Politik akan lebih punya arti dan makna saat kekuasaan yang didapat didedikasikan untuk kepentingan publik dan republik untuk melunasi janji kemerdekaan, janji yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Kata ”lelampah” saya petik dari tema pameran lukisan Putu Sutawijaya di Bentara Budaya Jakarta. Pameran masih berlangsung hingga 29 September 2023. Saya gabungkan menjadi ”Lelampah Politik”, terinspirasi pidato pembukaan pameran dari Inayah Wahid. Putri bungsu Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid ini mengatakan, lelampah dalam bahasa Jawa melampah atau perjalanan (dalam bahasa Indonesia) menuju Pemilu 2024 adalah bukan hanya laku politik, melainkan laku spiritual.
Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/9/2023) malam itu, cukup ramai. Canda khas Yogya amat terasa. Meski bukan acara politik, celotehan politik mutakhir tidak terhindarkan. Sejumlah seniman dan aktivis yang punya kedekatan dengan Yogyakarta atau masih tinggal di Yogyakarta hadir, antara lain Butet Kartaredjasa, aktivis/intelektual Hamid Basyaib, cerpenis Agus Noor, Bambang Heras, Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit, dan pembawa acara Ampun Sutrisno yang mengawal acara di Bentara Budaya Jakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Putu Sutawijaya memamerkan paling tidak 50 lukisan, seni instalasi, dan patung dengan tema ”Lelampah.” Dalam bahasa Indonesia, lelampah diartikan perjalanan. Perjalanan Putu ke sejumlah candi-candi ”pinggiran” dan kemudian diwujudkannya dalam karya-karya seni bertema Garuda. Putu menafsirkan Garuda bukan hanya sebagai lambang negara, melainkan juga simbol perlindungan dari potensi terjadinya gesekan karena perbedaan.
Sebuah pesan damai dan relevan menjelang tahun politik 2024.
Inayah Wahid, dengan gayanya yang kocak, mengingatkan bahwa perjalanan menuju Pemilu, 14 Februari 2024, adalah lelampah politik. Perjalanan menuju 14 Februari 2024 harus dimaknai bukan hanya sebagai laku politik, melainkan laku spiritual yang lebih mengutamakan kepentingan komunal, kepentingan masyarakat banyak, bukan semata-mata kepentingan personal yang mengeksploitasi perbedaan.
Saya tercenung sejenak di ruang pameran ber-AC di tengah pengapnya cuaca Ibu Kota. Lelampah politik menuju Pemilu 2024 adalah laku spiritual yang mengedepankan pada kepentingan komunal, kepentingan publik, kepentingan masyarakat, bukan kepentingan kelompok atau malah kepentingan personal. Sebuah gagasan ideal, cita-cita yang masih harus terus diperjuangkan. Ego personal, rivalitas personal masih mendominasi persaingan memperebutkan kursi kekuasaan. Namun, sayangnya, masih meminggirkan kepentingan publik.
Di tengah cerita menggembirakan negeri, kian membaiknya transportasi publik di Jakarta dengan MRT dan LRT, kian singkatnya jarak tempuh Jakarta-Bandung dengan kereta supercepat China, kisah sukses Putri Ariani di Amerika Serikat, suksesnya gelaran KTT ASEAN dan sebelumnya KTT G20, cerita kurang menggembirakan muncul dari Pulau Rempang. Bentrokan antara aparat dan warga tidak terhindarkan. Padahal, jika merujuk pada pembukaan UUD 45, ”...Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Perjalanan menuju 14 Februari 2024 harus dimaknai bukan hanya sebagai laku politik, melainkan laku spiritual yang lebih mengutamakan kepentingan komunal, kepentingan masyarakat banyak, bukan semata-mata kepentingan personal yang mengeksploitasi perbedaan
Temuan Tim Percepatan Reformasi Hukum tak kalah mengejutkan. ”Perekrutan pejabat masih beraroma KKN.” Padahal, korupsi, kolusi, nepotisme adalah musuh gerakan reformasi pada Orde Baru dengan lahirnya Tap MPR No XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dua puluh tiga tahun kemudian, negara ini seperti menghadapi gelombang balik ke arah Orde Baru di mana praktik KKN menggurita dalam penunjukan pejabat. KKN terpeleset menjadi narik kanca-kanca, bukan mengacu pada prinsip meritokrasi. Selayaknya orang yang naik ke puncak adalah orang yang berprestasi, punya rekam jejak kerja keras, dan capaian kinerja yang diakui.
Tim Percepatan juga menyampaikan pesan kepada Presiden Jokowi agar tak lagi menempatkan anggota Polri dan TNI yang masih berdinas aktif sebagai penjabat kepala daerah atau komisaris di BUMN. Tim juga merekomendasikan kepada Presiden agar memulihkan independensi KPK yang lemah akibat revisi UU KPK dan terpilihnya pimpinan KPK ”bermasalah.”
Laku spiritual atau eksamen politik saya maknai sebagai menarik diri sejenak dari realitas politik keseharian, mencari tahu di mana bangsa ini berada, dan merumuskan kembali ke mana bangsa ini akan melangkah menuju Indonesia Emas, 17 Agustus 2045. Esai Asep Saifuddin, Rabu, 23 Agustus 2023, menggambarkan, generasi yang akan mewarnai Indonesia Emas 2045 adalah mereka yang saat ini bersekolah mulai dari PAUD/TK, SMP hingga SMA.
Merujuk pada Data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 44,19 juta pelajar (tingkat TK, SD, SMP, dan SMA) pada tahun ajar 2022/2023. Jumlah itu besar dan amat menentukan jika diproyeksikan sungguh-sungguh untuk menguasai sains dan teknologi serta keahlian spesifik. Sayangnya, dari 44 juta pelajar, yang lulus SMA hanya 3,6 juta orang per tahun, dan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1,3 juta orang.
Data BPS 2022 menyebutkan, 55,43 persen angkatan kerja didominasi lulusan SMP ke bawah, dan 39,10 persen tenaga kerja didominasi tamatan SD ke bawah. Masih didominasi generasi yang teronggok di pendidikan rendah. Ini menyebabkan kapasitas dan peluang pekerjaan mereka terbatas pada pekerja kasar dan buruh. Adapun jumlah guru (TK/SD/SMP/SMA) bersertifikat masih di bawah 50 persen. Disparitas partisipasi pendidikan kota-desa, ibu kota provinsi-daerah, juga masih njomplang. Masih ada 302 kecamatan belum tersedia SMP/MTs, 727 kecamatan tanpa ketersediaan SMA/MA, dan 27.363 sekolah tanpa internet, bahkan 3.639 sekolah tanpa listrik (Kompas, 23 September 2023).
Lelampah politik yang bergerak perlahan ke tempat-tempat pinggiran akan bisa menemukan realitas berbeda. Realitas itu harus ditangkap, didiskusikan, dan dicarikan jalan keluar. Politik akan lebih punya arti dan makna saat kekuasaan yang didapat didedikasikan untuk kepentingan publik dan republik untuk melunasi janji kemerdekaan, janji yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.