestik bruto per kapita Negeri Paman Ho sebesar 4.164 dollar AS, makin mendekati Indonesia yang 4.788 dollar AS.
Capaian kemajuan Vietnam (berideologi komunisme) yang konsisten sebanding dengan peningkatan skor IPK dari 39 (peringkat ke-87) menjadi 42 (peringkat ke-77). Ini membuat Indonesia yang pada peringkat ke-110 berada 33 peringkat di bawahnya.
Anjloknya IPK Indonesia tak bisa dipisahkan dari pengesahan rancangan undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sejak awal ditolak masyarakat antikorupsi.
Dengan revisi itu, KPK masuk ke dalam pusaran birokratisasi dan subordinasi kekuasaan (seperti halnya kejaksaan dan kepolisian). Yang hilang dari KPK versi baru adalah keliarannya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan (sipil, militer).
Hasilnya adalah KPK yang lebih jinak dan tergerus marwahnya, sesuatu yang belum waktunya terjadi di tengah korupsi di Indonesia yang tak ada matinya, yang hanya berganti aktor dan modus. Pelemahan KPK secara sistematis berhasil setelah masyarakat sipil terbelah oleh isu bahwa KPK disusupi radikalisme agama.
Tampak juga wajah sebenarnya dari banyak partai pendukung pemerintah, terutama yang kadernya menjadi korban keliaran KPK versi lama.
Momentum penjinakan komisi antirasuah tiba. Buah revisi UU KPK terang benderang. Independensinya diragukan di tengah problem kode etik yang menerpa beberapa komisionernya. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah komisi antirasuah kita.
Kekuatan jahat korupsi tidak mampu dinetralkan KPK versi baru. Penguasa dan partai politik pun tidak merasa risau dengan keberlanjutan tren negatif pemberantasan korupsi.
Keniscayaan perubahan
Ekses pembangunan (lemahnya pengawasan dan korupsi bernegara) tidak boleh berlanjut. Namun, narasi politik menjelang pemilu adalah mempertentangkan keberlanjutan dengan perubahan. Masyarakat pun tergiring untuk menolak jargon perubahan.
Bukan hanya penyangkalan realitas sosial, tetapi juga pembodohan massal. Ekses buruk pragmatisme bernegara pun berlanjut di tengah euforia pembangunan ekonomi. Rakyat kecil tergusur dari hiruk-pikuk investasi dan pembangunan.
Segala sesuatu di dunia mengalir, panta rei, dan yang tetap itu hanya perubahan, begitu pandangan Herakleitos, filsuf Yunani pra-Sokrates. Apabila kita menginjak sungai dangkal dengan air mengalir, air yang menyentuh tumit kita hari ini bukan air kemarin, demikian juga air esok bukan air hari ini. Air yang menyentuh tumit kita selalu berubah. Perubahan itu sebuah keniscayaan.
Jalannya pembangunan sekarang dan seterusnya bukan hanya memerlukan keberlanjutan, tetapi juga koreksi, harus ada perubahan. Jangan membodohi rakyat dengan gegap gempita pembangunan di tengah pesta pora para koruptor.
Diksi keberpihakan Presiden tidak boleh hanya berhenti pada keberlanjutan. Para calon presiden pun harus memiliki jati diri otentik, mampu meneruskan warisan baik dan mampu mengoreksi penyimpangan dari kepemimpinan sebelumnya.
Baca juga : Republik Korupsi
Yonky KarmanPengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta