Skripsi sejatinya adalah proses panjang yang memerlukan kesabaran, baik dosen pembimbing maupun mahasiswa yang ingin bimbingan. Kalau diganti dengan publikasi jurnal, ada prosesi yang terpotong.
Oleh
MUH FAJARUDDIN ATSNAN
·4 menit baca
Skripsi selama ini menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa tingkat akhir. Tidak seperti halnya mata kuliah lain, skripsi tidak ada teorinya, tidak ada rumusnya. Skripsi mahasiswa akhir bisa rampung hanya dengan syarat ketekunan dan nasib baik ketika mendapat dosen pembimbing yang dapat meluangkan waktu untuk mengarahkan, memberikan masukan, saran, terkait arah jalan tugas akhir mahasiswa yang disebut skripsi.
Mahasiswa pintar belum tentu skripsinya mulus dan lancar seperti jalan tol. Banyak juga mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) ataupun mahasiswa dengan kemampuan akademik kurang mentereng alias biasa-biasa saja justru bisa menamatkan skripsi lebih cepat ketimbang mahasiswa yang dianggap pintar.
Mengapa begitu? Ya itu tadi, karena skripsi tidak ada rumus bakunya, cuma modal tekun, rajin, dan nasib mujur dapat dosen yang enak di skripsi.
Kalau ditanya, apa mata kuliah yang paling unik? Skripsi jawabnya. Tanpa skripsi, ibarat sayur kurang garam, ada yang kurang. Di skripsi inilah mahasiswa memulai belajar meneliti, dengan format atau sistematika mirip-mirip seperti makalah, di dalamnya ada struktur bab per bab.
Namun, bedanya, di skripsi ini mahasiswa diajak untuk berpikir logis, sistematis, dan ilmiah. Tidak sekadar copy paste, comot sana-sini, tetapi belajar menerapkan aturan/kaidah penulisan karya tulis ilmiah yang runtut dan koheren antarkalimat, antarparagraf, dan antarbab.
Bab 1 Pendahuluan, mahasiswa akan mengurai secara gamblang permasalahan yang dijumpai, mengemukakan fakta-fakta problematika yang dijumpai di lapangan, disandingkan dengan kondisi idealnya seperti apa. Kemudian, ending-nya disajikan solusi ataupun obat mujarab untuk menyelesaikan permasalahan yang ditemui yang kemudian diangkat jadi topik, tema, dan judul skripsi, yang disajikan dalam bentuk rumusan masalah dan tujuan penelitian.
Di skripsi ini mahasiswa diajak untuk berpikir logis, sistematis, dan ilmiah. Tidak sekadar copy paste, comot sana-sini.
Bab 2, mahasiswa mengeksplorasi variabel-variabel yang terdapat pada judul untuk dikaji teori yang relevan serta membuat kerangka berpikir yang tepat. Pada bab 3, metode penelitian. Hanya bab ini yang ada kaitannya dengan mata kuliah lain, seperti metodologi penelitian, ataupun statistik jika yang diambil adalah penelitian kuantitatif.
Dua bab terakhir, yaitu hasil penelitian dan pembahasan serta penutup merupakan hasil olah data yang terkumpul, disajikan temuan yang mengandung novelty alias kebaruan, dan dibahas dengan mendalam mengaitkan teori yang ada ataupun membentuk tesis atau teori yang baru pada penelitian kualitatif.
Itulah mengapa skripsi itu unik, tidak ada rumus baku untuk menyelesaikannya. Yang ada hanyalah panduan, rambu-rambu, dan kaidah sistematika penulisan yang disediakan. Selebihnya menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa sebagai peneliti pemula.
Pro-kontra pengganti skripsi
Kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, salah satunya merumuskan syarat lulus kuliah pada jenjang S-1 dan D-4 yang tidak wajib membuat skripsi. Ini memunculkan pro-kontra di kalangan akademisi. Bagi mahasiswa, kebijakan ini tentu dipandang ”meringankan” meskipun mereka belum sadar bahwa pengganti skripsi, dengan publish di jurnal tertentu, itu susah-susah gampang.
Pada aturan terbaru tersebut dijelaskan bahwa bagi mahasiswa yang belum menjalani kurikulum berbasis proyek, maka syarat lulus kuliahnya yaitu tugas akhir yang juga tidak harus berbentuk skripsi. Tugas akhir yang dimaksud bisa berupa prototipe, proyek, ataupun bentuk sejenis lainnya, yang dapat dikerjakan secara individu ataupun berkelompok.
Meskipun kebijakan ini baru diluncurkan Kemendikbudristek, sejatinya aturan ini bukanlah hal baru bagi beberapa perguruan tinggi. Sebab, beberapa perguruan tinggi telah menerapkan konversi prestasi, jurnal bereputasi, hingga proyek ilmiah sebagai pengganti skripsi untuk syarat kelulusan.
Bisa tidak mahasiswa lulus tanpa melalui ataupun mengambil skripsi? Di era Merdeka Belajar Kampus Merdeka, dengan istilah rekognisinya, tentu bisa saja mahasiswa merampungkan masa studi dengan tidak mengambil skripsi dengan syarat publish artikel hasil penelitian di jurnal-jurnal tertentu, yang nanti akan direkognisi sebagai pengganti skripsi.
Misalkan, artikel penelitian bisa dipublikasi di Jurnal Sinta 1 atau terindeks Scopus Q3/Q4, maka nilai skripsi ataupun istilah lain penggantinya auto A. Bisa publikasi di Sinta 2, dihargai setara dengan nilai B+, bisa publikasi di Sinta 3 atau Sinta 4, nilai B, dst. Ada rekognisi yang sepadan dengan sulitnya menembus jurnal-jurnal bereputasi Sinta, atau bahkan terindeks Scopus. Sudah banyak mahasiswa yang merasakan kemudahan tersebut di beberapa kampus.
Namun, sebelum ke sana arahnya, seyogianya mahasiswa lebih dahulu dikenalkan dengan istilah artikel ilmiah yang dipublikasi di jurnal. Pertama, kalau dosen, istilah jurnal terindeks, publikasi jurnal, dst mungkin sudah familiar. Namun, tidak untuk mahasiswa sebagai peneliti pemula.
Artikel jurnal sejatinya adalah inti sari dari hasil penelitian. Artikel jurnal bisa dikatakan sebagai miniatur skripsi.
Perlu ada pengarahan tentang wawasan apa itu artikel jurnal, bagaimana cara submit, kemudian rencana jurnal-jurnal relevan yang ingin dituju, apa itu gaya selingkung, dll. Plus, dibimbing bagaimana trik dan tips untuk menulis di jurnal bereputasi sampai publikasi agar mahasiswa tidak buta dengan publikasi artikel di jurnal.
Artikel jurnal sejatinya adalah inti sari dari hasil penelitian. Artikel jurnal bisa dikatakan sebagai miniatur skripsi. Skripsi yang disinopsiskan ditambah dengan gaya menulis ala jurnal, menjadi artikel hasil penelitian yang ringkas dan enak dibaca.
Kedua, mahasiswa perlu dikenalkan tentang manajemen referensi. Bagi dosen tentu sudah familiar dengan beberapa software yang membantu menghimpun referensi pustaka yang dirujuk, seperti Mendeley ataupun Zotero. Namun, mahasiswa yang baru beranjak meneliti perlu dikenalkan tentang bagaimana menggunakan manajemen referensi yang sangat membantu baik pada penulisan skripsi maupun menyusun artikel jurnal. Menulis manual referensi sebenarnya sah-sah saja, tak ada larangan, tetapi riskan ada rujukan yang tertinggal, tidak termuat, ataupun yang tidak digunakan justru termuat.
Skripsi tak wajib
Segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu berdampingan dan berlawanan, termasuk wajib dan tidak wajib. Namun, dalam hukum Islam, kalau tidak wajib, berarti bisa sunnah ataupun mubah (boleh). Menurut pandangan penulis, terkait wacana kebijakan skripsi tak wajib, itu sah-sah saja. Sebab, misalnya direkognisi dengan publikasi artikel jurnal tentu banyak benefit yang didapatkan, angka kum bagi dosen, poin akreditasi tinggi, dll.
Namun, skripsi sejatinya adalah proses panjang yang memerlukan kesabaran baik dosen membimbing mahasiswa, ataupun mahasiswa yang ingin bimbingan. Kalau diganti dengan publikasi jurnal, ada prosesi yang terpotong. Alur yang semestinya bagi mahasiswa yang mengambil skripsi, sebagai peneliti pemula adalah menyelesaikan bab demi bab, hingga akhir, dan kalau sudah selesai, hasilnya bisa dijurnalkan.
Pertanyaannya adalah, apakah opsi penggantian skripsi ke publikasi jurnal, misalnya, diiringi dengan pembimbingan yang ter-hidden dari proses awal penelitian, pembuatan instrumen, pengolahan dan analisis data, hingga penyimpulan hasil temuan penelitian?
Kalau semua proses yang pembelajaran meneliti lewat skripsi bisa tetap terjaga ke bentuk konversi yang lain, kebijakan tersebut patut dilakukan. Namun, jika proses alamiah yang mesti dipelajari saat skripsi hilang dan terpangkas saat memilih bentuk konversi selain skripsi, sebaiknya kebijakan tersebut ditinjau ulang.
Kapan lagi mahasiswa sebagai peneliti pemula bisa menikmati lika-liku perjuangan skripsi jika tidak ada skripsi. Catatan, bagi mahasiswa program studi/jurusan tertentu yang berorientasi produk seperti seni, skripsi bisa saja tidak wajib. Namun, latihan untuk tetap menuliskan apa yang dilakukan menjadi keniscayaan agar berimbang antara bahasa tuturan dan bahasa lisan yang ilmiah. Semoga.