Dualisme Kemandirian dan Keterbukaan KTT Ke-43 ASEAN
Akselerasi visi ASEAN 2045 sebagai pusat pertumbuhan kawasan akan terus dibayangi implikasi sirkumstansi ketakpastian politik global akibat konflik Ukraina-Rusia dan dinamika kontestasi politik keamanan di Indo-Pasifik.
Oleh
RIZAL A HIDAYAT
·1 menit baca
Pada 5-7 September 2023, ASEAN menyelenggarakan KTT ke-43. Indonesia menjadi tuan rumah lagi, Jakarta sebagai kota penyelenggaraan KTT. Sebelumnya, Indonesia juga menjadi tuan rumah KTT Ke-42 ASEAN, diselenggarakan di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Kawasan Asia Tenggara sebagai pusat pertumbuhan menjadi tema inti penyelenggaraan KTT Ke-43 ASEAN. Sebagai pusat pertumbuhan, yang menjadi catatan penting dalam penyelenggaraannya KTT adalah ASEAN masih berada dalam sirkumtansi ketidakpastian politik global akibat konflik Ukraina-Rusia di satu sisi dan dinamika kontestasi politik keamanan kawasan Indo-Pasifik di sisi lain.
Akselerasi visi ASEAN 2045 sebagai pusat pertumbuhan kawasan tentu akan terus dibayangi oleh implikasi kedua sirkumtansi politik global dan regional tersebut. Hal ini diperkuat juga bahwa di tengah rangkaian penyelenggaraan KTT tersebut, pada 5-6 September diadakan Forum ASEAN Indo-Pasifik (AIPF) yang digagas Indonesia sebagai tuan rumah.
Kehadiran AIPF memang berkaitan pada fokus kerja sama ekonomi dan pembangunan di antara negara-negara ASEAN dan para mitra utamanya di Indo-Pasifik, serta merepresentasikan inklusivitas kerja sama eksternal lintas aktor dan sektoral dalam momentum KTT Ke-43 ASEAN. Meskipun begitu, kehadiran AIPF menjadi momentum krusial bukan saja karena hadir di tengah-tengah KTT ASEAN, melainkan juga karena kehadirannya menjadi suplemen dari dinamika geostrategi politik global di kawasan Indo-Pasifik yang dibingkai melalui intervensi kepentingan geostrategi politik keamanan kawasan antara Amerika dan China di kawasan tersebut.
Friksi kepentingan geostrategi politik keamanan kawasan Indo-Pasifik menjadi ajang utama kontestasi Amerika Serikat (AS) dan China. Ironisnya, keduanya notabene juga menjadi bagian dari mitra utama dialog ASEAN. Pada akhirnya hal ini menciptakan dualisme kepentingan penyelenggaraan KTT Ke-43 ASEAN.
Dualisme kepentingan yang dimaksud di sini adalah di satu sisi, totalitas ASEAN Way terkait kemandirian kawasan melalui konsistensi kerja sama antarnegara anggota ASEAN menuju ASEAN Economic Community (AEC) 2025. Di sisi lain, realisme keterbukaan kawasan Asia Tenggara sebagai bagian penting dari episentrum pergulatan konflik geostrategis AS dan China di mandala Indo-Pasifik.
Hal ini didasarkan kepada dua faktor determinan keduanya. Pertama, konflik Laut China Selatan, Aukus, dan Quadrilateral Security Dialogue (QSD-Quad) menjadi platform politik keamanan kawasan AS untuk mempertahankan determinasinya. Kedua, bagi China, selain konflik Laut China Selatan sebagai bagian dari determinasi pertahanan kepentingan nasionalnya, BRICS tentu menjadi medan kekuatan inti penyebaran hegemoni diplomasi ekonomi politik regional ataupun global China. Jadi, sudah barang tentu Asia Tenggara menjadi bagian penyebaran hegemoni diplomasi ekonomi politik China tersebut.
ASEAN dituntut bisa menyeimbangkan dualisme tersebut tetap dalam satu semangat ASEAN Concord 1976 menuju AEC 2025.
Kedua faktor determinan dari AS dan China tersebut merupakan konsekuensi logis bagi visi dan misi keterbukaan ASEAN menuju kemandirian AEC 2025. Karena sejauh ini, ASEAN memiliki empat mekanisme dialog kerja sama eksternal kawasan, yaitu Forum ASEAN+11 (Dialogue Partnership), Sectoral Dialogue Partnership (ASEAN plus enam negara mitra sektoral), Development Partnership (ASEAN plus empat negara mitra pembangunan), dan forum kerja sama regional Asia Timur yang lebih dikenal dengan ASEAN+3 dan East Asia Summit.
Dari keempat mekanisme kerja sama eksternal ASEAN tersebut, Forum ASEAN+11 dan ASEAN+3 (China, Jepang, dan Korea Selatan) menjadi ujian terberat ASEAN dalam dualisme kemandirian dan keterbukaan kawasan Asia Tenggara. Dua forum kerja sama eksternal ASEAN yang mengintegrasikan Asia Tenggara juga ke dalam konflik geostrategi Indo-Pasifik oleh AS dan China. Dua forum kerja sama eksternal tersebut melibatkan partisipasi AS (ASEAN+11) dan China (ASEAN+11 dan ASEAN+3) di dalamnya. Dengan kata lain, tidak mudah bagi ASEAN mengakomodasikan kedua negara tersebut sejauh kontestasi keduanya bertahan dalam status quo friksi kepentingan politik keamanannya masing-masing.
Oleh karena itu, ASEAN dituntut bisa menyeimbangkan dualisme tersebut tetap dalam satu semangat ASEAN Concord 1976 menuju AEC 2025. Keseimbangan dualisme tersebut direlevansikan pada prinsip non-intervensi masalah internal sebagai bagian dari kedaulatan nasional negara anggotanya. Satu prinsip dilematis yang masih membelenggu penyelesaian masalah krisis demokrasi dan hak asasi manusia oleh rezim militer Myanmar sebagai contohnya saat ini.
Selain itu, keberlanjutan sebagai kawasan yang bebas, damai, dan netral dari ekses kepentingan konflik inter-regional dan internasional masih berlangsung. Dalam hal ini, konflik Laut China Selatan dan kehadiran Aukus menjadi contoh terbaik. Bagaimana kehadiran keduanya secara evolusi mendayung instabilitas konflik kepentingan permanen keamanan kawasan yang dapat menggerus integritas ASEAN Community dalam segala aspek fondasi kerja sama intra-ASEAN secara keseluruhan.