Duka bukan hal sepele, terutama duka yang terjadi amat mendadak dan disebabkan kebrutalan. Keluarga korban harus hidup dengan berbagai kemungkinan, bukan sebuah kepastian, tentang perenggut orang tercintanya.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
Saya bukan sarjana hukum. Kolom ini bukan analisis kasus. Ini tentang manusia-manusia yang terseret putaran sirkus.
Sejak Juli-Agustus tahun lalu, rasanya tak ada kasus kriminal yang menyedot perhatian rakyat Indonesia selain kasus tewasnya seorang ajudan polisi di rumah perwira tinggi atasannya. Narasi kerap berganti, nama-nama yang terseret makin meluas. Tiada hari tanpa kasus masuk pemberitaan, beberapa stasiun TV bahkan menayangkan langsung saat persidangan mulai. Di luar proses hukum, riuh diskusi sehat sampai gunjingan jahat. Melebihi kasus, ia telah menjadi sirkus.
Mungkin karena tekanan besar dari publik, elite pemerintah ikut memperhatikan, sehingga dari titik insiden sampai vonis pengadilan hanya 6 bulanan—proses kilat menurut saya yang awam.
Di awal kasus pecah, saya teringat A Few Good Men, film 1992 yang ikut mengorbitkan Tom Cruise. Dua serdadu Marinir di Guantanamo disidang karena membunuh rekan sekompi. Keduanya mengaku memukuli rekannya atas perintah komandan, dan perintah atasan tak boleh dibantah. Sang atasan bersikeras tak pernah memerintahkan begitu, menarasikan insiden sebagai aksi pribadi para serdadu.
Di akhir film, pengacara militer yang diperankan Cruise sukses membebaskan kliennya dari tuduhan pembunuhan terencana walau kliennya tetap diberhentikan dari Korps Marinir karena perilaku tercela.
Richard Eliezer Lumiu mengaku diperintah atasannya, Ferdy Sambo, menembak rekan sesama ajudan, Yosua Hutabarat. Sang atasan tak mengakui sebagai perencana pembunuhan, bahkan sempat memberikan skenario baku tembak antarajudan. Pembacaan vonis minggu ini mengganjar hukuman mati untuk sang atasan, penjara lama untuk para terdakwa lainnya, dan hukuman ringan untuk Richard karena membantu membukakan kasus. Hanya Richard yang divonis lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Ada relasi kuasa yang timpang antara pemberi perintah dan yang diberi perintah, terlebih karena mereka anggota institusi yang dibangun dari rantai komando. Jika dalam film A Few Good Men digambarkan Kopral Dua Dawson tak mampu membantah perintah Letnan Satu Kendrick yang berhulu dari pemimpin pasukan, bayangkan posisi seorang bharada, polisi berpangkat terendah, saat di kehidupan nyata diperintah langsung seorang inspektur jenderal yang sekaligus kepala divisi urusan internal kepolisian. Bukan berarti membunuh dibenarkan, tetapi bisa dipahami sang bharada tak punya pilihan.
Menjelang akhir kasus, saat Sambo dan Putri masih bertahan pada klaim pelecehan seksual terlepas gagal dibuktikan di persidangan, ingatan saya berpindah ke kasus OJ Simpson yang mengguncang Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an.
Simpson dituduh membunuh mantan istrinya, yang tegas ia sangkal. Sebagai atlet tenar, Simpson dibantu orang-orang berkuasa dan paham hukum, seperti pengacara Robert Kardashian, Robert Shapiro, dan Johnnie Cochrane. Persidangannya diliput TV dan menjadi sirkus publik terutama karena Cochrane mengaduk sentimen Afrika-Amerika tentang Simpson sebagai salah satu putra terbaiknya. Mantan istri Simpson kebetulan berkulit putih dan hakim berketurunan Asia, dan debat kusir soal ras mewarnai publik Amerika saat itu—bak liarnya gosip di masyarakat Indonesia soal kehidupan rumah tangga Sambo.
Walau Simpson divonis bebas, sedangkan Sambo dihukum mati, satu hal sama—tidak pernah terang apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang menusuk Nicole Simpson di halaman rumahnya? Pertikaian soal apa dengan Sambo, atau Putri, yang berujung kematian Yosua? Nicole dan Yosua sudah tidak mungkin lagi menceritakan versi kejadian mereka sedang persidangan gagal mengungkap, dan hal ini yang harus dipanggul keluarga mereka sepanjang hayat, lama setelah fokus publik disedot sirkus berikutnya.
Duka bukan hal sepele, terutama duka yang terjadi amat mendadak dan disebabkan kebrutalan. Nicole dan Yosua masih muda dan sehat, penuh rencana masa depan. Berat menerima kematian orang tercinta yang ”belum waktunya”, seperti dituturkan pilu keluarga korban kecelakaan pesawat dalam sebuah dokumenter yang pernah saya tonton. Raungan tangis ibu Yosua menggambarkan itu semua—kaget, bingung, duka.
Bayangkan jika diselimuti misteri, hati pasti kian nyeri. Keluarga korban kecelakaan pesawat dalam dokumenter itu minimal tahu apa sesungguhnya yang terjadi sehingga mungkin bisa menemukan closure (penuntas duka secara psikologis). Namun, kalaupun kelak keluarga Nicole dan Yosua mampu menutup luka hati yang menganga, prahara ini selalu meninggalkan sisa ketidaktahuan. Mereka harus hidup dengan berbagai kemungkinan, bukan sebuah kepastian, tentang perenggut orang tercintanya.
Menurut saya, inilah bagian dari kejahatan ini yang tak banyak disadari. Dalam bentuk lain, sisa prahara bahkan juga akan selalu mengikuti keluarga Richard, keluarga terdakwa lain, dan anak-anak Sambo.
Benar hukuman 1,5 tahun yang dijatuhi hakim akan memungkinkan Richard mengejar keinginannya kembali ke Korps Brimob setelah menjalani hukuman. Namun, catatan sebagai terpidana pembunuhan akan selalu menyertai dan mungkin mempersempit opsi hidupnya. Keluarga terdakwa lain kehilangan pencari nafkah dan selamanya bisa dihubungkan dengan kasus, terlepas tidak tahu-menahu.
Anak-anak Sambo masih di awal hidup mereka, bahkan ada yang balita. Kita boleh geleng-geleng kepala melihat seragam si sulung disetrikakan oleh ajudan kerja ayahnya dan bebas berasumsi mereka terlindungi secara finansial, tetapi saat ini mereka kehilangan pengasuhan orangtua karena skandal yang diketahui senegara, sesuatu yang entah akan meninggalkan trauma apa pada diri mereka. Saya teringat pada sebuah dokumenter lain yang menceritakan para keponakan Adolf Hitler mengganti nama keluarga dan pindah benua demi melepas stigma walau sebagian tak terlibat tindakan pamannya.
Sirkus Sambo masih mungkin berlanjut apabila ada upaya banding atau lanjutan tuntutan. Fokus publik mungkin bertahan, bisa tidak. Dalam dua bulan, masuk berita Lebaran. Tahun depan, drama pemilu menjelang. Bagi publik awam yang tidak terlibat langsung, lambat laun tragedi ini akan perlahan terjahit ke deretan panjang skandal dunia dalam memori kolektif kita. Sebagian dari kita malah mungkin akan lupa, kecuali diingatkan. ”Oh iya, yang dulu kasus Sambo itu, ya,” paling jawab kita.
Kasus dapat diputus, sirkus boleh berlalu. Namun, bagi yang terlibat langsung, prahara masih bisa lama menyisakan pertanyaan tak terjawab, trauma dan pilu.