Tanpa skripsi untuk S-1 sebenarnya bukan hal baru. Kampus saya pernah memberlakukan dua mata kuliah khusus sebagai pengganti skripsi.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
Bulan lalu saya diundang panitia orientasi mahasiswa baru almamater S-1 untuk berbincang dengan mahasiswa baru. Lebih dari kehormatan, saya merasa itu kesempatan ”berbakti balik” ke almamater yang sudah berjasa membekali ilmu. Jadi, undangan saya penuhi walau pagi sekali.
Sesi berlangsung lancar. Saya sendiri belajar dari pertanyaan para mahasiswa dan kisah dua alumnus lain yang diundang sambil berharap yang saya bagi relevan dan berguna bagi generasi yang menghadapi dunia yang berbeda dari saat saya seumur mereka. Kemajuan teknologi dalam dua dekade terakhir lebih cepat memutar dunia dan lebih rajin menjungkirbalikkan pasal untuk lebih baik atau tidak.
Saya jadi terpikir lagi wajah-wajah segar di auditorium dekanat kampus jaket kuning kemarin itu karena dua putusan pemerintah setelahnya—Mahkamah Konstitusi membolehkan kampanye praktis di kampus dan Menteri Pendidikan menghapuskan kewajiban skripsi.
Hmm.
Politik sebenarnya bukan hal baru di kampus-kampus republik ini. Protes publik mahasiswa pada 1966 (Tritura), 15 Januari 1974 (Malari), dan Mei 1998 (Reformasi) membuahkan banyak hal signifikan, termasuk bergantinya rezim. Tak heran Soeharto memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada akhir 1970-an untuk membungkam aktivitas politik kampus, yang buahnya sampai kemarin adalah haramnya kampanye politik terlepas mayoritas mahasiswa sudah dewasa dan berhak nyoblos. Namun, di bawah NKK/BKK, pada zaman Orba pun tetap hidup organisasi mahasiswa yang berafiliasi, diakui atau tidak, ke kubu-kubu politik tertentu. Banyak mantan aktivis kampus jadi politikus. Jadi, politik negara selalu hadir di kampus.
Di sisi lain, saya tak buta, pendidikan formal Indonesia miskin membekali dasar politik. Jelas berisiko saat para pemilih pertama terkonsentrasi dalam ruang padat dan dipaparkan pada kampanye terbuka di era media sosial yang mudah membakar menjalar. Muda, bersemangat, belum berpikir panjang, risiko konflik jelas ada. Apakah proses belajar berisiko terganggu? Tentu.
Tapi, ini peluang untuk mendidik mahasiswa, walau bukan atas sesuatu yang jadi bahan ujian formal. Lebih baik gesekan terjadi di bawah pantauan para pendidik ketimbang liar di ruang publik. Ini juga kesempatan mengajarkan konsekuensi bahwa bila mahasiswa melalaikan studi, pun demi alasan ”seluhur” pembelajaran politik, maka yang mundur lulusnya, ya, mereka sendiri.
Seperti yang saya cetuskan di depan angkatan baru kemarin, bonus demografi artinya juga bonus saingan untuk peluang pekerjaan dan berwiraswasta, apalagi bila lulusnya makin belakangan. Secara hukum mahasiswa berumur dewasa, sudah waktunya latihan hidup nyata yang tak pernah lepas dari risiko di antara fakta.
Beberapa teman dengan anak mahasiswa misuh-misuh; sebagai orangtua yang ingin hidup anaknya mulus, mereka melihat ini sebagai potensi gangguan. Kekhawatiran ini sah, tapi ada kepentingan lebih besar bagi bangsa bila generasi pemilih pertama terbesar dalam sejarah kita ini tak dipaparkan terbuka ke politik mumpung masih banyak yang lebih senior untuk memadamkan bara.
Sebentar lagi mereka cukup usia untuk menjadi praktisi politik karena generasi tertua akan pensiun atau mundur. Mau jadi apa politik Indonesia bila praktisi baru, kemungkinan dalam jumlah terbesar juga, tak ditempa latihan saat kesalahannya belum berongkos nasib negara?
Bila latihan kehidupan adalah alasan saya mendukung keputusan MK soal kampanye politik di kampus, alasan yang sama membuat saya mempertanyakan keputusan Mendikbud tak mewajibkan skripsi.
Tanpa skripsi untuk S-1 sebenarnya bukan hal baru. Kampus saya pernah memberlakukan dua mata kuliah khusus (capstone) sebagai pengganti skripsi di tahun saya memulai skripsi; beberapa teman mengambil dan lulus dalam satu semester. Namun, ayah saya, yang biasanya demokratis, kali itu bersikap tegas—saya harus menulis skripsi. Alasan beliau, latihan menuangkan isi kepala secara terstruktur dalam bentuk tulisan agar bisa obyektif dinilai, dan syukur-syukur berguna untuk orang lain.
Selama dua semester berikutnya hidup saya bukan jalan tol. Ada minggu-minggu kepentok pemilihan topik, ketersediaan data, jadwal bimbingan, dan sejujurnya, berbulan-bulan godaan kemalasan. Pada suatu titik, pembimbing skripsi, yang kebetulan seruangan dengan pembimbing akademis saya, sampai ”mengancam” akan melepas saya sebagai bimbingan bila tidak segera menyelesaikan bab berikutnya.
Apa saya jengkel dan stres? Ya. Dan saat itu internet masih sebatas layanan surel, ruangan percakapan teks, dan beberapa situs. Belum bisa mengunduh data, membuat janji dengan dosen via aplikasi, apalagi konsultasi daring. Tapi, lika-liku yang saya lakoni setahun itu bukan hanya berujung baik, ia menjadi modal efektif saat menulis proposal kegiatan atau perencanaan bisnis di dunia pekerjaan.
Bahkan, sejujurnya, saat saya sudah berada di titik manajerial tertentu dan harus membaca proposal anak buah, saya kadang jengkel karena mereka sulit mengerucutkan buah pikir dalam selembar kertas. Ada yang bahkan tetap gagal merevisi setelah saya berikan contoh proposal yang baik. Ini anak pernah menulis makalah tidak, sih, waktu kuliah? Kadang saya gemas dalam hati.
Bila alasannya negara lain tidak mewajibkan skripsi S-1, perlu serius introspeksi apakah sejauh ini pendidikan formal Indonesia sudah sukses membangun kemampuan mengonsepkan ide dan mengutarakannya secara terstruktur. Mungkin hasil skripsi saya tidak berguna bagi orang lain, tapi pengalaman mengerjakannya membentuk keterampilan tersendiri yang berguna sampai hari ini.
Jika alasannya agar bonus demografi ini lekas masuk ke pasar tenaga kerja produktif dan stop membebani keluarga atau negara, maka seharusnya yang diperkuat adalah pendidikan kejuruan seperti di Vietnam. Tapi, bila Indonesia masih malu-malu kucing banting setir ke lini vokasi, jangan lupa bahwa S-1 seharusnya mencetak lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk berkonsep dalam struktur. Skripsi adalah batu ujian penting untuk mengetes kemampuan itu.
Pada akhirnya, buah sebenarnya dari kedua keputusan ini baru terlihat sekian tahun dari sekarang, saat zaman mungkin juga sudah berbeda dari tahun pengambilan keputusan. Sekali lagi saya terbayang wajah-wajah penuh harapan yang saya lihat di kampus almamater kemarin, dan demi mereka dan bangsa yang saking beranekanya susah dibuatkan kebijakan publik ini, saya berharap kedua keputusan ini akan berbuah kebaikan.
Skripsi tak wajib, politik masuk kampus? Gaudeamus igitur, iuvenes dum sumus.