Hak Politik Eks Koruptor
Perjuangan panjang untuk pencabutan hak politik eks terpidana korupsi belum mencapai klimaksnya. Masih banyak yang menguji konstitusionalitas eks terpidana sebagai calon anggota legislatif.
”The arc of moral universe is long, but it bends towards justice”. Demikian diungkapkan oleh Martin Luther King Jr. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa perjuangan untuk meraih ”keadilan” itu panjang, tetapi suatu saat akan diperoleh.
Ungkapan tersebut terasa pas kalau berkaitan dengan isu eks terpidana korupsi yang akan berkompetisi pada Pemilihan Legislatif 2024. Isu ini adalah isu musiman yang akan selalu dibahas pada tahun politik.
Terbukti perjuangan panjang untuk pencabutan hak politik eks terpidana korupsi belum mencapai klimaksnya. Belum ada tawaran solusi peraturan dari pemerintah. Sampai dengan tahun politik saat ini, masih banyak yang menguji konstitusionalitas eks terpidana sebagai calon anggota legislatif.
Perkembangan posisi hukum para eks terpidana korupsi itu kerap mengalami perubahan, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022 yang memutus Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu yang menambahkan syarat bagi ”mantan terpidana” dalam mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg).
Perdebatan mengenai hal ini menjadi isu besar ketika tahun 2018 Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat peraturan yang melarang eks terpidana korupsi terlibat dalam kompetisi pemilu legislatif.
Belum ada tawaran solusi peraturan dari pemerintah. Sampai dengan tahun politik saat ini, masih banyak yang menguji konstitusionalitas eks terpidana sebagai calon anggota legislatif.
Kontroversi semakin mencuat ketika KPU membatalkan beberapa caleg yang merupakan eks terpidana korupsi, tetapi Bawaslu membatalkan keputusan KPU tersebut dan memperbolehkan eks terpidana korupsi berkompetisi pada Pemilu 2019.
Tidak hanya pada tataran penyelenggara pemilu. Mahkamah Agung dalam Sidang Uji Peraturan KPU juga telah memutuskan bahwa larangan bagi eks koruptor untuk ikut pemilu legislatif dalam peraturan KPU batal dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Syarat bagi eks koruptor
Dalam persyaratan sebagai calon anggota legislatif, syarat ”mantan terpidana” diatur dalam Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Disebutkan bahwa ”tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Dalam konsep yang dianut pasal tersebut, bahkan seorang eks terpidana bisa tetap menjadi calon anggota legislatif asalkan dalam proses pencalonannya telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada masyarakat mengenai statusnya tersebut.
Pasal tersebut pada dasarnya telah diuji beberapa kali di MK dengan permohonan yang berbeda-beda.
Pada perkara MK Nomor 81/PUU-XVI/2018, hal yang dimohonkan adalah agar penafsiran frasa ”kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU 7/2017 tidak dimaknai untuk mencakup pula para eks terpidana korupsi.
Pada perkara MK Nomor 83/PUU- XVI/2018, pemohon menginginkan agar calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota—meskipun pernah dipidana penjara—bukan terpidana karena kejahatan korupsi, kejahatan narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau kejahatan teroris berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sementara pada perkara MK Nomor 87/PUU-XX/2022, permohonan diajukan untuk menghapus frasa ”… kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Inti dari ketiga permohonan yang dilakukan terhadap Pasal 240 Ayat (1) huruf g adalah untuk memperluas cakupan agar eks terpidana tertentu tidak dapat mencalonkan diri, terutama bagi eks terpidana korupsi. Namun, pada semua putusannya, MK menyatakan bahwa eks terpidana tetap konstitusional untuk mengikuti pemilu legislatif, hanya saja dengan berbagai persyaratan.
Posisi MK
Sebelum berbicara tentang Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu, ada baiknya dilihat terlebih dahulu posisi MK terhadap ketentuan itu secara umum.
Dari semua putusan yang bisa ditemukan, ternyata MK telah memiliki posisi tersebut sejak 2007.
Sebelumnya pada Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 MK pernah menjatuhkan putusan terhadap ketentuan ”tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang diatur dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, dan Pasal 13 huruf g UU BPK.
MK berpendapat bahwa ketentuan tersebut konstitusional bersyarat sepanjang ditafsirkan pada delik kesengajaan dan bukan tindak pidana politik.
MK berpendapat bahwa ketentuan tersebut konstitusional bersyarat sepanjang ditafsirkan pada delik kesengajaan dan bukan tindak pidana politik. Dengan demikian, jika dicermati, pada dasarnya MK setuju bahwa eks terpidana dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih tidak dapat dicalonkan dalam jabatan publik, baik yang dipilih (elected) maupun yang ditunjuk (appointed). Namun, juga diatur syarat-syarat tersebut.
Posisi itu sedikit dimodifikasi dalam Putusan MK No 4/PUU-VII/2009. Pada putusan tersebut, MK menyatakan ketentuan ”mantan terpidana” sebagai inkonstitusional bersyarat. Pasal tersebut dapat berlaku ketika: 1) mantan terpidana tersebut tidak dijatuhi pencabutan hak politik; 2) berlaku lima tahun setelah selesai menjalani pidana; 3) terdapat kejujuran mengenai latar belakang sebagai mantan terpidana; 4) dan bukan pelaku pengulangan tindak pidana.
Syarat itu bersifat kumulatif. Hal ini yang kemudian mendasari berbagai UU, seperti UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta UU Pemilu.
Dalam Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007, MK memberikan pertimbangan ”pemilihan kepala daerah tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala risiko pilihannya”.
Hal ini terkandung makna bahwa elected officials merupakan jabatan yang langsung bertanggung jawab kepada rakyat yang memilih. Dengan demikian, hanya dalam proses pencalonannya saja, status yang bersangkutan yang dalam proses pidana harus diperlihatkan secara tegas dan ada larangan dalam kondisi tertentu. Namun, dalam putusan MK tersebut, MK tidak menyatakan bahwa eks terpidana tidak seumur hidup kehilangan hak politiknya.
Putusan MK No 4/PUU-VII/2009 bahkan hanya memberikan batasan lima tahun bagi yang bersangkutan untuk kehilangan hak politiknya setelah menjalani masa pidana penjaranya.
Pasal 240 Ayat (1) huruf g juga belum mengakomodasi ketentuan jangka waktu tersebut. Padahal, dalam konteks yang sama pada UU pemilihan kepala daerah, ketentuan tersebut sudah diakomodasi dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pada UU tersebut, syarat eks terpidana untuk menjadi calon kepala daerah bersifat kumulatif sehingga diperlukan waktu lima tahun setelah menjalani pidana dan adanya kejujuran mengungkapkan kepada publik sebagai eks terpidana. Ketentuan tersebut ditambahkan oleh putusan konstitusional bersyarat dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019.
Oleh karena itu, pada November 2022, MK pada dasarnya telah mengakomodasi ketentuan tersebut dalam Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 sehingga Pasal 240 Ayat (1) huruf g memiliki persyaratan kumulatif, yakni lima tahun setelah menjalani pidana dan telah secara terbuka mengakui sebagai mantan terpidana, seseorang dapat kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Sebenarnya konsep tersebut serupa dengan pidana tambahan pencabutan hak politik, yakni hak tersebut hanya diperbolehkan dipulihkan dalam putusan pengadilan. Hal ini didukung ketentuan dalam Pasal 10 huruf (b) KUHP yang memuat pencabutan hak tertentu sebagai pidana tambahan.
Salah satu bentuk pidana tambahan dalam KUHP adalah pencabutan hak politik, baik untuk menggunakan hak pilih maupun hak untuk dipilih sebagai seorang elected officials. Hal ini diperkuat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang juga memuat pencabutan hak tertentu sebagai pidana tambahan.
Irman Gusman dan Lutfi Hasan Ishaaq bisa menjadi contoh anggota legislatif yang dicabut hak politiknya. Namun, berdasarkan ketentuan pencabutan hak politik tersebut, hak itu hanya dicabut maksimal lima tahun setelah terpidana menjalani pidananya. Dengan demikian, putusan MK tersebut sejalan dengan konsep pencabutan hak politik dalam hukum pidana.
Kejahatan luar biasa
Dalam putusan MK yang telah disebutkan sebelumnya, pencabutan hak politik dianggap sebagai konsep reparatoir- condemnatoir, dengan terpidana diberikan waktu untuk direhabilitasi dan siap kembali ke masyarakat. Konsep ini juga didukung rehabilitation theory, dengan pidana yang dijatuhkan dianggap sebagai obat bagi terpidana. Itulah sebabnya, setelah itu, eks terpidana tersebut harus sudah dianggap sebagai warga negara yang sama seperti yang lain.
Namun, dengan tingginya angka korupsi yang dilakukan anggota Dewan selama ini, pencabutan hak politik seumur hidup merupakan keniscayaan. Angka korupsi oleh aktor politik cukup tinggi. Pada laporan KPK November 2022, ada 1.479 tersangka korupsi dan 319 dari jumlah tersebut adalah anggota legislatif.
Dengan angka korupsi tersebut, tentu mekanisme extraordinary crime (kejahatan luar biasa) diperlukan. Uniknya, dalam pemilu, pada syarat calon presiden dan wakil presiden Pasal 169 huruf p UU Pemilu, terdapat syarat tidak pernah dipidana tanpa pengecualian.
Bahkan, untuk menjadi anggota Bawaslu, pada Pasal 117 Ayat (1) huruf l, disebutkan tidak boleh pernah dipidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih. Jika MK konsisten menyamakan jabatan publik terpilih, sudah seharusnya MK menyamakan semua ketentuan tersebut. Menyerahkan sepenuhnya semua calon hanya kepada masyarakat akan berpotensi mengurangi efek jera pelaku korupsi.
Oleh karena itu, ketentuan ”tidak pernah dipidana” seharusnya berlaku tanpa pengecualian agar eks terpidana korupsi tidak dapat masuk kembali pada jabatan elected officials.
Muhammad FatahillahAkbar, Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada