Banyak korban kejahatan, termasuk korban pelanggaran HAM berat masa lalu, belum mendapatkan perlindungan. Dibutuhkan kebijakan afirmasi untuk mengakselerasi pemulihan korban.
Oleh
ANTONIUS PS WIBOWO
·5 menit baca
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Warga negara Indonesia korban kejahatan adalah bagian dari bangsa dan wajib dilayani melalui pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan dalam tujuan 16 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Sejauh mana perlindungan berjalan, apa tantangannya, dan bagaimana solusinya layak direfleksikan pada 78 tahun setelah proklamasi kemerdekaan.
Warga Indonesia yang menjadi korban kejahatan dapat mencapai 5 juta setahun. Menurut Statistik Kriminal yang dipublikasi Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk yang menjadi korban kejahatan pada 2021 adalah 0,47 dari jumlah penduduk yang mengalami kejadian kejahatan dan melaporkannya kepada kepolisian. Yang melaporkan ke kepolisian hanya sekitar 23 persen. Jumlah penduduk pada 2021 sekitar 272 juta.
Demikian juga, tidak sedikit orang-orang rentan (vulnerable person), yaitu perempuan, anak-anak, difabilitas, dan orang tua renta yang menjadi korban kejahatan. Bagi kelompok ini, kebijakan afirmasi (affirmative action) sungguh dinantikan untuk memberikan perlindungan.
Kebijakan afirmasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap warga yang menjadi amanat Konstitusi, yang merupakan salah satu tujuan kemerdekaan. Literatur di bidang hak asasi manusia mengajarkan kepada kita bahwa kebijakan afirmatif diperlukan untuk menjamin orang-orang rentan memperoleh layanan/perlindungan setara dengan kelompok lain di bidang yang sama.
Merujuk kepada data semester I (2023) di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sekitar 56 persen korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) merupakan perempuan dan sekitar 8 persen berusia anak-anak. Gambaran ini mirip dengan data 2022. Menurut Statistik Kriminal 2022, perempuan yang menjadi korban kejahatan pada 2019-2021 rata-rata sekitar 36 persen. Perempuan dan anak-anak korban TPPO semakin rentan karena sebagian besar berasal dari daerah yang sulit akses transportasinya.
Berdasarkan pengalaman penulis, cukup banyak saksi korban TPPO yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Lampung, dan Jawa Barat kesulitan mengikuti proses hukum karena proses hukum berlangsung di provinsi lain yang merupakan tempat kejadian perkara (TKP). Setidaknya kesulitan itu berupa biaya transportasi yang tidak kecil dan waktu perjalanan yang sangat lama. Dalam konteks ini, kita berharap dikeluarkan kebijakan afirmatif, misalnya berupa regulasi teknis tentang pemanfaatan alat bukti elektronik berupa rekaman keterangan saksi korban. Kemungkinan ini sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 29 dan 40 UU No 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Pasal 34 UU tersebut sesungguhnya juga memungkinkan pemberian keterangan saksi secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual. Marwah dari pasal ini sama dengan peradilan elektronik yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3/2018, No 1/2019, dan No 7/2022.
Semoga kebijakan afirmatif itu segera lahir dan ini akan melengkapi kebijakan afirmatif sebelumnya, yaitu kesepakatan dalam KTT ASEAN di Labuan Bajo pada Mei 2023 tentang kerja sama ASEAN memerangi TPPO di ASEAN, dan Perpres 49/2023 tentang pembaharuan Gugus Tugas PP TPPO.
Korban pelanggaran HAM
Langkah Presiden mengeluarkan sejumlah kebijakan pada akhir 2022 dan awal 2023 tentang penyelesaian nonyudisial perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu (PHBML) patut diapresiasi. Sebab, korban PHBML, yang jumlahnya puluhan ribu dan mayoritas adalah warga rentan karena usia, telah menanti perlindungan sekian lama. Bagi korban PHBML Peristiwa 1965, penantian itu telah lebih dari setengah abad.
Kebijakan afirmasi itu tertuang dalam Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM), Instruksi Presiden 2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial PHBML, dan Keputusan Presiden 4/2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi tersebut di atas. Kita masih menantikan kebijakan afirmasi selanjutnya demi mengakselerasi pemulihan korban PHBML, khususnya untuk merespons tantangan yang ada.
Salah satu tantangan berdasarkan pengalaman LPSK adalah sinergi dan kolaborasi pemulihan korban. Untuk itu, diharapkan ada kebijakan afirmasi menjadikan penanganan korban PHBML sebagai program prioritas nasional 2023-2024 di kementerian/lembaga yang tersebut di dalam Inpres No 2/2023. Program prioritas tersebut sebaiknya diakomodasi kebutuhan sharing anggaran untuk pelaksanaan pemulihan korban, mencakup, antara lain, anggaran kesehatan.
Diharapkan ada kebijakan afirmasi yang menjadikan penanganan korban PHBML sebagai program prioritas nasional 2023-2024 di kementerian/lembaga.
Setidaknya terdapat sekitar 4.500 korban PHBML yang berada dalam program pemulihan kesehatan dari LPSK sejak 2012, berasal dari 10 peristiwa PHBML, yaitu peristiwa 1965/1966, penghilangan paksa 1997/1998, Tanjung Priok, Talangsari, Jambu Kepok, Simpang KKA Aceh, Rumoh Geudong, peristiwa Mei 1998, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, serta penembakan misterius. Di luar tersebut masih terdapat ribuan korban PHBML yang menantikan perlindungan.
Terkait pemulihan melalui rehabilitasi medis, khususnya korban peristiwa 1965/1966, LPSK menemukan fakta bahwa mayoritas kebutuhannya adalah jaminan kesehatan atas tanggungan pemerintah. Kemunduran kesehatan yang mereka alami umumnya akibat usia menua dan/atau sakit akibat kekerasan fisik/penganiayaan selama ditahan unprocedural di masa lalu dan butuh perawatan medis serius.
Iuran BPJS yang gratis dengan fasilitas obat yang layak, serta penanggungan biaya transportasi bagi mereka dan pendampingnya untuk kepentingan berobat, sangat dirindukan mereka. Tanpa pendampingan oleh keluarga ketika berobat, sepertinya sungguh sulit bagi mereka untuk sampai di fasilitas kesehatan (faskes) terdekat, atau faskes di lain daerah. Organisasi pendamping korban dapat dilibatkan dalam pelaksanaannya.
Korban lainnya
Korban tindak pidana lainnya sesungguhnya sudah menikmati perlindungan yang terlahir dari kebijakan afirmatif, misalnya korban terorisme dan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Namun, masih diperlukan kebijakan lanjutannya. Kebijakan afirmatif untuk korban terorisme tertuang dalam UU No 5/2018 yang memperbarui UU No 15/2003.
Kebijakan ini menentukan bahwa korban dari peristiwa terorisme yang terjadi sejak 2002 menjadi tanggung jawab negara dan berhak mendapat pemulihan melalui skema kompensasi. Masih ditunggu kebijakan afirmatif selanjutnya untuk mengakomodasi kebutuhan korban terorisme yang terjadi sebelum 2002, misalnya Bom Omega di Poso tahun 2001 dan peristiwa lainnya.
Kebijakan afirmatif untuk korban TPKS dituangkan dalam UU No 12/2022 tentang TPKS. Ditunggu kebijakan afirmatif selanjutnya untuk memperkuat anggaran dan SDM di organisasi pemerintah daerah yang terkait dengan penanganan korban TPKS. Juga, penyelesaian segera revisi Perpres No 82/2018 tentang jaminan kesehatan yang tidak memberikan layanan kesehatan bagi korban tindak pidana karena tidak semua korban tindak pidana dapat dilindungi LPSK dan korban tindak pidana sesungguhnya adalah peserta BPJS.
Kita bersyukur dan mengapresiasi kebijakan afirmasi yang telah diambil untuk kepentingan korban kejahatan yang adalah warga bangsa dan kaum vulnerable. Dan menantikan kebijakan afirmasi lanjutannya, antara lain memosisikan korban kejahatan secara eksplisit dalam sistem peradilan pidana melalui amendemen KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Di luar keempat korban di atas, sesungguhnya masih terdapat banyak korban yang perlindungannya perlu diperkuat melalui amendemen KUHAP. Misalnya, korban lain yang berasal dari sembilan klasifikasi kejahatan dalam Statistik Kriminal BPS yang penyusunannya merujuk pada International Classification of Crime for Statistical Purposes (ICCS) yang digagas UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime). Amendemen KUHAP merupakan langkah menggenapkan dasar hukum yang menjamin kehadiran korban dalam peradilan pidana.
Perlindungan korban kejahatan adalah tujuan 16 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu mengurangi secara signifikan segala bentuk kekerasan dan angka kematian, dan memberikan akses keadilan yang sama untuk semua termasuk korban kejahatan. Tanpa harus mengeksklusifkan korban kejahatan, pembangunan nasional wajib ditujukan untuk menyejahterakan semua warga bangsa.