Kampanye di kampus menjadi kesempatan bagi capres mengampanyekan gagasan, visi-misi, dan janji politiknya di kampus. Gagasan para capres akan dieksaminasi oleh masyarakat kampus. Ini tantangan bagi capres dan kampus.
Oleh
UMBU TW PARIANGU
·5 menit baca
Wacana atau usulan Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari yang membolehkan politisi berkampanye di kampus (dengan beberapa catatan) layak disambut baik (Kompas, 24/7/2022). Saatnya para politisi ditantang untuk menginstalasi metode berkampanye yang disokong oleh fondasi kultur dan narasi politik kampanye yang lebih berbasis ide, gagasan, dengan mengambil ruang ilmiah kampus sebagai podiumnya.
Ritual kampanye yang dibangun di atas podium dan altar nonkampus sudah lama menyisakan residu kampanye yang miskin gagasan. Narasi kampanye para politikus cenderung ”kering”, ”dekil”, karena kehilangan spirit dialektika dalam merespons dinamika persoalan masyarakat, bangsa, dan negara yang makin dinamis. Para politikus lebih doyan membangun reputasi naratifnya dalam kampanye dengan argumentasi yang dangkal, sensasional, provokatif yang kian memperbesar jarak dengan kebutuhan aktual pencerdasan politik publik.
Padahal, kampanye dalam konteks politik merupakan aktivitas peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan mengajukan visi, misi, dan program peserta pemilu. Menurut Dan Nimmo (2009), kampanye bertujuan mengedukasi dan mencerdaskan publik sebagai sasaran kampanye melalui perubahan kognitif, sikap, dan perilaku secara terukur.
Sayangnya, meskipun dalam setiap kampanye isu-isu demokrasi selalu diperdengarkan, kenyataannya kampanye menjadi arena glorifikasi isu-isu yang antidemokratis dengan memolitisasi identitas, primordialisme sebagai bahan baku untuk memobilisasi suara (Pukapol UI, 2019).
Kampanye juga menjadi mimbar politik yang mengakumulasi isu-isu bombastis, penuh kebohongan, fitnah untuk mendapatkan efek sensasional namun miskin sensasi (Perludem, 2019). Itu, antara lain, terlihat pada media sosial yang semula diproyeksikan sebagai kanal inovasi dan strategi efisiensi pesan kampanye justru dikapitalisasi menjadi tempat ”beternak” kabar dan konten-konten hoaks.
Proliferasi kampanye hitam bermaterikan berita palsu, provokatif, ujaran kebencian sangat masif menghujani dinding media sosial, terlebih karena kentalnya pragmatisme ingin menang yang merasuki para politisi. Sehingga, kampanye dengan ide atau gagasan substansial terempas oleh gelombang stupiditas, yakni efek post-truth, yang mereplikasi kebohongan terus-menerus hingga menjadi kebenaran yang diamini publik (Gunawan dan Ratmono, 2021). Nalar pragmatisme dan defisit diskursus dari politisi semakin dimanja oleh kecenderungan muculnya ”masyarakat bersumbu pendek” yang malas berkontemplasi serta nirkritis.
Uji gagasan capres
Kita tahu, selain sebagai tempat belajar, kampus sudah lama dinisbahkan sebagai tempat bercokolnya agen-agen intelektual, calon pemimpin yang menginisiasi perubahan suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Di kampuslah diseminasi pikiran-pikiran besar berlangsung dan bertransformasi setiap saat.
Kampus tidak hanya identik dengan masyarakat akademik yang memproduksi ilmu, kebaruan, dan kebenaran. Kampus juga menjadi rumah intelektual dan moralitas yang berjangkar pada daya refleksi dan kekritisan menelaah sebuah isu atau persoalan berbasis kaidah ilmiah.
Dengan dibukanya ruang bagi politisi berkampanye di kampus, menjadi kesempatan bagi capres mengampanyekan gagasan, visi-misi, dan janji politiknya di kampus. Isi kepala politisi, khususnya para capres, tentang persoalan kebangsaan akan dibedah secara metodologis oleh masyarakat kampus. Kualitas dan kredibilitas narasi kampanye yang diajukan oleh para capres akan diukur dalam ruang-ruang perdebatan yang tidak hanya mengedepankan rasionalitas, obyektivitas, tetapi juga nilai etika dan moralitas.
Isi kepala politisi, khususnya para capres, tentang persoalan kebangsaan akan dibedah secara metodologis oleh masyarakat kampus.
Di titik inilah visi dan gagasan-gagasan para capres akan dieksaminasi, apakah telah memenuhi kepantasan dan proyeksi kepentingan publik yang diwakili oleh masyarakat kampus atau sebaliknya. Tentu saja kampus sudah punya segudang referensi kebenaran yang akan menunjang proses penilaian kampanye tiap capres sehingga proses dialog sekaligus perdebatan terkait isi kampanye pun berjalan secara demokratis dan mencerdaskan.
Sudah saatnya kampus ”mendesakralisasi” dirinya sebagai menara gading yang dipenuhi aura intelektual antipublik dengan karya-karya eksklusif yang hanya sebatas menghias dan memenuhi rak-rak jurnal, buku. Kampus harus menjadi tempat agen intelektual terbuka yang mampu mencerap dan menggumuli isu-isu aktual di masyarakat, termasuk mereproduksi kepakarannya dengan ikut melahirkan politisi atau capres dari ruang-ruang ilmiah yang kaya dengan gagasan dan pemikiran esensial, bukan sekadar sensasi.
Bukan politisasi kampus
Semangat ini bukanlah bagian dari upaya memolitisasi kampus. Namun justru sebaliknya, menjadikan kampus sebagai institusi yang demokratis, tempat di mana pikiran-pikiran futuris dan revolusioner dari para politisi disemai, ditumbuhkan, dan dijual kepada khalayak dalam pemilu.
Karena itu, pernyataan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir waktu itu yang menegaskan bahwa kampus tidak bisa dipolitisasi dengan menjadi lokasi kampanye Pemilu Presiden 2019 dan menyarankan agar fokus pada pengembangan pendidikan saja (10/10/2018) tidaklah tepat.
Semangat ini bukanlah bagian dari upaya memolitisasi kampus. Namun justru sebaliknya, menjadikan kampus sebagai institusi yang demokratis.
Justru dengan pandangan seperti itu, kampus akan terus membangun tembok alibinya sebagai sivitas yang memunggungi dinamika sosial-politik di sekitarnya. Ia kehilangan kemampuan sabda pandita ratu-nya (berkata jujur, benar, penuh integritas) dan tanggung jawab demokrasi-populisnya kepada masyarakat karena membiarkan agenda politik substitusi kekuasaan dikuasai oleh beragam dinamika politik pragmatis-transaksional.
Sebaliknya, politisi juga akan senantiasa enggan dan tidak pernah tertantang memompa adrenalin politik gagasannya untuk dikuliti oleh dunia kampus. Para politisi justru lebih doyan menggunakan jalan pintas politik pencitraan yang ditopang kekuatan kapital, kabar-kabar palsu, narasi-narasi bergelimang politik identitas, yang mengharamkan politik akal sehat dan nilai demokrasi substantif, demi kemenangan pragmatis.
Kita yakin, dengan pengaturan model kampanye yang obyektif (misalnya memberi giliran kepada semua capres untuk tampil) di kampus, ajang kampanye yang selama ini selalu dibungkus dengan gaya ”membeli kucing dalam karung” akan menjadi arena politik terbuka yang dinutrisi gagasan-gagasan rasional, visioner, dan teruji.
Publik sudah jengah dengan gaya kampanye politik (para capres) yang dipenuhi ”jampi-jampi” pembodohan dan perpecahan di tengah masyarakat. Sudah sekian banyak anggaran pemilu yang dikucurkan APBN untuk menghasilkan pemilu sekaligus pemimpin bangsa yang berkualitas, namun yang dihasilkan justru residu politik antagonisme berjilid-jilid yang menggerogoti demokrasi.
Umbu TW Pariangu, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang