Gila juga kalau dipikir bahwa sebelum 2020 relatif hanya nakes yang akrab dengan masker medis, tetapi sekarang banyak orang awam yang fasih berdebat tentang masker persegi panjang, duckbill, KF94, KN95, dan sebagainya
Oleh
Lynda Ibrahim
·4 menit baca
Di sela kesibukan pekerjaan minggu ini, saya dan seorang teman menyempatkan diri menonton besutan terkini Disney, The Little Mermaid. Selain mengagumi animasi yang kian memanipulasi indra pemirsa, di mana batas antara kartun dan manusia nyaris tak tertangkap, kami tersenyum simpul melihat ketujuh putri Raja Triton tampil dalam berbagai ras.
Bila tahun 1989 Ariel dimodelkan animasinya dari Sherri Lynn Stoner yang Kaukasia, kali ini ia diperankan Halle Lynn Barry yang keturunan Afrika-Amerika. Potongan dialog Ursula tentang bahasa tubuh perempuan dan adegan koki istana yang berusaha memasak Sebastian sang kepiting pun hilang. Bukan hanya teknologi yang progresif, tata-nilai pun mengikuti. Sungguh sebuah penanda zaman.
Penanda zaman tidak selalu tentang hal-hal gembira dan benderang. Penanda zaman pun menyertai masa-masa muram nan kelam. Baru-baru ini saya menjumpai keduanya.
Dari berbagai peringatan Reformasi 1998, ada satu acara yang agak berbeda. Acara ini berkaitan dengan Dr Saparinah Sadli, akademisi dan pejuang kesetaraan jender yang namanya tertoreh dalam sejarah sebagai penentang gigih kekerasan pada wanita dalam kerusuhan menjelang Reformasi. Dia juga pendiri Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia dan ketua pertama Komisi Nasional Perempuan.
Tak cukup kolom ini untuk membahas sepak terjang Ibu Sap, panggilan akrab beliau, demi perempuan Indonesia. Namun yang jelas, kegigihannya selama berdekade telah mengingatkan komunitas di sekitarnya akan burung hong (phoenix), hewan yang dalam mitos dikisahkan bangkit dari abu kematiannya sendiri. Hewan mistis ini menghiasi begitu banyak kain batik yang mereka hadiahkan kepada Ibu Sap dan lalu dipamerkan sebagai Batik Saparinah saat ulang tahun ke-90 beliau tahun 2017 lalu. Tahun ini, 9 helai kain tersebut bukan saja dipamerkan untuk umum di Galeri Cemara 6 di Jakarta Pusat, 5 di antaranya bisa dipesan kepada para pembatik perempuan di Batang dan Pekalongan.
Saat saya berkeliling galeri menikmati goresan canting dan sapuan warna batik-batik indah itu, saya teringat bagaimana dalam sambutannya Bu Sap berulang kali menyatakan ia tak terlalu paham batik apalagi mengoleksi. Tapi, memang daya tariknya bukan sekadar batik tulis halus bermotif burung hong yang sebenarnya bisa diakses di tempat lain, tetapi pada simbol perjuangan perih dan panjang aktivisme jender Indonesia dalam meraih keadilan dan kesetaraan, di mana sering tersungkur dan nyaris hancur, tetapi tetap bangkit bertarung demi kepentingan semua perempuan. Secara hakiki, sebentuk penanda zaman.
Dalam bentuk yang lebih riil, pengerjaan replika batik yang diserahkan kepada segenap pembatik perempuan binaan, yang namanya tertera di sisi batik yang tergantung, adalah sebuah pemberdayaan. Mungkin dulu memang kemampuan membatik diusung sebagai simbol kehalusan pekerti perempuan, namun sekarang ini adalah jalan ke penghasilan. Saya dibesarkan ibu bekerja. Ibu saya pun dibesarkan ibunya yang pagi bergegas membuka kedai batik di pasar dan siangnya mengurus pembatik di rumah, lebih setengah abad lalu di Surakarta.
Realitanya saat ini, dengan membubungnya harga-harga dan membeludaknya populasi umur produktif Indonesia yang gagal diimbangi ketersediaan pekerjaan formal, sektor informal, seperti membatik, adalah peluang kerja bagi perempuan untuk bertahan hidup. Perempuan bekerja di berbagai sektor, termasuk kriya batik adalah sebuah kebutuhan, fakta, dan penanda zaman.
Penanda zaman lain hadir di dunia seni rupa, di mana kriya dan filosofi acap berkelindan melahirkan karya. Saat menapak ke dalam D’Gallerie di Jakarta Selatan dan menoleh kiri-kanan, saya seketika disambut penanda zaman terkini… masker medis berwarna-warni.
Agak gila juga kalau dipikir bahwa sebelum 2020 relatif hanya tenaga kesehatan yang akrab dengan masker medis, tetapi sekarang banyak orang awam yang fasih berdebat tentang masker persegi panjang, duckbill, KF94, KN95, dan entah apa lagi. Ternyata bukan cuma saya yang menyadari ini.
Perupa Nindityo Adipurnomo mengolah ratusan masker medis sebagai medium utama untuk memotret perubahan perilaku dan pemahaman yang ia temui selama pandemi. Mengamati bahwa ia dan banyak pria mengeluh ketaknyamanan bermasker karena wajahnya terganjal, Nindityo tersadar bahwa perempuan harus memakai pembalut menstruasi dalam rentang yang jauh lebih panjang. Dua instalasi lahir dari refleksi ini, tergantung dari bersisian di dinding galeri.
Di dinding sebelahnya, sebuah instalasi berbasis rakitan bambu menggambarkan bahwa jasad yang mengalami dekomposisi dalam peti tetap mengeluarkan gas metana yang mengeluarkan efek rumah kaca. Artinya, pandemi kemarin yang dilabeli sebagian orang sebagai fase pemulihan Bumi sebenarnya tetap berkontribusi ke pemanasan global.
Dalam bincang terbatas bersama media, kurator Mira Asriningtyas menceritakan bagaimana pandemi mengubah relasi sosial yang tadinya cair menjadi bersekat dan acap diwarnai keraguan. Dito Yuwono bertanya-tanya apakah pandemi yang begitu membekas baginya akan dikenang dunia yang saat ini malah sibuk kembali ke putaran lamanya.
Bagi saya pribadi, instalasi yang paling mengena adalah megafon terselimuti masker yang menyerupai tutup lampu hias. Bagi saya, itulah esensi getir pandemi Covid-19, di mana bentrok sains melawan anti-sains berkecamuk di setiap bilik sosial masyarakat melalui debat panas yang berujung pada perang propaganda.
Saya teringat anggota grup percakapan via Whatsapp yang begitu dramatis mengutarakan ketakpercayaannya pada vaksin, sirene ambulans, bahkan pandemi itu sendiri saat sekian banyak anggota grup yang sama sedang kehilangan keluarga karena pandemi. Selain kematian, kontroversi yang memecah-belah publik di antara kelam dan terang adalah hal keji tersendiri selama pandemi.
Ikan duyung, batik, instalasi masker medis…, penanda zaman hadir. Untuk kita yang sudi meluangkan diri berdiam sejenak dan berpikir.