Dua Republik, Satu Kesenjangan
Ikhtiar untuk menemukan kembali Republik Indonesia adalah panggilan dan kewajiban mulia bagi setiap pemimpin dan warganya untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera.
”Reinventing Indonesia!
Jangan-jangan itulah yang mendesak dewasa ini”
(Jakob Oetama, 2005)
Saat Benjamin Franklin (1706-1790) keluar dari Balai Kemerdekaan di Philadelphia setelah Konvensi Konstitusi pada 1787, Elizabeth Powel (1742/3-1830) berteriak: ”Doktor, apa yang kita punya? Republik atau Monarki?” Franklin menjawab: ”Republik, jika Anda bisa mempertahankannya” (James McHenry, 18 September 1787).
Amerika adalah sebuah Republik, demokrasi perwakilan. Republik menuntut para pemimpin untuk berbudi luhur dan bermahkota meritokrasi, seperti para pendiri Republik yang dikenang sebagai Men of Merit. Meritokrasi melapangkan kesempatan yang setara bagi setiap pemimpin yang cakap dan bijak untuk menyelenggarakan pemerintahan republik secara benar demi terwujudnya keadilan sosial untuk semua (social justice for all).
Seperti Amerika, Indonesia adalah sebuah Republik. Para pendiri Republik menjiwai pikiran-pikiran demokrasi modern di Amerika, mulai dari John Locke, Thomas Jefferson, hingga Abraham Lincoln. Mereka pun memilih bentuk ”Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, dan menjanjikan keadilan dan kesejahteraan sebagai tujuan berdirinya Republik.
Namun, dua Republik yang bervisi keadilan itu hilang. Republik yang hilang dalam politik kontemporer Amerika itu dikumandangkan oleh profesor Lawrence Lessig di Harvard Law School. Dalam Republic, Lost (2011), Lessig melihat korupsi sebagai akar kejahatan yang merobek-robek republik Amerika.
Korupsi telah merusak Kongres dan para wakil rakyat pun tergantung bukan kepada rakyat, tetapi pada uang korupsi dari para pelobi politik untuk mendanai kampanye politik. Itulah kejahatan banal dari ”orang kaya” yang memperoleh kekayaan bukan melalui kerja keras, kreativitas, dan inovasi, tetapi melalui korupsi dan manipulasi pemerintah. Tata kelola pemerintahan menjadi buruk dan menjerumuskan kondisi Republik pada American Kakistocracy, yakni ”pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang terburuk dan paling tidak bermoral” (Norm Ornstein, 2017).
Seperti Amerika, Indonesia adalah ”Republik korupsi”, tegas Budiman Tanuredjo, (Kompas, 25 Maret 2023), karena praktik kejahatan luar biasa ini telah menggurita di semua lini penyelenggaraan negara. Korupsi menjadi budaya dan jalan hidup bagi penyelenggara Republik yang beretorika dengan visi keadilan sosial untuk semua.
Baca juga: Menagih Janji Kemerdekaan
Keadilan sosial adalah visi para pendiri di dua Republik. Di Amerika, keadilan sosial diinternalisasikan ke dalam pikiran dan hati siswa/siswi pada pagi hari di seluruh sekolah agar mereka bersumpah setia pada bendera Amerika Serikat dan pada Republik yang menjadi sandarannya, satu bangsa, di bawah Tuhan, dengan kebebasan dan keadilan bagi semua.
Namun, janji keadilan untuk semua yang menjadi visi pendiri Republik itu tak pernah terlunasi secara tuntas. Amerika justru bergerak menjadi Republik yang ditandai dengan ketidakadilan sosial karena, seperti kata profesor Joseph Stiglitz di Universitas Columbia, ekonomi Amerika gagal dalam menyejahterakan mayoritas warganya.
Dalam The Price of Inequality (2012), peraih Nobel ekonomi tahun 2001 itu mengingatkan tentang mahalnya harga kesenjangan di Republik Amerika—sistem ekonomi yang kurang stabil dan kurang efisien, pertumbuhan yang lebih rendah, dan demokrasi yang berada dalam bahaya. ”Karena sistem ekonomi terlihat gagal bagi sebagian besar masyarakat, dan karena sistem politik tampaknya dikuasai oleh kepentingan-kepentingan uang,” demikian peringatan Stiglitz (2012), ”maka kepercayaan terhadap demokrasi dan ekonomi pasar akan terkikis seiring dengan pengaruh global”.
Seperti Amerika, Indonesia adalah Republik yang bervisi keadilan dan kesejahteraan. Visi ini terucapkan dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945: ”Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah semua rakyatnya sejahtera? Rakyat ingin sejahtera, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.” Namun, setelah 78 tahun merdeka, Republik ini justru ditandai dengan ketidakadilan sosial bagi mayoritas rakyat, kesejahteraan yang compang-camping, dan kesenjangan yang naik (rising inequality), seperti halnya terjadi di Amerika. Praktik ekonomi jauh dari keadilan dan pemerataan, sementara perwakilan rakyat yang menjadi inti Republik justru tersandera berbagai kepentingan uang.
Itulah potret dua Republik yang berujung pada satu kesenjangan yang justru membahayakan keberlangsungan kemanusiaan yang adil dan setara. Untuk itulah, kebutuhan yang mendesak dewasa ini, sesuai dengan petuah bijak Jakob Oetama (2005), adalah reinventing Indonesia. Ikhtiar untuk menemukan kembali Republik Indonesia adalah panggilan dan kewajiban mulia bagi setiap pemimpin dan warganya untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera sesuai dengan impian para pendiri Republik ini.