Pro-Kontra Bebas Skripsi
Peraturan skripsi yang tidak lagi diwajibkan sebagai syarat kelulusan disambut mahasiswa dengan sikap beragam.
Skripsi kerap menjadi momok menakutkan bagi sebagian mahasiswa semester akhir. Sebagai syarat kelulusan, penyusunan skripsi memakan waktu yang relatif lama. Kini, pemerintah telah menetapkan peraturan bahwa skripsi bukan lagi kewajiban. Peraturan itu mendapat respons yang beragam.
Bagi mahasiswa tingkat akhir, mengerjakan skripsi membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mereka harus menemukan tema skripsi yang harus disetujui dosen pembimbing serta membagi waktu dengan dengan kegiatan lain. Banyaknya kendala itu terkadang membuat mahasiswa terdemotivasi.
Saat ini, mahasiswa bisa bernapas lega. Syarat kelulusan mahasiswa sarjana dan pascasarjana di perguruan tinggi yang sebelumnya wajib menggunakan skripsi, tesis, atau disertasi dihapuskan. Dalam standar nasional pendidikan tinggi tahun 2023 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, perguruan tinggi mendapat kemerdekaan untuk memberikan tugas akhir kepada mahasiswa program sarjana dan pascasarjana melalui bentuk lain.
Kebijakan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan sebagai landasan peluncuran Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi, di Jakarta, Selasa (29/8/2023) (Kompas, 30/8/2023).
Peraturan itu ditanggapi beragam oleh para mahasiswa. Michael Khresna Aji (22), mahasiswa Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta, melihat skripsi berperan dalam pembentukan pola pikir. ”Skripsi penting untuk menjadi bekal mahasiswa dalam menilik segala realitas secara rapi, runtut, dan berkelanjutan,” kata Khresna saat diwawancarai pada Jumat lalu.
Khresna menambahkan, tugas akhir yang dikerjakan mahasiswa apakah memiliki bobot yang sama dengan penyusunan skripsi. ”Proses penyusunan skripsi sudah mengandung pembelajaran yang lengkap dan tersusun, mulai dari mencari permasalahan, terjun langsung ke lapangan, mengolah data, menganalisis, hingga pada tahap menarik kesimpulan,” ujarnya.
Meski dalam proses pengerjaan skripsi saat ini banyak tekanan, bagi Kreshna, semua pengalaman itu akan terus dikenang seumur hidup. Mahasiswa jurusan ilmu tanah ini merasa senang karena berada di lingkungan yang suportif, banyak teman yang sedang mengerjakan skripsi. Dukungan datang pula dari para senior yang sudah lulus dengan memberikan motivasi dan berbagi ilmu. Lalu, dalam pengerjaan skripsi, ia juga menemukan pembelajaran baru yang berbeda dibandingkan dengan perkuliahan reguler.
”Proses pengerjaan skripsi membutuhkan kemampuan yang berbeda untuk dapat menyelesaikan permasalahan agar hasil skripsi menjadi baik. Selain itu, pengerjaan skripsi dapat membantu kita dalam mengasah diri karena harus sabar, konsisten, dan fokus dalam melatih diri,” ujarnya.
Sudut pandang berbeda datang dari Priscila Daniella (22), alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, yang mengambil tugas akhir berupa makalah jurnal nonskripsi. ”Dengan jurnal nonskripsi, kuliah bisa selesai 3,5 tahun, cepat lulus dan praktis. Kalau skripsi harus ada penelitian langsung, kalau jurnal bisa langsung penelitian dari literatur review. Jadi, lebih praktis,” kata Priscila.
Sebenarnya pengerjaan skripsi ataupun jurnal tak berbeda jauh. Priscila mengakui menemukan berbagai kendala, seperti susah membagi waktu antara mengerjakan tugas kuliah dan mengerjakan jurnal. Keduanya dikerjakan dalam waktu yang bersamaan. Terlebih, ia merasa dikejar-kejar perihal kemajuan tahapan makalah oleh dosen pembimbing. Kendala lain adalah saat itu banyak rumor yang beredar mengenai simpang siur informasi apakah bisa jurnal menjadi syarat untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya.
Meski begitu, tidak selamanya membuat jurnal itu menyusahkan. Priscila malah menemukan materi-materi yang menarik di tengah perjalanannya membuat makalah jurnal melalui literatur review. ”Kita bisa mendalami materi yang sudah pernah kita pelajari, terus kita aplikasikan dalam sebuah karya. Jadi, lebih ada output-nya,” katanya.
Sayangnya, mahasiswa yang membuat jurnal kerap dipandang sebelah mata. Padahal, menurut Priscila, berdasarkan pengalamannya saat berkuliah di jurusan ilmu komunikasi, makalah yang ia buat tidak hanya membahas permukaan, tetapi juga dituntut kedalaman materinya. ”Pembuatan jurnal ngelatih kita mikir gimana kita mengaitkan teori yang ada dengan masalah atau fenomena yang ada saat ini,” ujarnya.
Satu suara dengan Priscila, Louis IX King (23), alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dengan bulat setuju menyambut kebijakan ini. ”Setuju dengan wacana penggantian skripsi dengan tugas akhir lain. Yang saya pikir ideal itu adalah membuat proyek-proyek sesuai dengan bidang yang diminati atau ditekuni. Dibandingkan dengan skripsi, membuat proyek yang pada akhirnya dapat menghidupi seseorang itu lebih dapat membantu mahasiswa di waktu depan,” kata Louis.
Baca juga : Peduli Sosial dengan Komunitas Belajar
Akuntan asal Nusa Tenggara Timur ini berbagi pengalaman ketika mengerjakan skripsi dalam waktu yang cukup singkat, yaitu empat bulan. Masa pengerjaan itu ditambah dengan penyelesaian revisi skripsi selama satu bulan. ”Dorongan dari diri sendiri yang terkadang menjadi hambatan menjadi masalah dalam pengerjaan skripsi,” ungkapnya.
Pengalaman menyusun skripsi yang dilakukan dengan penelitian membuat Louis banyak mendapat pelajaran berharga. Ketika itu, Louis kesulitan dalam mendapatkan akses terhadap instansi yang menjadi objek penelitiannya. Ia bercerita, dalam waktu tiga minggu sampai satu bulan tidak diberi kejelasan, ia hanya menunggu. Solusinya, Louis mengubah metode penelitian dari awalnya wawancara yang tergantung pada obyek penelitian menjadi studi pustaka. Menurut dia, lebih baik dan mudah mengambil laporan resmi tata kelola perusahaan dari sebuah instansi, kemudian mengolahnya.
Saat ini, Louis bekerja di salah satu perusahaan swasta yang berlokasi di Palembang, Sumatera Selatan. ”Saat ini bekerja di retail. Kenyataannya, relevansi pengerjaan skripsi terhadap pekerjaan berbeda. Hal-hal yang dibutuhkan dalam pekerjaan itu lebih bersifat teknis, bukan hanya sekadar teori,” ujarnya.
Menjadi pilihan
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Rochman Achwan, menyambut kebijakan ini dengan positif. ”Saya berharap kebijakan ini merupakan langkah awal menghapus kebijakan one size fits all yang selama ini dianut oleh kementerian ini dalam mengelola universitas,” katanya saat dihubungi via Whatsapp, Jumat (8/9/2023).
Rochman menjelaskan, terdapat dua jenis perbedaan tipe mahasiswa. Yang pertama, tipe mahasiswa ilmuwan. Mahasiswa tipe ini cenderung kuat dalam kompetensinya di bidang teori dan metodologi. Hal ini berseberangan dengan tipe mahasiswa yang kedua, yaitu tipe mahasiswa praktisi. Tipe mahasiswa ini secara kompetensi kurang menguasai pengetahuan teoretis.
”Perbedaan tipe ini dapat memberikan dampak yang signifikan bagi para mahasiswa dalam proses penyusunan skripsi mereka,” ujarnya.
Dosen FISIP UI itu juga menerangkan, bagi tipe mahasiswa ilmuwan, penulisan skripsi adalah hal yang mudah dan menyenangkan. Adapun bagi tipe mahasiswa praktisi, penyusunan skripsi menjadi beban yang berat karena mereka harus terpaku dengan teori-teori yang ada.
Nah, Sobat Muda, mau memilih yang mana? Jangan lupa kenali diri dan pilihlah sesuai dengan minat dan kemampuan, ya, agar dapat lulus tepat waktu.
Kolaborasi dengan Intern Kompas:
- Nikolaus Daritan, Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma
- Aghniya Fitri Kamila, Mahasiswi Jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia