Faktor Genetik dan Paparan Polusi Udara Tingkatkan Risiko Depresi
Studi terbaru dari Lieber Institute for Brain Development menunjukkan faktor genetik dan paparan polusi udara tinggi dapat meningkatkan risiko depresi seseorang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
BALTIMORE, SELASA — Polusi udara tidak hanya berdampak pada perubahan iklim, tetapi juga memengaruhi cara kerja otak manusia. Predisposisi genetik dan paparan polusi udara partikel tinggi dapat meningkatkan risiko depresi bagi orang sehat.
Demikian hasil studi ahli saraf di Lieber Institute for Brain Development (LIBD) di The Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Amerika Serikat, dan Peking University, Beijing, China. Laporan tersebut telah terbit di jurnal Proceedings of the National Academies of Sciences (PNAS), Senin (8/11/2021).
Studi ini melibatkan kemitraan global yang menyintesis data ilmiah tentang polusi udara, pencitraan saraf, ekspresi gen otak, dan data tambahan yang dikumpulkan dari konsorsium genetik internasional dari lebih dari 40 negara.
Direktur Lieber Institute Daniel R Weinberger mengemukakan, hasil studi dari penelitian ini menunjukkan bahwa polusi udara tidak hanya berdampak pada perubahan iklim, tetapi juga memengaruhi cara kerja otak manusia. Studi ini juga menjelaskan bagaimana faktor genetik dan paparan polusi udara dapat menyebabkan depresi.
”Efek depresi dari faktor genetik dan paparan polusi ini menjadi puncak gunung es agar kita lebih memperhatikan kesehatan otak. Tantangan utama dalam bidang kedokteran saat ini adalah memahami bagaimana gen dan lingkungan berinteraksi satu sama lain,” ujarnya, dikutip dari situs resmi LIBD, Rabu (9/11/2021).
Dalam laporan tersebut, peneliti mengungkap bahwa semua orang memiliki kecenderungan untuk depresi. Namun, risiko depresi akan lebih tinggi dan berkembang pada manusia sehat yang memiliki gen kunci dan tinggal di lingkungan dengan tingkat partikel tinggi di udara.
”Hasil studi kami yang pertama menunjukkan hubungan langsung neurologis antara polusi udara dan bagaimana otak bekerja dalam memproses informasi emosional atau kognitif dalam risiko depresi,” kata Zhi Li, penulis utama laporan studi ini.
Zhi menyatakan, temuan menarik dari studi ini adalah bahwa faktor genetik dan polusi udara saling terkait sehingga memiliki efek ganda pada risiko depresi seseorang. Sistem otak dari faktor genetik akan mengendalikan berbagai fungsi penalaran, pemecahan masalah, dan mengatur emosi seseorang.
Studi ini melibatkan 352 orang dewasa sehat yang tinggal di Beijing. Setelah itu, mereka menjalani genotipe untuk mengetahui skor risiko depresi poligenik setiap orang. Para peneliti kemudian mengumpulkan informasi rinci tentang paparan relatif setiap orang terhadap polusi udara selama periode enam bulan sebelumnya.
Selanjutnya, mereka menjalani serangkaian tes kognitif sederhana melalui pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI). Saat melakukan tes, mereka juga mengalami stres sosial. Para peneliti kemudian menunjukkan bahwa jaringan otak ini secara tidak proporsional terdegradasi oleh kombinasi gen untuk depresi dan tingkat paparan relatif terhadap polusi udara.
Efek depresi dari faktor genetik dan paparan polusi ini menjadi puncak gunung es agar kita lebih memperhatikan kesehatan otak. Tantangan utama dalam bidang kedokteran saat ini adalah memahami bagaimana gen dan lingkungan berinteraksi satu sama lain.
Hao Yang Tan, peneliti di Lieber Institute for Brain Development yang juga turut terlibat dalam studi ini, menyatakan, polusi udara memengaruhi sistem kognitif dan jaringan otak yang mengatur tingkat emosi seseorang. Partikel dari polusi udara juga mengubah ekspresi gen yang sebelumnya kondusif menjadi depresi.
Tan mengatakan, hasil studi ini memberikan pemahaman baru dan dapat berimplikasi pada pembuat kebijakan di seluruh dunia. Peran polusi udara pada otak tidak lagi dianggap sebagai dugaan, tetapi sudah dibuktikan secara ilmiah.
”Para pembuat kebijakan di seluruh dunia memiliki banyak bukti bahwa menanggulangi polusi udara akan meningkatkan fungsi kognitif dan menurunkan tingkat depresi seseorang. Kebijakan ini mendesak dilakukan, terutama di daerah perkotaan berpenduduk padat dengan tingkat polusi udara tinggi dan tekanan sosial ekonomi yang besar,” ucapnya.