Mengerem Keserakahan
Kompetisi di jagat politik adalah ruang permainan. Seperti panggung sandiwara. Yang membedakan secara substansial adalah pertaruhan. Maka, perlu waspada terhadap nafsu purba yang penuh keganasan memanjakan keserakahan.
Memasuki tahun politik, sepertinya kita perlu mengingat ajaran klasik yang selalu difatwakan agama mana pun. Tentang kesediaan diri mengerem keserakahan.
Serakah bukan saja urusan materi dan pencapaian ekonomi, melainkan juga keinginan memiliki dan memonopoli kekuasaan secara berlebihan.
Padahal, kita tahu kompetisi di jagat politik itu adalah ruang permainan. Praktik berdemokrasi yang diatur sejumlah kesepakatan, peraturan, undang-undang, yang kesemuanya (diharapkan) berlangsung secara fair. Laiknya sebuah permainan, ada pihak sini, ada pihak sana. Ada kami, ada mereka. Ada persaingan dan ketegangan di dua belah pihak. Sama seperti permainan sepak bola, bulu tangkis, voli, adu jangkrik, kasti, dan sejenisnya.
Sama pula seperti panggung sandiwara tempat di mana kepura-puraan dihadirkan secara meyakinkan. Dari yang semula tidak ada menjadi seakan-akan ada. Yang semula ada justru dinafikan. Yang berlepotan di-make up menjadi indah berkilau. Yang rapuh diformat gagah. Yang kelam dibesut jadi cemerlang. Yang pandir dikesankan jagoan berpikir, dan seterusnya.
Sebuah kompetisi permainan biasanya melahirkan kegembiraan. Penonton menghadiahi tepuk tangan di ujung acara. Namun sialnya, di panggung politik semacam pemilu atau pencapresan, para figuran yang penghayatannya overdosis terkadang justru memanen permusuhan, perseteruan bertahun-tahun, dan jika apes jadi korban gontok-gontokan, sementara para atlet dan aktor utama leha-leha penuh canda ngopi bareng.
Karena saya tergolong pengecer jasa akting, yang terbiasa berpura-pura dalam permainan, saya ingin berefleksi. Mempersandingkan pemilu dengan peristiwa teater.
Serakah bukan saja urusan materi dan pencapaian ekonomi. Tapi juga keinginan memiliki dan memonopoli kekuasaan secara berlebihan.
Sangat alamiah
Teater itu bahan bakunya cerita, gagasan, atau skenario. Lakon yang menarik pasti ada konflik antartokoh yang berkarakter. Dan, dibumbui kisah-kisah asmara, kesetiaan, pengkhianatan, ambisi, yang membetot emosi purba manusia. Lalu, sang dalang alias sutradara akan menata dan mengendalikan semua itu sebagai sebuah pertunjukan.
Dia harus cawe-cawe. Mencegah para aktor bermain liar mengumbar imajinasi masing-masing. Tetap berfokus pada target. Menuju goal yang diharapkan.
Bisa dibilang sutradara itu memang jagoan membaca keinginan penontonnya. Mendeteksi selera. Karena itu, secara cerdik dia akan memainkan emosi.
Dengan terampil ia menyusun adegan demi adegan yang menarik, membocorkan konflik, dan pelan-pelan membangun tangga dramatik yang nantinya bermuara pada klimaks (atau antiklimaks). Ketika penonton mulai teklak-tekluk mengantuk, sutradara tak pernah kehabisan akal menciptakan daya gugah berupa gimik-gimik supaya yang menonton tetap terjaga.
Mungkin gimik itu berupa nyanyian, gerakan-gerakan koreografi, permainan akrobatik, sorotan multimedia, atau lelucon penuh kejenakaan. Dalam bentang pertunjukan wayang kulit, jeda ini disebut goro-goro dan limbukan, tempat para punakawan ngebanyol.
Dalam tradisi teater klasik, saatnya muncul badut-badut mempresentasikan gerak-gerak akrobatik komikal. Sebuah keping adegan bernuansa penghiburan, momentum di mana penonton bisa menarik napas mengendurkan saraf-saraf ketegangan mengikuti tanjakan-tanjakan dramatik yang didesain sutradara.
Para aktor yang bermain di sebuah sandiwara sebenarnya tugasnya sederhana saja. Meyakinkan kepada penonton tentang sesuatu yang tak ada menjadi seakan-akan ada. Di kehidupan sehari-harinya mungkin dia pesuruh SD negeri, calo tanah, atau preman pasar.
Namun, di atas panggung dia harus menjelma menjadi rohaniwan, jaksa, atau kepala polisi. Bagaimana cara meyakinkannya? Hanya dengan perangkat tubuhnya. Dengan akting. Melalui ekspresi raut mukanya, gestur tubuh, mengolah warna suaranya, cara berjalan, make up, kostum yang dikenakan, dan pernak-pernik lainnya.
Semua itu diperagakan sedemikian rupa sehingga penonton benar-benar tersihir, karakter yang sedang bermain di atas panggung itu bukan lagi sebuah kepura-puraan. Bukan susunan kepalsuan yang dirancang sutradara. Seperti nyata adanya. Sangat alamiah. Natural. Inilah lapis tertinggi seni akting, yaitu mampu menerjemahkan rancangan karakter tanpa ada kesan dibuat-buat.
Yang substansial membedakan panggung sandiwara dan panggung politik adalah pertaruhan yang tak main-main.
Tentu bukan perkara mudah seseorang berkemampuan ke level ini. Perlu latihan intensif. Berulang-ulang sampai moncer. Sampai inheren. Jika prosesnya dilakukan secara instan, yang disaksikan penonton adalah sajian yang kedodoran. Dia tak mampu menyembunyikan watak asli sehari-harinya. Misal, ketika sedang memainkan karakter arif bijaksana, tanpa sengaja watak asli yang temperamental nyelonong muncul tak terkendali.
Terhadap yang seperti ini, saya mengistilahkan, aktingnya masih mambu kertas, ”masih beraroma kertas”. Maksudnya, akting ini terasa baru mempraktikkan teori saja, sesuai dengan yang tertulis di atas kertas. Belum level mengekspresikan. Belum akting yang alamiah penuh kemurnian.
Panggung politik
Begitulah jika panggung politik dianalogikan panggung teater. Silakan dibayangkan siapa yang menjadi produser alias bandarnya, sutradara, para aktor utama, pemeran pembantu, penata musik, perancang koreografi, pemain ekstra alias figuran, juru make up, pelatih akting, penata busana, pengatur suara, dan penata cahaya.
Lalu, di mana posisi penonton? Bukankah mereka yang membeli tiket itu juga bagian integral dari peristiwa teater? Mungkin penonton itu adalah kita. Para pembayar pajak yang tak ingin kontribusinya pada negara dihambur-hamburkan secara ngawurlima tahun sekali tersebut.
Yang substansial membedakan panggung sandiwara dan panggung politik adalah pertaruhan yang tak main-main. Jika gagal mempersembahkan sandiwara yang berkualitas, paling pol hanya akan bikin penonton kapok menonton. Kerugian ekonomi hanya recehan saja. Namun, jika panggung politik ambyar dan gagal mempresentasikan demokrasi secara sehat, dan para pembayar pajak keliru memilih nakhoda mengarahkan kapal bernama Nusantara Raya, yang dipertaruhkan adalah nasib bangsa.
Jika hasil survei benar adanya, kepuasan publik terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo sampai 90 persen—prestasi tertinggi sedunia—hari ini tentu kita telah memiliki tolok ukur model pelayanan sebuah pemerintahan yang baik dan berkeadilan. Tidak perlu berspekulasi lagi dengan mengubah drastis, apalagi memulai dari nol.
Menggendong lupa
Yang perlu diwaspadai justru musuh yang ngumpet (bersembunyi) dalam diri kita, yaitu nafsu-nafsu purba yang penuh keganasan memanjakan keserakahan. Kita bisa menengok sejarah para pemimpin nasional dan tingkat dunia.
Tentu kita bisa belajar dari tumbangnya Orde Lama yang dihajar inflasi dan krisis moneter, disertai pengultusan Ir Soekarno menjadi presiden seumur hidup, akhirnya malah melahirkan gegeran politik nasional.
Lalu, Orde Baru yang pada akhirnya justru menyebabkan Pak Harto kecanduan jadi presiden, kebablasan cawe-cawe mengatur negara sampai 32 tahun, pun harus terjerembap oleh krisis moneter hingga harus mengakhiri kepemimpinannya secara tragis. Begitu pun Marcos di Filipina, Shah Iran di Iran, dan para pemimpin di Benua Afrika.
Yang perlu diwaspadai justru musuh yang ngumpet (bersembunyi) dalam diri kita, yaitu nafsu-nafsu purba yang penuh keganasan memanjakan keserakahan. Kita bisa menengok sejarah para pemimpin nasional dan tingkat dunia.
Di sini, sebenarnya kearifan budaya telah mengingatkan sejak dini: eling sangkan paraning dumadi, melik nggendong lali dan ngerem keserakahan. Hendaknya, meskipun kita berhasil bertakhta di puncak tertinggi, mereguk semua keberhasilan, selalu ingatlah awal kebermulaan diri kita. Jika tak eling pada saat itulah yang kita menggendong lali, lupa.
Jika yang digendong hanya lupa, bukan lagi amanah, saya jadi teringat pidato Sultan Hamengku Buwono X dalam Pisowanan Agung 1998, sehari sebelum Soeharto mengundurkan diri jadi presiden. Yang maknanya lebih kurang, ”Jika orang diberi kepercayaan, maka dia harus menjaga dan merawat kepercayaan itu. Jangan mempermainkan kepercayaan. Jika kepercayaan rakyat sudah hilang, maka akan hilang segala-galanya.”
Itu sebabnya, ngerem keserakahan akan menjadi gembok yang mengurung, setidaknya menahan, nafsu purba bernama kerakusan itu. Tidak hanya rakus menelan dan mengoleksi pundi-pundi, tetapi lebih dari itu, mengerem keinginan berkuasa semata-mata demi kekuasaan itu saja. Jika kekuasaan itu disimbolkan sebuah istana, kearifan tradisional pun secara dini juga mengingatkan, ”Melihat istana jangan hanya sisi terangnya, tetapi juga lihatlah sisi-sisi gelapnya”.
Baca juga: Tak Ada Wasiat Saling Membenci
Jadi, sampai tujuh bulan ke depan, kita para pembayar pajak ibaratnya sudah mengantongi tiket menonton pertunjukan panggung teater politik. Melihat dan membedakan mana akting alamiah, mana akting mambu kertas. Juga merasakan jurus-jurus kependekaran sang sutradara yang diharapkan bisa mengakhiri lakon dengan memanen standing applause yang bikin hati gembira. Semoga di sela-sela ketegangan masih ada adegan jenaka yang bisa bikin kita tersenyum simpul. Syukur bisa tertawa.
Butet Kartaredjasa, Aktor