Dengan kualitas pendidikan yang tertinggal jauh dari dunia dan negara-negara Asia Tenggara sekalipun, kaum fakir miskin justru menjalani hidup dalam penjara kemiskinan.
Oleh
SUKIDI
·3 menit baca
Lebih dari 78 tahun silam, ibu dan bapak pendiri bangsa menjanjikan kecerdasan sebagai tujuan Indonesia merdeka. Dengan kecerdasan yang tinggi, Indonesia dicita-citakan menjadi bangsa yang makmur. Kemakmuran bangsa-bangsa (The Wealth of Nations) ditentukan tidak hanya faktor iklim (Montesquieu, De L’Esprit des Lois, 1748), keterampilan, spesialisasi, dan pembagian kerja (Smith, The Wealth of Nations, 1776), keyakinan, nilai dan sikap psikologis (Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, 1904), geografi (Diamond, Guns, Germs and Steel, 1998), dan budaya (Landes, The Wealth and Poverty of Nations, 1998; Harrison dan Huntington, Culture Matters, 2000), tetapi juga faktor kecerdasan (Lynn dan Vanhanen, IQ and The Wealth of Nations, 2002). Kecerdasan yang tinggi menjadi faktor utama bagi kemakmuran bangsa-bangsa.
Namun, setelah 78 tahun merdeka, janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak pernah dilunasi. Kecerdasan bangsa Indonesia tertinggal jauh dari dunia dan negara tetangga. Rata-rata IQ warganya, sesuai riset World Population Review, sebesar 78,49. Skor IQ yang rendah ini menempatkan kecerdasan penduduk Indonesia pada peringkat 130 di dunia dan terendah kedua di Asia Tenggara.
Kecerdasan yang rendah berkorelasi dengan banyaknya penduduk yang hidup dalam kemiskinan multidimensi. Kemiskinan bukan melulu soal jumlah 25,90 juta rakyat miskin per Maret 2023, dengan hanya berbasis pada satu dimensi kemiskinan moneter saja (monetary poverty).
Potret kemiskinan perlu diukur dari dimensi yang beragam dan luas. Kemiskinan multidimensi ini pasti jauh lebih besar dan memprihatinkan, karena rakyat fakir miskin mengalami deprivasi dengan tidak memperoleh akses dan kesempatan yang adil dan setara pada infrastruktur kesehatan (nutrisi dan kematian anak), pendidikan (lama dan kehadiran di sekolah), dan standar hidup yang layak (bahan bakar masak, sanitasi, air bersih, listrik, tipe rumah, dan aset-aset).
Tiga dimensi kemiskinan (multidimensional poverty index) yang diperkenalkan UNDP (United Nations Development Programme) dan OPHI (Oxford Poverty and Human Development Initiative) sejak tahun 2010 ini seharusnya menjadi kerangka acuan baru bagi para pemimpin masa depan untuk melunasi janji kemerdekaan tanpa kemiskinan.
Kecerdasan yang rendah bukan hanya berkorelasi dengan kemiskinan multidimensi, tetapi juga pada penyelenggaraan pendidikan yang jauh dari kualitas yang memadai, mulai dari kualitas guru, metode pembelajaran, kurikulum pelajaran, hingga infrastruktur pendidikan. Alih-alih mencerdaskan, pendidikan justru menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan sama sekali bagi kaum fakir miskin.
Tak sedikit di antara mereka yang putus sekolah di berbagai jenjang pendidikan dan akhirnya terserap ke dunia kerja dengan bekal pendidikan yang rendah. Akibatnya, pendidikan yang rendah berkorelasi langsung dengan pendapatan yang kecil. Inilah, antara lain, faktor penghambat bagi fakir miskin untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Dengan kualitas pendidikan yang tertinggal jauh dari dunia dan negara-negara Asia Tenggara sekalipun, kaum fakir miskin justru menjalani hidup dalam penjara kemiskinan. Konsekuensinya, kemiskinan justru menghambat tumbuhnya kecerdasan kognitif. Inilah temuan baru Sendhil Mullainathan, profesor ekonomi di Harvard.
Dalam artikel, “Poverty Impedes Cognitive Function” (Science no 341, 2013), Mani, Mullainathan, Shafir dan Zhao melaporkan temuan baru terkait bagaimana kemiskinan justru menghambat kecerdasan: “Menjadi miskin berarti mengatasi tidak hanya kekurangan uang, tetapi juga kekurangan sumber daya kognitif. Orang miskin, dalam pandangan ini, kurang mampu bukan karena sifat yang melekat (pada dirinya), tetapi karena konteks kemiskinan itu sendiri membebankan dan menghalangi kapasitas kognitif. Temuannya, dengan kata lain, bukan tentang orang miskin, tapi tentang orang yang merasa dirinya miskin.”
Impian Indonesia sebagai bangsa yang maju pada perayaan 100 tahun kemerdekaan harus dimulai dengan komitmen dan kesadaran penuh bahwa kemakmuran bangsa ini hanya terwujud melalui pelunasan janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ikhtiar untuk mewujudkan kecerdasan bangsa yang tinggi harus ditempuh melalui, pertama dan utama, pembaruan pendidikan nasional secara komprehensif. Karena, kecerdasan IQ masyarakat yang tinggi menjadi penentu utama bagi kemakmuran Indonesia (the Wealth of Indonesian Nation).