Saya berusaha kreatif memanfaatkan tas-tas kain yang ”terpaksa” hadir ini, seperti sejak lama saya memakai-ulang amplop kertas dari berbagai dokumen fisik yang datang.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·4 menit baca
Beberapa tahun terakhir ini dampak sampah plastik bukan lagi menjadi isu di kalangan pemerhati lingkungan, tetapi sudah menjadi fokus kepedulian banyak pihak, termasuk pemerintah. Kegigihan advokasi para aktivis lingkungan telah melahirkan, paling tidak, peraturan pelarangan tas plastik belanjaan ritel di banyak kota besar Indonesia, terutama Jakarta. Ramai juga restoran yang menyetop pemberian sedotan minuman.
Apakah ini sebuah kemajuan? Ya. Apakah ini lantas menyelesaikan masalah sampah? Tidak.
Bahkan kadang, memunculkan sampah anyar.
Pelarangan pemakaian tas plastik berbuah menjamurnya tas berbahan kain (spunbound), persis seperti puluhan tahun lalu tas plastik menjamur sejak tas berbahan kertas dijauhi karena bersumber dari pohon yang ditebangi. Dari seabrek kegiatan bisnis dan sosial yang kerap memberikan materi fisik atau cendera mata, atau pembelian makanan yang dibawa pulang (takeaway), tak terasa bertumpuk tas kain di rumah saya.
Bukannya saya tidak rajin membawa tas belanja sendiri, tetapi kadang bentuk tas belanja yang mudah dilipat dan masuk tas sulit untuk membawa makanan karena alasnya tidak lebar. Kalau masih beli sendiri takeaway saya bisa mengakali memegangnya, tapi sulit bersikeras saat memesan makanan secara daring atau menerima hantaran dari handai-taulan—semua resto, demi kebersihan dan keamanan pengantaran, mengemas rapat pesanan dalam tas pilihan mereka sebelum diberikan ke pengemudi pengantar.
Saya berusaha kreatif memanfaatkan tas-tas kain yang ”terpaksa” hadir ini, seperti sejak lama saya memakai-ulang amplop kertas dari berbagai dokumen fisik yang datang. Tas saya pakai membawa kebutuhan sehari-hari, mengirim makanan, mengembalikan barang, bahkan mengemas bingkisan. Teman-teman karib saya hafal bahwa kado ulang tahun mereka kerap dijinjing dalam tas spunbound murah berwarna menyolok atau bahkan bertuliskan nama acara. Saya bahkan sering mengembalikannya ke restoran kalau besok-besoknya lewat.
Namun, tas kain tak kunjung habis di lemari dapur saya yang berukuran mungil itu. Beberapa juga sulit dipakai ulang karena kecil, ringkih, bertali terlalu pipih, terlanjur melekat aroma makanan yang dibawanya, atau dipenuhi identitas sebuah acara yang sulit pas untuk keperluan lain.
Seperti dulu ada kenalan berkomentar bahwa berkas kerja sosial yang saya kirim diamplopi dari bank, kemarin ada kawan meledek bahwa tas kain bermarka pameran perak ternyata berisi oleh-oleh ampyang. Saya jadi memandangi kemasan dari kain sisa produksi yang diikhtiarkan beberapa merek berpikiran progresif di Indonesia, dengan label terjahit rapi di permukaan, yang mungkin hanya bisa dipakai lagi untuk menghadiahkan merek yang sama ke orang. Bahkan, untuk memakai-ulang benda yang masih sangat layak pun kadang saya harus meluangkan waktu menimbang apakah situasinya tepat.
Saat saya melihat berkeliling ke keseharian hidup di sekitar, nyata bahwa tiap saat manusia memang menghasilkan sampah yang tak selalu bisa dihancurkan alam atau didaur ulang, ironisnya kadang saat kita menghindari menumpuk sampah. Dalam sebuah diskusi publik, saya pernah ceritakan ke seorang aktivis anti-kemasan plastik bahwa tren mengirim penganan Ramadhan dalam rantang telah menghasilkan tumpukan rantang yang tak selalu bisa dipakai lagi oleh si penerima karena tak cocok dengan tipe makanan yang ia mau kirim ke orang lain.
Dalam kasus saya, bahkan saya sudah berikhtiar menawarkan rantang ke penjual makanan yang sedang saya pesan, dengan ongkos kirim ke dapurnya saya bayar, tetapi ditolak. ”Repot-repot, Mbak, kami sudah ada kemasan sendiri. Kemasannya bagus dan cocok untuk makanannya,” lebih kurang ini yang saya dengar.
Kalau diulas lebih jauh, rantang-rantang yang saya terima itu bukan barang bekas hasil berburu di pasar loak, melainkan benda anyar sekadar bermodel lawas. Mengelak menghasilkan plastik sebagai sampah, tetapi melahirkan sampah baru yang saat diproduksi memakai sumber daya yang tersisa.
Mumet, mbulet.
Solusi ideal tentunya adalah tiap orang setiap saat membawa tas besar cocok untuk berbagai keperluan, tapi itu tidak realistis. Saya tahu banyak pria yang lebih rela membayar biaya ekstra ketimbang repot membawa tas belanja. Bahkan, saya pernah bertanya-tanya apakah jejak karbon yang akan saya hasilkan dari mengirimkan persediaan rantang di rumah ke penjual makanan itu lebih rendah dari kemasan yang mereka sediakan.
Saya makin berpikir jauh, bila benar beberapa tahun lagi pemakaian kemasan styrofoam akan diharamkan di Indonesia, ke kemasan apa pengusaha makanan akan beralih dan apakah itu akan menghasilkan kategori sampah baru? Pertimbangan biaya akan amat berperan—pengusaha cenderung enggan menyerap penambahan biaya, pembeli juga bisa kabur kalau harga melejit gara-gara komponen biaya baru.
Seorang kawan pernah mendebat balik bahwa industri tas belanja kain menghidupi banyak pekerja, sambil menyebut korban PHK saat beberapa pengusaha tas plastik abai mengikuti zaman dan terpaksa gulung tikar. Di negara seperti Indonesia yang lapangan pekerjaannya belum mengimbangi bonus demografi, isu lingkungan memang tidak bisa elitis. Mirip kasus Ghana, lokasi pasar loak pakaian terbesar di dunia, yang menurut reportase terbaru Business of Fashion, pemerintahnya ingin melarang impor pakaian bekas demi melindungi industri tekstil dan ritel lokal tetapi bingung karena bisnis loakan baju juga menghidupi ribuan pekerja.
Belum lagi kalau diargumentasikan lebih jauh, seperti tulisan saya di kolom ini saat Pemerintah Indonesia melarang impor baju bekas bahwa baju bekas cenderung lebih ramah lingkungan karena tidak perlu diproduksi lagi dan menghindar berujung jadi sampah.
Antara penghidupan dan lingkungan. Antara sampah kategori satu ke lainnya. Mumet dan mbulet permasalahannya.
Jadi Anda minggu ini sudah menyampah kategori apa saja?