Pilpres 2024: ”Tak Seru Tanpa NU”
Pada saat partai-partai rikuh saling kritik karena memiliki perilaku yang sama dan hanya berani saling intip, maka warga NU memberikan contoh bagaimana politik harus dikelola secara terbuka dan saling kritik.
Beberapa bulan terakhir Nahdlatul Ulama tengah on fire, bagaikan primadona di media massa dan sosial.
Hal ini berkaitan dengan berbagai hasil survei yang menunjukkan warga Indonesia yang mengaku terafiliasi ke NU bukan saja besar jumlahnya, melainkan juga terus meningkat angkanya.
Hasil survei Kompas, SMRC, dan Alvara, misalnya, menunjukkan besarnya afiliasi itu. Setidaknya 59,2 persen pemeluk Islam Indonesia mengaku berafiliasi ke NU. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA juga menunjukkan tren pengikut NU yang terus meningkat. Jumlah mereka yang merasa jadi bagian dari NU naik menjadi 56,9 persen pada 2023, dari 27,5 persen pada 2005.
Ini semua tidak ditunjukkan melalui kartu anggota yang dikeluarkan organisasi berlambang gambar jagat dengan bintang sembilan dan lingkaran tampar yang longgar itu, tetapi untuk sebuah kompetisi pasangan presiden-wakil presiden, sudah cukup untuk dianggap sebagai ceruk potensial guna memenangi pertarungan pilpres.
Di sisi lain, di balik besarnya potensi suara NU, sesungguhnya sejak lama sudah ada variasi pilihan—baik masyarakat NU maupun para elitenya—kepada partai-partai yang berbeda. Oleh karena itu, NU hampir selalu menjadi topik ramai di perbincangan publik di setiap pemilu dan pilpres.
Baca juga: Marwah Politik NU
Disputasi=demokratisasi
Ada yang dengan kukuh hendak mengoptimalkan identitas on fire ke-NU-an ini untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya dan memenangi kompetisi dalam pilpres.
Para elite PKB, umpamanya, tidak hanya mengerahkan para elite dan kiai untuk itu, tetapi juga menginginkan agar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara formal mendukungnya secara total. Ini mengingat sejarah keterkaitan antara NU dan PKB, yakni PKB adalah partai yang dilahirkan PBNU ketika itu.
Di sisi lain, di balik besarnya potensi suara NU, sesungguhnya sejak lama sudah ada variasi pilihan—baik masyarakat NU maupun para elitenya—kepada partai-partai yang berbeda.
Calon presiden Anies Baswedan dengan dukungan Partai Nasdem pimpinan Surya Paloh lebih dulu ambil start dengan menunjuk Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar sebagai cawapres.
Di sisi lain, PBNU, khususnya Ketua Umum Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), menginginkan agar NU benar-benar netral dan menyatakan tak ada calon atas nama dan yang membawa identitas NU, tetapi atas prestasi dan kapabilitas pribadi, siapa pun yang maju sebagai capres ataupun cawapres.
Bahkan, dia memberikan sanksi kepada pengurus NU di semua tingkatan yang menggunakan identitas dan fasilitas PBNU untuk tujuan dukung-mendukung capres/cawapres tertentu.
Kalangan luar NU melihat disputasi itu sebagai adanya pertentangan tajam dan perpecahan di NU dengan membawa cara masing-masing. The Jakarta Post, misalnya, menggugat kedekatan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (adik Ketua Umum PBNU) dengan Erick Thohir yang disebut media dan survei sebagai cawapres potensial, sebagai indikasi hal tersebut.
Mekar dan ”mungkret”
Sesungguhnya adanya perubahan signifikan dan perdebatan pilihan di kalangan NU adalah hal yang wajar di setiap pemilu atau pilpres karena potensi besar pemilih NU.
Di era keterbukaan sekarang ini tidak bisa lagi ada pemaksaan terhadap pilihan setiap individu, termasuk kepada partai yang dilahirkan oleh NU itu sendiri. Di samping itu, sejak Khitah 1926, NU menyatakan tak lagi memiliki keterkaitan khusus dengan partai tertentu.
Apalagi dengan adanya perubahan demografi keanggotaan NU sesuai dengan perubahan demografi bangsa Indonesia. NU, dengan demikian, menempatkan diri sebagai Indonesia itu sendiri, yang merangkum semua partai dan pemilih untuk berafiliasi kepada NU. Maka, jika NU hanya berafiliasi kepada partai tertentu, keanggotaan NU juga mungkret dengan sendirinya
Lahirnya PKB merupakan aspirasi para politikus NU yang semula dipaksa tersebar di Golkar, PPP, dan PDI ke dalam identitas NU waktu itu. Namun, perkembangan dinamika berikutnya, politikus NU tersebar kembali di beberapa partai.
Tidak ramai
Penambahan afiliator ke NU yang terus membesar tidak selalu berasal dari santri sebagai ceruk terbesar basis tradisional NU, tetapi boleh jadi dari berbagai kalangan, termasuk kelas menengah dan kelas menengah atas kota yang selama ini jauh dari identifikasi komunitas NU.
Bahkan berkembang joke di masyarakat bahwa warga NU juga ada yang berasal dari kalangan Katolik dan Protestan, agama-agama lain, dan penghayat kepercayaan.
Preferensi PBNU kepada individu dan partai tertentu justru akan membatasi akses PBNU kepada masyarakat luas dan akan membatasi akses masyarakat tertentu terhadap NU. Bagi Gus Yahya, misalnya, penting bagi PBNU untuk menyantuni dan merangkul semua pihak dalam kerangka PBNU, sedangkan pilihan politik diserahkan kepada setiap individu.
Baca juga: Berebut Restu Politik NU
Bagi Gus Yahya, misalnya, penting bagi PBNU untuk menyantuni dan merangkul semua pihak dalam kerangka PBNU, sedangkan pilihan politik diserahkan kepada setiap individu.
Bagi Gus Yahya, identitas politik jadi pertimbangan penting untuk mendidik masyarakat agar tak terjebak memilih pemimpin hanya karena kesamaan latar belakang primordial, tetapi lebih karena prestasi dan kredibilitas. Sikap ini tetap memberi peluang kepada PKB untuk mengoptimalkan basis tradisional mereka guna memperkuat daya tawar di NU dan postur politik nasional itu sendiri.
Namun, karena NU memiliki visi tertentu tentang Islam dan Indonesia, yaitu bineka atau keberagaman dan toleran, visi itu akan menjadi pedoman warga NU dalam afiliasi partai dan pilihan pilpres.
Sebuah publikasi analisis dari The S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), NTU, Singapura, mengungkapkan bahwa keikutsertaan PKS yang berorientasi ideologis Islamisme, dan rekam jejak Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta yang menggunakan identitas Islamisme sebagai alat politik, tampaknya tidak mudah untuk meyakinkan secara masif para pemilih NU untuk menjatuhkan pilihan kepada pasangan ini.
Perdebatan ataupun pertentangan di NU dalam pilihan politik, dengan demikian, tak lebih dari keterbukaan dan demokrasi itu sendiri. Ketika orang harus memenangi pertarungan, wajar saja saling kritik dan sindir, tetapi semua itu nanti akan bertemu lagi justru di tubuh PBNU yang terbuka.
Pada saat partai-partai rikuh saling kritik karena memiliki perilaku yang sama dan hanya berani saling intip, maka warga NU memberikan contoh bagaimana politik harus dikelola secara terbuka dan saling kritik.
Pilpres tanpa NU? Memang enggak rame.
Ahmad Suaedy,Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unisia), Ketua PBNU