Kesetiaan Politik Menguap
Politikus berkarakter kini semakin langka. Ini terjadi seiring perkabungan politik di negeri ini pasca-Orde Lama: ideologi ”sudah wafat”. Reformasi 1998 juga lepas dari anak-anak muda yang telah berjuang berdarah-darah.
Dalam dinamika pilpres yang semakin tinggi, terjadi berbagai manuver politik. Pelbagai koalisi pun bergoyang, bahkan ada yang pecah kongsi. Kesetiaan/ komitmen politik pun semakin menguap. Lenyap.
Parpol yang semula menyatakan setia berjuang bersama- sama untuk memenangi pilpres mendadak lompat pagar. Ia berhimpun dengan koalisi lain karena agenda politik tertentu. Misalnya, sang ketua umum parpol itu ingin jadi capres.
Selain itu, parpol-parpol lain pun pindah dari koalisi satu ke koalisi yang lain. Alasannya rasa nyaman di dalam berjuang dengan kawan-kawan lama.
Kini politik bukan lagi entitas kultural yang ”sakral” dan dihormati untuk memperjuangkan kepentingan sosial/ bangsa dan negara. Politik berubah jadi jalan meniti karier layaknya kaum profesional lain.
Politik bukan lagi jalan anak-anak bangsa untuk mendarmakan dirinya bagi bangsa negara, melainkan dunia niaga, bisnis yang menjanjikan keuntungan material. Politik pun menjelma jadi pasar bebas tempat terjadinya berbagai transaksi. Elitisasi politik pun terjadi. Hanya mereka yang memiliki kekayaan material/uanglah yang bisa memasukinya: menjadi anggota legislatif, kepala daerah, birokrat, dan lainnya.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan intelektual, ideologi, kecakapan teknis, berintegritas, dan berkomitmen tak berkantong tebal, silakan minggir. Silakan jadi penonton. Ini pesta bagi kaum kaya.
Politik bukan lagi jalan anak-anak bangsa untuk mendarmakan dirinya bagi bangsa negara, melainkan dunia niaga, bisnis yang menjanjikan keuntungan material.
Politik yang hanya mengandalkan modal ekonomi plus popularitas, tetapi tanpa ideologi dan kecakapan intelektual dan teknis, sangat sulit menghasilkan makna dan nilai bagi publik.
Politik semacam itu hanya berputar-putar seputar persoalan kaum elite: bagaimana mereka bisa kaya dan berkuasa dan bukan memikirkan rakyat bisa semakin sejahtera. Kalau toh kepentingan rakyat disebut, itu tak lebih dari retorika.
Di dalam politik yang tidak kental makna dan nilai ideologis dan pengabdian atas bangsa/negara, para pelaku politik cenderung ”hanya bekerja” (jadi pegawai politik), bukan menjalankan misi suci kemanusiaan dan kebangsaan. Maka tak perlu heran jika para politikus saat ini semakin rileks, luwes, kompromistis, dan hedonistik.
Mereka begitu gampang berpindah partai dan bekerja sama dengan siapa pun demi kepentingan dan keuntungan. Semua jadi cair. Penuh busa.
Politikus kontemporer dan ”old crack”
Bagi para politikus kontemporer, tak berlaku ungkapan ”tak bisa pindah ke lain hati”. Ungkapan beraroma militansi dan puitis itu hanya berlaku bagi politikus yang punya kesadaran ideologis, yakni politikus jadul alias old crack yang kini sudah tiada. Sementara politik pragmatis—yang kini diikuti mayoritas politikus—tidak mengajari ihwal kesetiaan atau konsistensi, tapi kepentingan.
Politik pragmatis hanya mengenal ungkapan yang sudah klasik: tak ada lawan/seteru abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Ketika kepentingan jadi panglima, para politikus bisa dan tega melakukan apa pun. Ringan hati untuk mencla-mencle (berubah-ubah pendirian). Tanpa beban untuk bersikap tidak konsisten. Tanpa rasa bersalah untuk ingkar janji.
Juga tanpa penyesalan ketika mengorbankan kehormatan, martabat, atau marwah dirinya. Padahal, pribadi tanpa kehormatan/martabat/marwah nyaris tak beda dengan orang tanpa kedaulatan diri dan karakter.
Karakter dibangun melalui proses penempaan atau pencarian diri yang mengutamakan etika dan etos kreatif. Etika memberi orientasi nilai yang bermuara pada moralitas. Moralitas menjadikan manusia mampu memilih nilai-nilai kebaikan dan kepatutan di antara nilai-nilai keburukan. Adapun etos kreatif bertalian dengan kapasitas kemampuan, komitmen, dedikasi, kesanggupan untuk bekerja keras, produktivitas dan orientasi sosial: altruisme.
Bagi politikus sejati, jadi ”orang baik” saja tidak cukup karena hanya jadi kemewahan personal/individual. Politikus yang hanya berorientasi pada kebaikan personal ibarat barang indah di suatu tempat yang dipuja banyak orang, tidak memberi manfaat sosial. Ia hanya jadi pajangan di etalase keindahan. Ia berpotensi untuk diperalat oleh pihak-pihak yang punya kepentingan dengan mengatasnamakan ”kebaikan”.
Maka, bagi politikus sejati, selain jadi orang baik, ia juga harus jadi manusia altruistik, yakni manusia yang tidak mau masuk surga sendirian, tapi bersama banyak orang. Untuk itu, kebaikan harus didagingkan menjadi perilaku produktif dan memberi makna dan nilai bagi banyak manusia yang lain.
Politikus berkarakter/sejati kini semakin langka. Ini terjadi seiring perkabungan politik di negeri ini pasca-Orde Lama: ideologi ”sudah wafat”. Kalau toh muncul letupan-letupan ideologi, itu tak lebih dari cara dan siasat pelbagai kelompok yang memperjuangkan kepentingan politik dan ekonominya.
Ini terjadi pada hampir semua pengikut ideologi kanan, kiri, ”tengah”, sekuler, ataupun yang bernuansa agama.
Namun, Reformasi 1998 ternyata lepas dari anak-anak muda yang telah berjuang berdarah-darah melawan penguasa otoriter Orde Baru.
Penguatan elite
Reformasi 1998 semula diharapkan mampu memperkuat posisi masyarakat sipil melalui perubahan signifikan secara kebudayaan, politik, sosial, ekonomi. Namun, Reformasi 1998 ternyata lepas dari anak-anak muda yang telah berjuang berdarah-darah melawan penguasa otoriter Orde Baru. Reformasi 1998 akhirnya digenggam dan dikuasai para tokoh parpol besar dan menengah yang berkolaborasi dengan para botoh politik yang kekayaannya tak bisa dihitung lagi.
Maka, bukan posisi masyarakat yang menguat, melainkan kelompok elite politik dan ekonomi. Dengan semangat oligarki, mereka menguasai aset negara dari hulu sampai hilir. Mereka menentukan UU dan sistem yang cenderung menguntungkan dirinya sendiri.
Korupsi semakin masif. Salah satu pintu strategis untuk korupsi adalah politik. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif ramai-ramai bancakan duit negara. KPK yang semula bisa jadi macan yang menerkam kaum tikus justru dibikin lemah.
Berbagai keburukan yang menghampar di depan kita tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab/komitmen/integritas politikus yang menjalankan peran sosialnya. Mereka berada di garda depan negara. Setiap kebijakan dan laku politiknya berdampak besar ke masyarakat.
Perlu membangun atau meng-install ulang kesadaran dan orientasi para politikus untuk tetap memuliakan kesetiaan pada nilai ideal kehidupan bangsa, yakni altruisme kebangsaan yang terpantul pada perilaku etis, ideologis, skill, berintegritas, berkomitmen, dan berdedikasi. Menjadi politikus bukan jadi pegawai politik, melainkan pendekar konstitusi.
Parpol bukan ”pabrik/peternakan” politikus, melainkan entitas dan wahana kultural, sosial, dan politik untuk melahirkan pemimpin bangsa berkualitas negarawan.
Baca juga : Mengerem Keserakahan
Indra Tranggono Praktisi Budaya dan Esais