Dari perspektif museologi, sebuah benda warisan budaya telah tercerai dari konteks aslinya. Karena itu, hal pokok setelah pemulangan artefak-artefak dari Belanda adalah bagaimana menghidupkan koleksi-koleksi itu.
Oleh
HILMAN HANDONI
·2 menit baca
Saras Dewi di kolom Kompas beberapa waktu lalu menyoal topik Museum dan Kuasa. Sebuah topik yang rasanya mungkin tidak terlalu mainstream dalam publikasi media massa hari-hari ini. Atau jangan-jangan saya saja yang jarang membaca!
Dia menyebutkan beberapa contoh koleksi di museum-museum di dunia yang dihadirkan untuk dipandang dengan kekaguman, tetapi sama sekali terlepas dari konteks bagaimana dia dihadirkan di lokasi tersebut, di Paris, di London. Karena itu, untuk menyibaknya, dia mengusulkan pendekatan yang rasanya amat populer sekarang-sekarang ini: dekolonisasi. Metode ini rasanya ampuh untuk menyoal ketidakadilan dan kuasa, penindasan dan pelupaan, yang mengelilingi obyek tersebut, dan utamanya untuk mendudukkan kembali konteks artefak yang menjadi koleksi museum tersebut.
Saya tentu saja senang dengan tulisan ini. Akhirnya ada tulisan segar di media mainstream mengenai tema museum yang progresif. Apalagi tulisan tersebut dikaitkan dengan kepulangan beratus-ratus benda warisan budaya dari Belanda.
Dari perspektif museologi, sebenarnya sebuah benda atau koleksi telah tercerai dari konteks aslinya. Sebuah perahu tidak lagi berfungsi sebagai perahu. Sebuah patung tidak lagi berfungsi sebagai penghias di halaman. Pacul, keris, jala nelayan, tidak lagi berfungsi sebagaimana para pemiliknya memakai, dan seterusnya. Benda-benda ini dianggap eksotik, indah, penting untuk dokumentasi dan pengetahuan, dan seterusnya. Mengenai siapa dan bagaimana ukuran-ukuran ini diterapkan, wallahualam—dan ini bisa saja menjadi sumber perdebatan.
Namun, proses ini bisa kita sebut sebagai kematian pertama! Dia diceraikan dari penggunanya. Dia diceraikan dari serangkaian fungsi yang melekat kepadanya, yang boleh jadi membuat seluruh ekosistem di sekitarnya berubah: si nelayan tak bisa melaut, atau si penghuni rumah mendadak stres karena tak bisa menemukan patung yang menjadi sumber kebahagiaannya di dalam hidup. Batu nisan yang menjadi batu fondasi sebuah rumah?—yang mungkin bagi si orang kota, si cendikia, si wakil pemerintah, si budayawan nan sejarawan menjadi amat penting dan karena itu harus diambil dan ditempatkan di lokasi yang selayaknya (inilah yang disebut sebagai proses musealisasi)?—akan segera membuat si rumah timpang.
Koloni semut atau serangga tak lagi punya tempat hidup. Si penghuni yang merasa ajimat nan pusaka yang hadir bersamaan dengan batu nisan tersebut akan merasa linglung, dan seterusnya. Jadi, kita mesti menghitung juga ”kehidupan” apa yang dirampas atau yang tidak dimungkinkan karena proses penggasakan koleksi, artefak, obyek, fitur dari konteks asli dan penggunanya itu. Apakah ini bisa dikategorikan sebagai kematian (tidak langsung) kedua? Bisa jadi, wallahualam.
Namun, proses ini bisalah kita sebut sebagai kematian pertama! Dia diceraikan dari penggunanya. Dia diceraikan dari serangkaian fungsi yang melekat kepadanya.
Dan sekarang, kita bergeser pada perkara repatriasi koleksi dari museum di Belanda. Saya tentu saja senang dengan berita ini. Apalagi tidak ada, atau lagi-lagi saya yang kurang membaca, kabar ikutan dan wacana soal apakah kita mampu mengonservasi koleksi-koleksi itu atau tidak; jangan-jangan lebih baik koleksi tersebut di Belanda agar lebih terawat.
Plis deh. Kita mampu dan bisa. Museum Nasional mempunyai fasilitas yang oke dan ahli yang mumpuni untuk merawat. Sikap mental sontoloyo seperti ini perlu dikikis dan syukurnya tidak lagi menjadi wacana umum. Itu melegakan.
Namun, ada hal yang paling pokok lagi setelah benda-benda ini kembali ke Tanah Air: mau kita apakan? Mau kita pajang saja? Atau kita riset saja? Atau malah yang lebih buruk, mau kita simpan saja di gudang agar terjaga keawetan materialnya?
Mudah-mudahan mereka yang bertanggung jawab telah memikirkan soal ini. Bagaimana membuat ”pusaka-pusaka” ini berdaya guna, berdampak buat masyarakat saat ini. Entah, dan ini yang paling sedikit, untuk dipajang, ditonton, atau dikagumi dalam sebuah pameran atau dialih wahana dan direspons para seniman dan ilmuwan untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Ini perkara yang tak kalah genting. Jangan sampai koleksi-koleksi ini hanya memenuhi gudang dan deretan antre barang yang baru mau dikaji, diklasifikasi, dan diintegrasi ke ruang-ruang pameran museum yang telah ada.
Paling sedikit yang bisa dilakukan adalah memublikasi benda-benda ini. Publik berhak tahu. Merekalah ahli waris sah pusaka-pusaka ini. Apa saja yang menjadi warisan. Apakah daftarnya sudah ada? Adakah rencana untuk mengekspose?
Ini adalah perkara penting dan pokok: bagaimana menghidupkan koleksi-koleksi ini. Mendayagunakan pusaka-pusaka ini. Memikirkan cara terbaik agar benda-benda warisan budaya ini tidak mati, sekali lagi! Berkali-kali!