Bentuk bersaing banyak ditemukan dalam ujaran ataupun tulisan. Selain karena dialek, bentuk ini muncul karena pengaruh bahasa daerah. Malah banyak juga yang ”ngotot” pakai versi sendiri.
Oleh
Nur Adji
·3 menit baca
Tak bisa disangkal bahwa bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai bahasa yang belum ajek. Hal itu terlihat dari struktur bahasa yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Yang dimaksud paling rendah, berada di tataran kata, dan yang paling tinggi di tataran wacana.
Mengingat tinjauannya yang sangat luas, ihwal itu tak dapat ditulis dalam kolom yang singkat. Untuk tataran kata saja, pembicaraannya bisa meluas ke mana-mana. Umpamanya saja, kata bisa dilihat dari asal-usulnya, kelas kata, pembentukan kata, hingga penempatannya dalam kalimat.
Ketidakajekan yang setiap hari dan sering kita temui adalah terkait bentuknya. Ada yang menulis hutang, himbau, hadang, ada pula yang menulis utang, imbau, adang.
Kadang pakai solat, kadang pakai salat; pada kesempatan lain ada yang pakai sholat, ada juga yang pakai shalat.
Yang paling berwarna adalah saat pengguna bahasa menggunakan kata-kata serapan dari bahasa asing, khususnya Arab. Si Pulan menggunakan kata shalat, si Amir memakai kata solat; di masjid pinggir jalan besar tertulis salat berjemaah, sementara di masjid dalam kampung tertulis sholat berjamaah. Kamus rujukan kita, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menggunakan kata salat (berjemaah).
Dua atau lebih kata yang maknanya sama, tapi ditulis berbeda-beda, biasa disebut bentuk bersaing. Ada juga yang menyebutnya bentuk kembar. Disebut bentuk bersaing atau bentuk kembar, ya, karena kata-kata tersebut dipakai berganti-gantian. Kadang pakai solat, kadang pakai salat; pada kesempatan lain ada yang pakai sholat, ada juga yang pakai shalat.
Kalau dihitung, bentuk kembar dalam bahasa Indonesia mungkin tidak terhitung. Harus ada orang yang bertungkus lumus mencatat kata-kata kembar yang dipakai pengguna bahasa agar terdata dengan akurat.
Baik juga catatan itu dimulai dengan kata-kata yang mengandung huruf h. Di bagian atas tulisan ini sudah ditulis tiga kata kembar yang unsur-unsurnya mengandung huruf h: hutang, himbau, hadang (dengan bentuk kembarnya utang, imbau, adang).
Kata lain adalah habis-abis, hafal-afal-hapal, halangan-alangan, halus-alus, hancur-ancur, hampir-ampir, empas-hempas, entak-hentak, hidung-idung, hidup-idup, hilang-ilang, ingar-(bingar)-hingar (bingar), hirup-irup, isap-hisap, hitam-itam, hutan-utan. Kata yang disebut pertama adalah kata yang dianggap baku oleh KBBI.
Selain penambahan atau penghilangan h di depan kata, ada juga penambahan atau penghilangan di belakang kata, seperti rapi-rapih, sila-silah, dan zina-zinah. Malah ada juga yang berbeda huruf di belakang kata, misalnya hikmah-hikmat dan jemaah-jemaat.
Variasi dengan huruf h itu timbul karena pengaruh dialek atau pengaruh bahasa daerah. Di satu sisi, bahasa daerah menghilangkan huruf h (abis, afal, alus, ancur, ampir, idung, idup, ilang, irup, isap, itam, utan; rapi, sila, zina), di sisi lain mengadakan huruf h (hempas, hentak, hingar; rapih, silah, zinah).
Pengaruh bahasa daerah
Variasi ini biasanya ditemukan dalam bahasa Sunda atau bahasa Betawi. JS Badudu, misalnya, hakulyakin bahwa dalam bahasa Sunda penambahan huruf h malah bisa di awal, di tengah, dan di belakang kata. Contoh: ayam-hayam, utang-hutang, buaya-buhaya, gua-guha, tiang-tihang, rapi-rapih.
Karena kata-kata kembaran itu hampir sama dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia, banyak pengguna bahasa tidak tahu lagi mana kata yang sesungguhnya yang harus dipakai. Hal itu terjadi karena kata bahasa daerah juga digunakan dalam bahasa Indonesia.
Apabila frekuensi pemakaiannya sangat tinggi, besar kemungkinan bentuk daerah (yang dikatakan tidak baku dalam bahasa Indonesia) justru menjadi bentuk yang baku. Namun, ada pula kata yang frekuensi pemakaiannya tinggi tetap dianggap kata nonbaku (misalnya kata silah/silahkan, alih-alih sila/silakan).
Bentuk yang tidak ajek ini tentu sangat membingungkan pengguna bahasa, apalagi kalau si pengguna bahasa adalah orang asing yang sedang belajar bahasa Indonesia. Tips yang paling mudah untuk menghilangkan kebingungan itu adalah dengan melihat kamus rujukan kita, KBBI.
Yang repot adalah kalau KBBI mengakomodasi kedua bentuk kembar sebagai lema baku. Umpamanya, selain ada alangan (rintangan; aral), di KBBI juga tercantum halangan (hal yang menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana [maksud, keinginan] atau terhentinya suatu pekerjaan). Meski parafrasanya beda, maknanya sama saja.
Banyak juga pengguna bahasa yang keukeuh menggunakan versi sendiri karena menganggap bentuk di KBBI meragukan (atau mungkin karena tidak enak diucapkan). Koran ini, misalnya, sampai sekarang masih menggunakan hadang-menghadang-penghadangan-penghadang, bukan adang-mengadang-pengadangan-pengadang.
Yang repot adalah kalau KBBI mengakomodasi kedua bentuk kembar sebagai lema baku.
Sebab, dulu, dalam pemberitaan, si editor kebingungan saat akan membuat judul yang menggunakan kata adang. Kalau tidak salah ingat, dulu si editor ingin membuat judul ”Adang (Ajiji) Adang Lawan”. Karena ada dua adang di situ, digantilah adang kedua menjadi hadang. Kata hadang dipilih karena frekuensi pemakaiannya saat itu juga tinggi.
Entah pada akhirnya judulnya berubah jadi apa, yang pasti si hadang dipakai hingga sekarang. Mungkin suatu ketika KBBI akan menjadikan kata hadang sebagai kata baku menggantikan adang. Mungkin juga koran ini yang mengalah menggunakan adang sebagai pengganti hadang.
Soal kata adang ini juga pernah jadi lelucon petinggi bahasa di Badan Bahasa. Kata adang ini, katanya, milik orang Sunda. Soalnya, selain ada Adang Ajiji, juga banyak Adang lain yang menjadi nama diri orang Sunda. Wallahualam bissawab.