Penyelesaian Nonyudisial dan Hak Konstitusional Korban Kejahatan HAM Berat 1965
Korban peristiwa pelanggaran HAM berat menuntut hak konstitusional atas kebenaran dan keadilan. Kedua aspek penting pemulihan korban dan pemutusan impunitas ini absen dalam penanganan kejahatan HAM berat 1965/1966.
Meskipun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan kepada para eks mahasiswa ikatan dinas di Praha, ”Anda tidak bersalah kepada negara”, sejumlah organisasi HAM dan korban menganggap langkah pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 dalam rangka penyelesaian secara nonyudisial sebagai tidak berlandaskan hukum.
Beberapa organisasi hak asasi manusia (HAM), seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kontras, dan Amnesty International Indonesia, serta sebagian organisasi korban kejahatan HAM 1965/1966, menolak cara pemerintah itu.
Mereka mengatakan keputusan presiden (keppres) itu bertentangan dengan undang-undang, konstitusi, dan standar internasional HAM. Sementara Komisi HAM PBB menyambut baik pengakuan dan penyesalan pemerintah, tetapi berharap Pemerintah Indonesia melanjutkan dengan mengambil langkah-langkah sesuai dengan standar HAM.
Mandat Undang-Undang Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 47 kepada pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kejahatan HAM masa lalu adalah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), atau atas rekomendasi DPR membentuk pengadilan HAM ad hoc (pasal 43). Karena itu, jika pemerintah akan melakukan penyelesaian nonyudisial, RUU KKR-lah yang konon sudah ada dalam daftar legislasi nasional harus terlebih dahulu disahkan bersama DPR.
Pembentukan KKR sebetulnya dapat mengaitkan tiga hal pokok sekaligus, yakni (1) mengungkap kebenaran, (2) pengungkapan kebenaran ini juga berkaitan dengan akuntabilitas pemerintah dengan mengidentifikasi tersangka pelaku atau merujuk kepada lembaga yang bertanggung jawab, dan (3) mengimplementasikan rekomendasi.
Mungkinkah ada peristiwa kejahatan HAM, ada korbannya, tetapi tidak ada pelakunya?
Sementara keppres itu hanya memandatkan untuk pengungkapan latar belakang kejahatan HAM 1965/1966 dan korbannya, tetapi tak menyebut untuk mengidentifikasi pelaku, baik state actor dalam struktur rantai komando (chain of command) maupun aktor perseorangan (individual actor)-nya.
Mungkinkah ada peristiwa kejahatan HAM, ada korbannya, tetapi tidak ada pelakunya? Dengan perkataan lain, dalam konteks UU, pengakuan terjadinya kejahatan HAM berat dan penanganan korbannya saja, seperti yang dilakukan Tim Keppres No 4/2023 (Tim PPHAM), sangat tidak memadai. Apalagi jika dimaksudkan untuk melakukan penyelesaian yang adil dan tuntas sebagaimana dinyatakan dalam keppres.
Hak korban dalam rekomendasi Tim PPHAM
Rekomendasi-rekomendasi Tim PPHAM, khususnya terkait dengan hak korban, terasa sangat superfisial. Misalnya saja, rekomendasi untuk ”memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara”.
Rekomendasi ini selain tidak menyebut reparasi atau kompensasi sebagai bentuk pemulihan korban, juga terasa sebagai basa-basi belaka; meskipun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertanggung jawab berkenaan dengan reparasi tersebut adalah anggota Tim PPHAM juga. Hak korban atas reparasi meliputi ganti rugi, kompensasi, restitusi, dan layanan-layanan sosial lainnya.
Berkenaan dengan hak korban ini, PBB telah mengeluarkan Deklarasi No 40/34 Tahun 1985 tentang Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan. Deklarasi ini menyebutkan, hak korban meliputi: (1) diperlakukan sebagai manusia bermartabat sehingga dapat menikmati hak untuk mendapatkan akses keadilan; dan (2) hak untuk mendapatkan kompensasi.
Berdasarkan kedua prinsip hak korban tersebut, hak atas akses keadilan dan kompensasi bersifat komplementer dan bukan bersifat alternatif.
Sukarelawan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bersama aktivis hak-hak sipil menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Sementara itu, hak konstitusional korban dan warga negara berdasarkan Pasal 28 D (1) UUD 1945 tertulis jelas: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Selanjutnya Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 menegaskan tanggung jawab negara terkait hal ini. ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Dengan demikian, rekomendasi Tim PPHAM No 6 yang menyatakan ”Memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya. Perlu dilakukan pembangunan upaya-upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural”, terasa sebagai retorika kosong belaka.
Pertanyaan dasarnya adalah bagaimana pemulihan korban dan kohesi bangsa akan dilakukan jika kebenaran tak terungkap dan negara terus-menerus menolak melaksanakan hak konstitusional korban untuk memperoleh akses keadilan?
Rekomendasi cukup penting untuk dilaksanakan dalam kaitan pengungkapan kebenaran adalah ”melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa”.
Sayangnya, Tim PPHAM tampak enggan melaksanakannya. Dalam pertemuan dengan para korban kejahatan HAM berat 1965/1966 pada 27 Agustus 2023 di Amsterdam, Belanda, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa negara tak akan meluruskan sejarah. ”Setiap rezim punya perspektif sejarahnya sendiri,” demikian Mahfud menjawab desakan korban untuk melakukan pelurusan sejarah.
Meski demikian, Menko Polhukam menambahkan, jika para peneliti yang akan melakukan pelurusan sejarah, dananya akan disediakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Padahal, narasi resmi negara itulah yang justru menutupi kebenaran dan menjustifikasi genosida politik negara, menciptakan iklim ketakutan, serta mendorong terjadinya persekusi dan diskriminasi yang berlanjut sampai saat ini.
Jika negara tidak menunaikan rekomendasi untuk penulisan ulang sejarah dan mengganti narasi dominan selama ini, upaya awal untuk mengungkapkan kebenaran tidak akan terjadi. Ini juga bisa diartikan bahwa negara tetap menyangkal.
Jika negara tidak menunaikan rekomendasi untuk penulisan ulang sejarah dan mengganti narasi dominan selama ini, upaya awal untuk mengungkapkan kebenaran tidak akan terjadi.
Absennya kebenaran dan keadilan
Bagaimanapun langkah awal telah diayunkan. Sebagian korban, terutama yang berada di luar negeri, telah diberikan akses untuk pulang. Tiga eks mahasiswa ikatan dinas yang tinggal di Jerman dan Cekoslowakia telah diberikan visa kunjungan multiple entry selama lima tahun.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyatakan bahwa kementeriannya telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-05.GR.01.01 Tahun 2023 tentang Layanan Keimigrasian bagi Korban Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Peraturan ini dikeluarkan guna mempermudah korban memperoleh dokumen keimigrasian dengan gratis.
Namun, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa korban dalam pertemuan di Amsterdam itu, mereka masih menuntut hak konstitusionalnya atas kebenaran dan keadilan. Tampaknya justru kedua aspek penting pemulihan korban dan pemutusan impunitas ini yang absen dalam penanganan kejahatan HAM berat 1965/1966.
Penyesalan dan pengakuan yang dikemukakan Presiden Joko Widodo pada saat kick-off di Aceh bulan lalu seperti hendak disangkal lagi.
Di tengah bentuk-bentuk penyangkalan negara dan upaya pembungkaman yang begitu kuat, konstan, dan sistemik ini, upaya untuk memulihkan korban dan membangun kohesi atau persatuan bangsa serta membangun toleransi terhadap pemikiran-pemikiran politik yang berbeda akan mustahil dapat dilakukan.
Tim PP HAM seharusnya menyadari kondisi ini: pemulihan hak korban tidak mungkin dicapai jika negara tidak menunaikan kewajiban konstitusional dan internasionalnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi korban.
Oleh karena itu, pernyataan Mahfud MD yang dikutip harian Kompas di awal artikel ini terasa hanya sebagai seremonial dan hiburan belaka.
Yang diperlukan adalah pernyataan secara hukum bahwa tersangka bersalah dan negara bertanggung jawab atas kesalahan itu.
Esensi hak korban atas kebenaran dan keadilan, terutama yang sanak saudaranya menjadi korban pembantaian massal, penyiksaan seksual, pemenjaraan tanpa pengadilan, pemecatan, dan ditempatkan pada kamp kerja paksa di Pulau Buru atau kamp lain, sama sekali belum tersentuh.
Baca juga: Eksil akibat Peristiwa 1965 Diberi Kemudahan Masuk ke Indonesia
Baca juga: Korban Pelanggaran HAM Berat Layangkan Surat Terbuka untuk Presiden
Nursyahbani Katjasungkana,Koordinator Internasional People Tribunal (IPT) 1965