Harga gabah yang kian tinggi mengancam usaha penggilingan padi karena harga jual beras dibatasi HET. Sudah saatnya pemerintah lebih serius mengurus industri penggilingan karena ini elemen vital di industri perberasan.
Oleh
KHUDORI
·4 menit baca
PT Sinar Makmur Komoditas akhirnya menyerah: berhenti memproduksi beras merek Sumo per 11 September 2023. PT Sinar Makmur mengklaim sudah berupaya bertahan. Namun, apa yang terjadi saat ini sudah di luar batas kemampuan.
Alasannya, harga gabah sebagai bahan baku beras kian tidak terkontrol. Di sisi lain, kala menjual jadi beras kualitas premium mereka patuh kepada regulasi: sesuai harga eceran tertinggi (HET). Ini diketahui dari surat bertanggal 4 September 2023 yang ditandatangani Chief Business Officer PT Tiga Sedulur Djaja Hengky Wibowo. PT Tiga Sedulur adalah distributor beras Sumo
Secara implisit, PT Sinar Makmur yang berbasis di Jombang, Jawa Timur, ini tak kuat lagi menahan kerugian. Biangnya adalah harga gabah yang tinggi, sementara ketika diolah jadi beras harga jualnya dibatasi HET.
Seperti diatur di Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 7 Tahun 2023, HET beras medium di daerah produsen Rp 10.900 per kilogram (kg) dan di sentra konsumen Rp 11.500-Rp 11.800 per kg (tergantung ongkos transportasi). Adapun HET beras premium di daerah produsen Rp 13.900 per kg dan di sentra konsumen Rp 14.400-Rp 14.800 per kg (tergantung ongkos transportasi) pada dasarnya memaksa pelaku usaha menekan margin pemasaran. Padahal, gabah sebagai input harganya tidak diatur HET.
Agar bisa menjual beras premium Rp 13.900 per kg tanpa keuntungan, harga gabah maksimal sekitar Rp 6.000 per kg. Kalkulasi ini berlaku untuk penggilingan menengah-besar dengan konfigurasi mesin lengkap. Masalahnya, di pasar saat ini sulit didapatkan gabah seharga Rp 6.000 per kg. Di sejumlah daerah, harga gabah menyentuh Rp 7.000 per kg, bahkan Rp 7.300 per kg.
Mulai Oktober 2023 hingga Januari-Februari 2024 adalah musim paceklik. Ini berarti harga gabah masih potensial terus naik. Petani diuntungan oleh harga gabah yang tinggi. Namun, harga gabah yang tinggi mengancam keberlanjutan hidup penggilingan.
Terus berkurang
Penggilingan tutup sebenarnya bukan hal baru. Merujuk data BPS, penggilingan padi berkurang dari 182.199 usaha pada 2012 menjadi 169.789 usaha pada 2020 (turun 6,81 persen). Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat adalah provinsi dengan penurunan penggilingan terbesar. Sementara di Nusa Tenggara dan Aceh jumlah penggilingan bertambah.
Jumlah penggilingan menurun karena lahan pertanian berkurang dan persaingan di antara mereka dalam berebut gabah. Penggilingan padi kecil kalah dan tutup karena modal cekak, terutama buat beli gabah dari daerah lain.
Beleid HET beras mulai 1 September 2017 diyakini mempercepat penggilingan padi, terutama skala kecil, masuk jurang kematian karena keuntungan makin tipis. Akan tetapi, penggilingan tutup operasi bukan monopoli penggilingan skala kecil. Dari sisi persentase, merujuk data BPS, penutupan terbanyak terjadi pada penggilingan besar (49,15 persen), disusul penggilingan menengah (15,09 persen) dan kecil (4,52 persen).
Isu sentral sepertinya lebih karena kapasitas penggilingan saat ini 178 persen lebih tinggi dari kapasitas produksi gabah yang hanya 54 juta ton per tahun.
Ini berarti kompetisi penggilingan padi menengah-besar versus penggilingan kecil dalam isu tutup operasi kurang relevan. Isu sentral sepertinya lebih karena kapasitas penggilingan saat ini 178 persen lebih tinggi dari kapasitas produksi gabah/padi yang hanya 54 juta ton per tahun.
Kapasitas penggilingan yang jauh lebih besar dari produksi gabah membawa efek domino panjang: terjadi perebutan gabah antarpenggilingan, terutama penggilingan besar versus penggilingan kecil; marak pergerakan gabah antarwilayah karena panen tak serentak yang membuat ongkos produksi tinggi alias tak efisien; dan penggilingan beroperasi jauh di bawah kapasitas terpasang (sekitar 47 persen beroperasi 3-6 bulan setahun). Ketika aneka upaya untuk bisa bertahan tak lagi menolong, tutup operasi jadi sebuah keniscayaan.
Dampak HET pada penggilingan berbeda-beda, tergantung jenisnya. Penggilingan kecil tak mampu menghasilkan beras kualitas baik berbiaya rendah, kehilangan hasil tinggi, banyak butir patah, rendemen rendah, dan tak mampu menghasilkan beras dengan higienitas tinggi (Sawit, 2014; Patiwiri, 2006). Sebaliknya, penggilingan besar, apalagi penggilingan padi terintegrasi, bisa menghasilkan beras kualitas bagus (baca: premium), biaya rendah, kehilangan hasil rendah, butir patah sedikit, dan rendemen tinggi. Karena alasan ini, secara teoritik, penggilingan menengah-besar bisa lebih adaptif terhadap HET.
Dampak HET terhadap daya hidup penggilingan juga bergantung pada tipe bisnis penggilingan. Ada dua tipe bisnis penggilingan padi: penjual jasa giling gabah dan sebagai produsen dan pedagang beras. Persatuan Penggilingan Padi Indonesia (2016) memperkirakan 41 persen penggilingan adalah penjual jasa giling, 59 persen adalah produsen dan pedagang beras.
Beleid HET berdampak pada penggilingan padi yang menekuni jenis usaha ini. Risiko usaha jadi tinggi karena penggilingan harus menekan biaya pemasaran.
Tipe pertama umumnya ditekuni penggilingan padi kecil, termasuk penggilingan padi kecil keliling. Karena menjual jasa giling, eksistensi penggilingan ini tak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya harga gabah. Juga tidak terdampak beleid HET.
Tipe bisnis kedua ditekuni penggilingan padi kecil dan penggilingan padi skala menengah-besar. Penggilingan kecil umumnya berkonsentrasi sebagai produsen beras kualitas asalan, butir patah 30-35 persen, dan derajat sosoh 80 persen. Beras kualitas rendah ini dijual dan diproses ulang oleh penggilingan padi menengah-besar (Sawit, 2017).
Beleid HET berdampak pada penggilingan padi yang menekuni jenis usaha ini. Risiko usaha menjadi tinggi karena penggilingan harus menekan biaya pemasaran. Ketika gabah sebagai input produksi harganya tinggi, mereka terjepit dari dua sisi karena harga jual dibatasi HET.
Dalam centang perenang demikian, muncul anomali: penggilingan padi kecil keliling makin bejibun. Dari sisi unit, jumlahnya bertambah dari 19.223 pada 2012 menjadi 23.164 pada 2020. Porsinya pun naik: dari 10,55 persen dari jumlah penggilingan pada 2012 menjadi 13,64 persen di 2020. Jawa Timur tetap jawara jumlah penggilingan keliling. Karena bisa melayani di depan rumah petani, penggilingan keliling lebih unggul. Padahal, kualitas beras penggilingan keliling ini jauh lebih buruk ketimbang penggilingan padi kecil.
Penting disadari, dalam industri perberasan penggilingan padi adalah elemen vital. Selama berpuluh-puluh tahun pemerintah lebih fokus pada swasembada gabah, tetapi melupakan beras. Berbagai kebijakan on farm (subsidi pupuk dan benih, bantuan alsintan, dan jejaring irigasi) dibuat untuk mengejar swasembada gabah. Padahal, industri padi/gabah dan industri beras saling terkait dan saling memperkuat. Jika salah satu di antaranya melemah (kurang atau tak diurus), keduanya akan melemah. Itu yang terjadi saat ini. Sudah amat mendesak pemerintah lebih serius mengurus industri penggilingan.