Pengembalian Artefak: Solusi atau Tantangan Dekolonisasi?
Pemulangan obyek-obyek dari Belanda, betapapun banyaknya jumlahnya, tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa diiringi kesadaran untuk memerdekakan perspektif kita dari narasi-narasi kolonial.
Tanggal 10 Juli 2023 menandai satu episode penting dalam sejarah hubungan antara Indonesia dan Belanda. Belanda mengembalikan 427 artefak yang dirampas dari Indonesia pada masa kolonial. Di antara artefak-artefak berharga tersebut terdapat empat arca dari Candi Singhasari, keris dari kerajaan Klungkung, benda koleksi Pita Maha dari Bali, dan pusaka-pusaka dari kerajaan Lombok.
Benda-benda tersebut selama lebih dari seratus tahun disimpan dan menjadi obyek utama ruang pamer museum-museum di Belanda. Salah satunya di Museum Volkenkunde di Leiden, di mana arca-arca masterpiece dari candi Singhasari ditempatkan di ruang pamer paling depan.
Kepada penulis pada Oktober 2021, kurator museum Leiden, Francine Brinkgreve, mengungkapkan bahwa pemulangan benda-benda masterpiece ini adalah hal yang berat dilakukan, mengingat selama ini benda-benda ini telah menjadi daya tarik utama museum di Leiden. Namun, usaha restitusi ini harus dilakukan sebagai wujud komitmen untuk ”memperbaiki” kesalahan Belanda di masa lalu.
Baca juga: Pemulangan Artefak-artefak Bersejarah dari Luar Negeri Dilanjutkan Kembali
Di sisi lain, publik Indonesia menyambut dengan gempita pemulangan artefak-artefak ini. Artefak-artefak ini jelas memiliki signifikansi simbolik dan material yang tidak ternilai. Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Himar Farid dalam sebuah wawancara dengan TVRI (13/7/2023) menekankan bahwa restitusi benda-benda bersejarah ini semakin bermakna secara historis karena upaya pemulangan ini berangkat dari inisiatif bangsa Indonesia untuk menuntut kembali hak-hak mereka yang dirampas pada masa kolonial.
Namun, sementara restitusi ini menandai langkah-langkah maju dalam melihat kembali sejarah kelam penjajahan di masa lalu, muncul tantangan-tantangan yang perlu diperhatikan agar pemulangan obyek-obyek ini tidak sekadar menjadi aktivitas seremonial belaka. Selain isu tentang kesiapan infrastruktur yang Indonesia miliki untuk menjaga keamanan dan konservasi benda-benda berusia ratusan tahun ini, kita harus mempertanyakan apa makna keberadaan obyek-obyek ini di Indonesia nanti? Adakah pemahaman sejarah baru yang kita dapatkan?
Dekolonisasi museum?
Alih-alih sebuah solusi, pemulangan obyek-obyek ini merupakan tantangan besar bagi museum di Indonesia. Sebagaimana secara luas kita ketahui, sebagian besar obyek ini, atau bahkan seluruhnya, akan ditempatkan di museum. Pertanyaannya, narasi seperti apa yang harus disiapkan oleh museum di Indonesia agar publik dapat belajar tidak hanya tentang identitas obyek, tetapi juga seluk-beluk tentang bagaimana obyek ini dirampas, dibawa dan disimpan di Belanda selama ratusan tahun, dan kembali ke Indonesia melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan?
Dalam usaha dekolonisasi, atau memerdekakan diri kita dari perspektif-perspektif yang dikembangkan penjajah di masa lalu, restitusi obyek barulah sekadar usaha permulaan. Selama puluhan tahun, narasi-narasi kolonial mendominasi produksi pengetahuan sejarah Indonesia. Artefak yang dikembalikan oleh Belanda adalah bagian dari cerita ini. Namun, untuk mencapai dekolonisasi yang lebih nyata, lembaga-lembaga pemroduksi pengetahuan sejarah seperti halnya museum perlu mengubah cara pandang dan pendekatan terhadap koleksi yang mereka miliki.
Dalam usaha dekolonisasi, atau memerdekakan diri kita dari perspektif-perspektif yang dikembangkan penjajah di masa lalu, restitusi obyek barulah sekadar usaha permulaan.
Museum tidak diragukan lagi adalah warisan institusi dari zaman kolonial. Museum dalam sejarahnya berperan menjadi ‘alat politik’ pada masa kolonial untuk melanggengkan ide-ide rasisme yang menempatkan bangsa jajahan sebagai orang-orang yang derajatnya lebih rendah dari para penjajah (bangsa Eropa).
Bagaimana obyek-obyek yang dipulangkan ini membantu museum untuk membongkar cara pandang kolonial? Belajar dari kasus pemulangan keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro tahun 2020 yang sekarang ditempatkan di ruang pamer pusaka emas Museum Nasional di Jakarta, nampaknya janji pemerintah yang disampaikan oleh Hilmar Farid untuk ”menulis ulang historiografi Indonesia” belum tercapai secara maksimal.
Narasi tentang keris ini masih terasa sangat konvensional, tanpa diikuti oleh penjelasan tentang bagaimana benda ini berhasil dipulangkan. Sebagai publik kita belum diajak untuk memikirkan pelajaran mengenai perjuangan atas kesetaraan hak yang bisa kita ambil dari pemulangan benda-benda bersejarah ini.
Baca juga: Tiga Museum Belanda Siap Kembalikan Koleksi Jarahan Perang ke Indonesia
Penyusunan skala prioritas
Saat ini diperkirakan ada 300.000 obyek dari Indonesia yang disimpan di Belanda. Jumlah ini sangat mungkin bertambah seiring dengan semakin intensifnya kegiatan provenance research (riset mengenai asal-usul benda) yang dilakukan berbagai institusi akademik di Belanda selama satu dekade terakhir. Upaya pemulangan benda-benda ini ke Indonesia juga telah dilakukan secara serius sejak dekade 1970-an. Ada ribuan obyek yang telah berhasil diklaim kembali oleh pemerintah Indonesia. Namun, masih ada ribuan obyek masterpiece lain yang memiliki nilai sejarah yang tinggi yang juga harus dipulangkan.
Bagaimana rencana pemerintah Indonesia ke depan? Obyek-obyek apa saja yang harus segera dipulangkan? Dan, lebih penting dari itu semua, bagaimana pemerintah Indonesia menentukan skala prioritas obyek-obyek yang harus dipulangkan?
Baca juga: Pemerintah Berkomitmen Mengembalikan Artefak Indonesia dari Luar Negeri
Sejauh ini penentuan skala prioritas ini terlihat masih dilakukan secara tertutup oleh pemerintah. Publik sering dibuat bertanya-tanya, mengapa obyek ini masuk dalam daftar obyek yang harus dikembalikan, sementara obyek yang lain tidak.
Bagaimanapun nilai penting dari obyek-obyek ini hanya bisa diukur oleh bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian, usaha restitusi obyek ini juga harus dilakukan secara transparan dengan melibatkan seluas-luasnya masyarakat Indonesia. Masyarakat atau komunitas di mana obyek tersebut berasal semestinya diberi akses secara lebih terbuka untuk menyampaikan saran dan aspirasinya. Pemerintah dapat memastikan keterbukaan akses ini melalui penyediaan kanal-kanal aspirasi yang bisa dengan mudah dibangun di era media sosial seperti saat ini.
Masa depan
Tidak diragukan lagi, apabila mengacu pada peraturan undang-undang yang kita miliki, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 15 dan 16, pemerintah mendapat amanat sebagai pemegang prioritas kepemilikan cagar budaya. Maka, benda-benda yang berhasil dipulangkan dari Belanda ini berdasarkan hukum secara otomatis dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Sebagaimana pada kasus-kasus benda-benda yang telah dipulangkan sebelumnya, Museum Nasional di Jakarta menjadi institusi utama yang berperan dalam menjamin keberlangsungan nasib benda-benda ini di masa depan.
Di sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa benda-benda ini, misalnya pusaka-pusaka dari Lombok atau keris dari kerajaan Klungkung, juga memiliki signifikansi yang tinggi bagi masyarakat di Bali dan di Lombok. Mereka juga menginginkan agar pusaka-pusaka yang merupakan kepingan sejarah yang hilang ini kembali ke ”tempat asalnya” (Kompas.com, 10/7/2023).
Bagaimana rencana Pemerintah Indonesia terhadap benda-benda ini? Apakah benda-benda ini akan menjadi bagian dari koleksi Museum Nasional ataukah dikembalikan ke daerah di mana benda-benda tersebut berasal?
Baca juga: Merawat Benda Bersejarah
Kesiapan museum di daerah untuk menjadi destinasi akhir dari benda-benda ini tampaknya juga membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Kualitas infrastruktur untuk menjamin keamanan dan konservasi, serta ketersediaan sumber daya manusia untuk menjaga dan mengelola benda-benda ini harus dipastikan terlebih dahulu sebelum upaya restitusi-restitusi berikutnya dilakukan.
Sederet pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan dalam tulisan ini tidaklah mudah untuk dijawab. Ini menegaskan bahwa restitusi obyek-obyek dari Belanda ke Indonesia barulah merupakan tahapan awal dari usaha kita untuk mendekolonisasi pemahaman sejarah kita saat ini.
Pemulangan obyek-obyek dari Belanda, betapapun banyaknya jumlahnya, tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa diiringi kesadaran untuk memerdekakan perspektif kita dari narasi-narasi kolonial. Obyek tersebut hanya akan berpindah tempat, tetapi tidak mengubah apa pun tentang bagaimana kita memahami masa lalu dan apa maknanya di masa kini. Jangan sampai ingar-bingar pemulangan artefak-artefak berharga ini terlihat mewah dan meriah dari luar namun sebenarnya miskin dan hampa makna dari dalam.
Adieyatna Fajri, Dosen Departemen Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta