Lewat Masyarakat Ekonomi ASEAN, ASEAN pernah menargetkan perdagangan intra-ASEAN di atas 30 persen setelah tahun 2015. Angka ini sebenarnya bukan target yang terlalu muluk-muluk mengingat pada tahun 2011 angka perdagangan intra-ASEAN sudah 22-23 persen.
Ini juga target yang tampaknya sederhana, apalagi jika dibandingkan dengan perkongsian kewilayahan serupa di Uni Eropa yang sudah menyentuh angka 70-an persen.
Namun, melewati angka yang relatif sederhana itu saja, tampak ASEAN masih harus terengah-engah saat itu. Perdagangan intra-ASEAN hingga tahun ini tampak tidak pernah lepas landas, berputar-putar pada angka 23-25 persen saja.
Sejak didirikan tahun 1967, ASEAN memang sudah menjadi perkongsian solid dalam konteks politik, dan telah memainkan peranan di posisinya dengan cukup baik meski riak-riak kecil di antara anggota sesekali masih bermunculan.
Salah satu yang paling mencorong dewasa ini adalah konflik di Myanmar yang seakan tak berkesudahan. Namun, perjalanan sejarah sudah menjadi preseden bahwa konflik serupa selalu bisa dicarikan solusinya dengan konteks ASEAN way. Jika meminjam istilah Bung Karno, ini riak kecil di tengah samudra, ”een rimpeltje in de oceaan...”.
Perdagangan intra-ASEAN hingga tahun ini tampak tidak pernah lepas landas, berputar-putar pada angka 23-25 persen saja.
Jika secara politik sudah sedemikian ajek, sebenarnya ASEAN masih kesulitan untuk meningkatkan kongsi ekonomi secara signifikan. Sudah banyak sekali rencana, tetapi rencana itu selalu hilang sebelum matang. Adagium klasiknya adalah mengenai peran sentral ASEAN (sentralitas ASEAN) yang sejauh ini belum mewujud.
Jika boleh diumpamakan, ASEAN tampak seperti laut tanpa ikan (ocean without fish). Karena itu, solusi yang paling mungkin adalah solusi yang beyond ASEAN, menjadikan ASEAN sebagai platform konsolidasi bagi kawasan lain untuk tetap tumbuh solid, terlebih semasa pemulihan global pascapandemi.
Sentralitas ASEAN yang sudah menjadi patron ASEAN sejak lama menjadi semakin relevan di tengah dinamika tarik-menarik antarkutub.
Geliat geopolitis tampak menciptakan tren peng-kutub-an yang dilabeli UNCTAD sebagai friend-shoring. AS dan sekutunya tampak mengurangi aktivitas ekonominya dari yang mereka nilai sebagai sekutu dekat Rusia, yang dalam hal ini China juga dianggap dalam kelompok kongsi yang sama.
Ilustrasi
Di sisi lain, China juga tampak mengurangi aktivitas ekonominya dengan AS dan sekutunya sembari mempertegas pengaruh regionalnya di Asia. Di tengah perseteruan ala Perang Dingin ini, tampak ASEAN yang sedang merekah, menjuntai sebagai tempat konsolidasi dua kubu.
Kubu Barat ingin mencari alternatif jaringan produksi baru yang relatif murah, sedangkan China ingin menjaga pasarnya di Asia. Dua kepentingan ini bertemu dalam selubung ASEAN way yang tidak memihak. Dengan tetap netral, ASEAN menjadi sentra pertemuan dan kolaborasi aktor di luar ASEAN, dengan pembelokan investasi (investment diversion) akibat friendshoring tersebut justru bisa kita manfaatkan.
Episentrum pertumbuhan
Dengan demikian, sentralitas ASEAN menjadi fondasi solid untuk menciptakan episentrum pertumbuhan regional dan global. Pantaslah ASEAN mewujud sebagai pusat pertumbuhan, yang membawa kepentingan yang sepertinya berbeda, tetapi memiliki napas yang sama, kesinambungan ekonomi global yang pulih kuat selepas pandemi.
Pidato Presiden Joko Widodo pada pembukaan KTT ASEAN yang mengumpamakan ASEAN sebagai sebuah kapal besar adalah perumpamaan yang tepat. Kapal ASEAN itu kini tengah mengarungi samudra yang penuh deru ombak dan badai.
Namun, justru kesulitan inilah yang berpotensi semakin menguatkan ASEAN. Terlebih lagi ASEAN memiliki sebuah kelebihan sebagai tempat konsolidasi berbagai kekuatan besar dengan napas ASEAN yang sentral dan regionalisasi yang terbuka (soft and open regionalism).
ASEAN yang tak memilih kutub menjadi bagian penting untuk menajamkan konsep episentrum pertumbuhan.
ASEAN yang tak memilih kutub menjadi bagian penting untuk menajamkan konsep episentrum pertumbuhan. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya, kapal besar ASEAN tampaknya bisa solid melaju dengan prasyarat gerak dan kolaborasi regional dan global. Kini, semakin jelas bahwa ASEAN telah membuktikan dirinya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang signifikan di dunia saat ini.
ASEAN secara kolektif memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas makroekonomi. Ekonomi ASEAN-5 tumbuh 5,3 persen tahun lalu, dan secara kolektif diperkirakan menjadi 4,6 persen tahun ini, dan meningkat jadi 5,6 persen pada 2024.
Pertumbuhan ini antara lain akan terus berlanjut didukung oleh konsumsi, perdagangan, dan investasi yang kuat, serta perdagangan terbuka dan investasi ke negara lain. Meski demikian, ASEAN dan global masih menghadapi sejumlah tantangan, antara lain dampak rambatan (spillover) dari perekonomian global, suku bunga tinggi, inflasi tinggi, dan ketidakpastian global.
Di masa mendatang tentunya ASEAN tak hanya menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi global, tetapi juga menjadi contoh nyata bagaimana kerja sama regional yang erat dapat berdampak positif terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Di bawah kolaborasi antarnegara yang secara sinergis bertautan, ditambah lagi kepemimpinan solid Indonesia, baik secara de facto maupun de jure, ASEAN terus bergerak maju sebagai kekuatan ekonomi global yang stabil, inklusif, dan berkelanjutan. Sembari terus merangkai fondasi keterikatan regional yang terus jadi suar terang di tengah gemuruh badai pekat yang seakan terus melipat asa.
Baca juga : Dualisme Kemandirian dan Keterbukaan KTT Ke-43 ASEAN
Fithra Faisal Hastiadi Dosen FEB UI