Kampanye pemilu di perguruan tinggi merupakan keniscayaan untuk menyaring berbagai gagasan para calon pemimpin bangsa. Namun, ajang kampanye ini hendaknya berbasiskan data dan kebenaran ilmiah.
Oleh
YOGI SYAHPUTRA
·4 menit baca
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023 memperbolehkan penggunaan fasilitas pendidikan—dengan izin dari penanggung jawab dan tanpa menggunakan atribut—untuk dijadikan tempat kampanye bagi peserta pemilu.
Keputusan ini tentu menimbulkan berbagai pro dan kontra. Terlebih sudah lekat stigma masyarakat sebelumnya bahwa lingkungan institusi pendidikan merupakan tempat netral dari berbagai agenda politik. Lingkungan institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, sebelumnya lekat dimaknai sebagai tempat pengetahuan dan informasi disampaikan tanpa bias politik. Namun, dengan adanya putusan MK tersebut, lantas bagaimana sebaiknya kita bersikap?
Pidato Mohammad Hatta
Mohammad Hatta dalam pidato pada Hari Alumni I Universitas Indonesia (11 Juni 1957) menyebutkan bahwa perguruan tinggi atau universitas adalah tempat mengembangkan ilmu dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat, tempat bertemu ilmu dan realita, muda dan tua untuk belajar, sebagai sumber menciptakan pemimpin yang bertanggung jawab, dan memberikan petunjuk yang menyertakan ciptaan.
Beliau juga menambahkan bahwa mahasiswa sebagai kaum terpelajar harus tetap berpartisipasi aktif dalam menata kehidupan bangsa, salah satunya dengan masuk ke politik untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Terlebih, sebagai pemimpin ataupun antitesis pemimpin agar menjadi manusia susila demokrat.
Berkaca kepada pandangan salah satu bapak proklamator tersebut, tampaknya memang kita tidak bisa menyalahkan keputusan MK di awal. Sebab, sejatinya perguruan tinggi seharusnya memiliki kapasitas—salah satunya—untuk dapat mencetak pemimpin yang bertanggung jawab, tidak terlepas bagaimanapun caranya. Baik dengan mencetak mahasiswanya untuk kemudian menjadi pemimpin yang berkarakter susila demokrat ataupun dengan mematangkan para calon pemimpin bangsa dengan kapasitas ’pengujian’ secara akademik.
Melihat kondisi bangsa saat ini, ketika para pemangku kebijakan sering kali mengabaikan saran dan masukan para akademisi dalam menentukan suatu kebijakan, tampaknya memang sudah saatnya perguruan tinggi diberikan porsi kontribusi secara khusus dalam hajat menentukan calon pemimpin bangsa. Ditambah dengan proporsi generasi muda yang menjadi mayoritas pemilih (56 persen) pada Pemilu 2024, rasanya tidak ada alasan untuk kita tidak memberikan porsi kontribusi tersebut kepada perguruan tinggi. Porsi kontribusi tersebut juga termasuk dalam penyediaan panggung politik untuk siapa pun calon pemimpin bangsa yang memiliki kapasitas kesiapan mental dan gagasan.
Namun, kita juga harus waspada karena setiap panggung politik selalu dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Dengan demikian, diperlukan kesiapan yang benar-benar matang agar baik pihak pengundang maupun yang diundang tidak gegabah dan sekadar memanfaatkan panggung untuk mendongkrak popularitas tanpa output substansi yang benar-benar memajukan kehidupan bangsa.
Faktor pertimbangan
Setidaknya terdapat tiga faktor yang dapat dipertimbangkan. Faktor pertama, waktu pengadaan kegiatan. Waktu adalah pertimbangan paling penting karena pada dasarnya untuk apa menyiapkan panggung besar di perguruan tinggi ketika tamu yang diundang belum memiliki kapasitas kesiapan mental dan gagasan. Kita sudah lelah menyaksikan gimik dan mendengarkan omongan manis yang umumnya disebar para calon pada panggung-panggung lainnya.
Sudah seharusnya panggung di perguruan tinggi dimaknai sebagai ajang kampanye berbasiskan data dan kebenaran ilmiah. Dan, sudah selayaknya kita terlebih dahulu mendapatkan kepastian terkait gagasan besar dari setiap calon yang terlibat. Jangan sampai panggung besar yang kelak disiapkan hanya dijadikan ajang meningkatkan popularitas—atau sekadar tidak mau kalah—tanpa adanya bahasan substansial yang telah dipersiapkan. Jika begitu, lantas apa yang membedakan panggung perguruan tinggi dengan panggung-panggung lainnya?
Jangan sampai panggung besar yang kelak disiapkan hanya dijadikan ajang meningkatkan popularitas—atau sekadar tidak mau kalah—tanpa adanya bahasan substansial yang telah dipersiapkan.
Faktor kedua, inklusivitas partisipan. Partisipan yang dimaksud mulai dari calon peserta pemilu, sivitas akademika kampus tersebut, hingga perguruan tinggi lainnya. Harus dipastikan bahwa calon peserta pemilu yang hadir dan diundang adalah keseluruhan dari calon yang ada. Hal ini sangat penting, mengingat netralitas merupakan salah satu marwah perguruan tinggi. Netralitas dalam hal ini dimaknai antara kehadiran seluruh calon atau tidak sama sekali.
Kemudian, keterlibatan sivitas akademika mulai dari dosen hingga mahasiswa yang memiliki kapasitas dan kesesuaian tupoksi keilmuan juga harus diperhitungkan sebaik-baiknya. Internal sivitas akademika patut dikonsolidasikan terlebih dahulu demi menghindari ancaman polarisasi dan pengaruh eksternal yang berpotensi mengganggu iklim akademik.
Tak boleh ketinggalan, pertimbangan untuk menyertakan partisipasi perguruan tinggi lainnya. Mengingat keterbatasan waktu dan kesempatan para calon peserta pemilu untuk menyambangi setiap perguruan tinggi, ada baiknya beberapa perguruan tinggi yang berkapasitas untuk dapat berkolaborasi dan berbagi kesempatan untuk benar-benar dapat menghadirkan panggung pengujian yang paling layak.
Faktor ketiga, substansi pembahasan. Substansi pembahasan tidak sebaiknya keluar dari asas-asas kebenaran ilmiah. Substansi pembahasan sudah sepatutnya dapat dipertanggungjawabkan dengan data-data faktual. Dengan begitu, melalui panggung ini kita dapat mengetahui calon mana yang memang selama ini hanya bermodalkan lip service dan sebaliknya calon mana yang memang secara konkret memahami permasalahan bangsa. Rakyat sudah jenuh dengan lip service lima tahunan dari para calon peserta pemilu. Sudah selayaknya rakyat mendapatkan political treatment yang berbasiskan data, data, dan data.
Menyangkut kolaborasi antarperguruan tinggi pada poin sebelumnya, ada baiknya pilar substansi pembahasan juga dikolaborasikan berdasarkan kapabilitas pilar keilmuan masing-masing perguruan tinggi. Seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memiliki kapabilitas dalam pilar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan industri, dapat berkolaborasi dengan perguruan tinggi lainnya untuk bisa membahas pilar-pilar lainnya, misalkan hukum dan kesehatan.
Bijaksana dan dewasa
Pada akhirnya, keputusan MK untuk menjadikan fasilitas pendidikan sebagai tempat kampanye peserta pemilu merupakan keputusan yang tidak dapat kita hindarkan. Tidak banyak manfaat yang dapat kita petik dengan terus mempermasalahkan keputusan yang sudah ditetapkan. Seyogianya kita menyikapi hal ini secara bijaksana dan dewasa.
Bijaksana untuk mengakui bahwa perguruan tinggi dapat dijadikan panggung politik yang berpotensi menyaring berbagai gagasan para calon pemimpin bangsa. Menyaring mana gagasan yang memang hanya dibuat-buat dalam rangka kepiawaian berkata-kata dan sebaliknya mana gagasan yang memang dapat dipertanggungjawabkan secara kebenaran ilmiah. Bangsa ini sudah terlalu tertinggal untuk memiliki calon pemimpin yang tidak mengedepankan nilai-nilai akademik dan teknokratik.
Dan, dewasa untuk kembali mementingkan kepentingan bangsa juga sangat diperlukan, bukan hanya kepentingan satu kelompok dan lainnya. Bukan hanya menjadikan panggung politik perguruan tinggi sebagai ajang mencari popularitas, melainkan sebagai kesempatan emas untuk mendongkrak elektabilitas. Panggung ini merupakan pertaruhan besar. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan kini telanjur dipertaruhkan. Lantas, ’siapa’ yang mendapat ’apa’ dari kemenangan pertaruhan tersebut? The winner takes it all.
Yogi Syahputra, Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung