Paparan berkepanjangan terhadap polusi udara dapat mengganggu regulasi hormon stres dan neurotransmiter, yang merupakan faktor penting dalam pengaturan suasana hati dan respons terhadap stres.
Oleh
WAWAN KURNIAWAN
·4 menit baca
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 9 dari 10 orang di dunia menghirup udara yang tercemar dan paparan udara yang tercemar akan bertanggung jawab atas 7 juta kematian setiap tahun. Hari ini, ketika berita tentang polusi di berbagai kota besar di Indonesia kian parah, langkah strategis untuk mengatasi masalah ini belum menjadi prioritas utama. Bahkan, ketika berbagai data dan temuan ilmiah memperlihatkan betapa berbahayanya polusi udara yang ada saat ini.
Sejumlah penelitian telah mengaitkan dampak buruk polusi udara dengan penyakit pernapasan, kardiovaskular, dan neurovaskular. Namun, yang masih jarang diperhatikan adalah betapa polutan udara juga dapat menyebabkan efek neurokognitif yang pada akhirnya berdampak buruk kepada kesehatan mental masyarakat. WHO telah berinisiatif untuk memasukkan kesehatan mental ke dalam domain noncommunicable diseases (NCDs) sebab kesehatan mental merupakan faktor risiko yang kuat untuk NCDs.
WHO menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan kategori penyakit yang tidak disebabkan oleh infeksi atau penularan dari satu individu ke individu lainnya. Pengenalan istilah tersebut oleh WHO merupakan bagian dari upaya untuk menekankan pentingnya NCDs sebagai masalah kesehatan global yang signifikan dan untuk mempromosikan perhatian terhadap pencegahan dan pengendalian penyakit-penyakit ini.
Hal ini terutama penting karena NCDs cenderung menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia, dengan dampak yang luas terhadap masyarakat dan sistem kesehatan. Tentu akan sangat disayangkan apabila masalah polusi yang berimplikasi terhadap kesehatan mental masyarakat, terabaikan begitu saja.
Selain dampak fisik, paparan polusi juga terkait dengan peningkatan risiko gangguan kesehatan mental seperti stres, kecemasan, dan depresi. Gangguan ini sering kali berasal dari kombinasi efek langsung dari zat-zat beracun dalam polusi serta beban psikologis yang muncul akibat lingkungan yang tercemar.
Salah satu teori yang terkait dengan dampak psikologis akibat polusi udara adalah teori inflamasi dari Rudolf Virchow. Teori inflamasi yang diajukan pada masanya melibatkan konsep peradangan sebagai respons biologis tubuh terhadap cedera atau penyakit, serta kaitannya dengan banyak kondisi kesehatan yang berbeda. Meskipun teori inflamasi yang Virchow perkenalkan mungkin lebih fokus kepada peradangan dalam konteks penyakit fisik, konsep tersebut telah berkembang seiring waktu dan menjadi relevan dalam pemahaman dampak psikologis akibat berbagai faktor, termasuk polusi udara.
Teori ini menyoroti peran peradangan dalam menghubungkan paparan polusi udara dengan gangguan kesehatan mental. Paparan partikel-partikel polutan dalam udara, seperti PM 2,5 (partikel berukuran 2,5 mikron atau lebih kecil), dapat memicu reaksi peradangan dalam tubuh. Peradangan ini pada gilirannya dapat memengaruhi sistem saraf dan fungsi otak.
Paparan polutan udara, terutama polutan beracun, seperti logam berat dan senyawa organik volatil, juga dapat memicu stres oksidatif dalam tubuh.
Diketahui bahwa peradangan yang kronis dapat mengganggu keseimbangan neurotransmiter, hormon stres, dan jalur komunikasi seluler yang penting dalam regulasi suasana hati dan fungsi kognitif. Teori inflamasi ini memberikan dasar untuk memahami bagaimana paparan polusi udara dapat memicu perubahan biologis yang berkontribusi pada munculnya gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Paparan polutan udara, terutama polutan beracun seperti logam berat dan senyawa organik volatil, juga dapat memicu stres oksidatif dalam tubuh. Stres oksidatif terjadi ketika reaksi kimia yang tidak seimbang antara radikal bebas dan antioksidan menghasilkan kerusakan seluler. Stres oksidatif ini dapat merusak sel-sel otak dan saraf, serta mengganggu fungsi normal neurotransmiter dan jaringan otak. Dalam jangka panjang, akumulasi kerusakan seluler ini dapat berkontribusi pada perkembangan gangguan kesehatan mental dan masalah kognitif.
Paparan berkepanjangan terhadap polusi udara dapat mengganggu regulasi hormon stres dan neurotransmiter, yang merupakan faktor penting dalam pengaturan suasana hati dan respons terhadap stres. Berbagai efek yang ditimbulkan, akan berdampak pada kualitas hidup secara keseluruhan.
Kesehatan mental yang terganggu dapat memengaruhi hubungan sosial, pekerjaan, dan partisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak polusi terhadap kesehatan mental menjadi penting dan butuh upaya pencegahan sesegera mungkin.
Upaya pencegahan
Mengatasi masalah polusi dan dampaknya terhadap kesehatan mental memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai aspek, termasuk lingkungan, kesehatan masyarakat, dan kebijakan. Negara dan pemerintah daerah harus mengambil tindakan untuk mengurangi emisi polutan udara dari berbagai sumber, termasuk industri, kendaraan bermotor, dan pembangkit listrik. Standar emisi yang lebih ketat, insentif untuk teknologi bersih, dan investasi dalam energi terbarukan dapat membantu mengurangi beban polusi lingkungan.
Kita bisa belajar dari upaya berbagai negara seperti Jerman dan Korea Selatan. Jerman telah mendorong penggunaan transportasi umum yang ramah lingkungan, mengadopsi kebijakan pembatasan kendaraan diesel tua di kota-kota tertentu, dan mendorong penggunaan kendaraan listrik. Jerman juga telah berinvestasi dalam pengembangan energi terbarukan dan teknologi hijau lainnya. Lalu di Korea Selatan, pemerintah mereka telah mengadopsi kebijakan berbasis teknologi untuk mengurangi emisi dari kendaraan dan industri, serta mendorong transisi ke energi bersih. Penggunaan teknologi kendaraan listrik dan kendaraan hidrogen telah menjadi bagian dari strategi yang diupayakan.
Tindakan-tindakan ini menunjukkan bahwa negara-negara dengan polusi tertinggi telah memprioritaskan kebersihan udara dan kesehatan masyarakat melalui berbagai inisiatif. Meskipun masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan, langkah-langkah ini memberikan contoh tentang bagaimana penanganan polusi udara dapat dicapai melalui kombinasi kebijakan, regulasi, dan inovasi teknologi.
Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya kerja sama lintas sektor, termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat sipil, untuk mengurangi tingkat polusi. Pemberlakuan dan penegakan regulasi yang lebih ketat terkait emisi dan limbah industri serta transportasi, bersama dengan investasi dalam energi bersih dan teknologi ramah lingkungan, dapat secara signifikan mengurangi beban polusi.
Selain itu, melalui inovasi dalam desain perkotaan yang berfokus kepada keberlanjutan dan kesehatan, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan menyenangkan bagi jiwa masyarakat. Peningkatan kualitas udara dan lingkungan secara keseluruhan akan berkontribusi pada kesejahteraan mental masyarakat, dengan menawarkan tempat yang mendukung relaksasi, refleksi, dan pemulihan.
Sudah saatnya pemerintah membentangkan rancangan jangka panjang untuk mengatasi masalah ini dengan serius, dan berhenti mengumbar rencana-rencana nihil yang terlihat responsif tetapi kenyataannya menyalahkan rakyat semata.