Jika pekerja migran meninggal di negara penempatan, perusahaan penempatan pekerja itu berkewajiban memulangkannya ke tempat asal secara layak dan menanggung biaya yang diperlukan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Mengikuti laporan investigasi tentang warga negara Indonesia yang dijerat menjadi anak buah kapal di kapal asing, selama dua hari, sejak Rabu (30/8/2023), terasa miris.
Harian ini menuliskan, anak buah kapal (ABK) migran tidak hanya dijerat sebelum berangkat bekerja di kapal ikan. Bahkan, setelah meninggal pun, hak ABK migran itu masih dikebiri perusahaan penyalur. Investigasi harian Kompas menemukan, keluarga dari ABK migran yang meninggal dipungut biaya pemulangan jenazah oleh perusahaan penyalur. ABK lain yang meninggal dipangkas hak santunannya (Kompas, 31/8/2023).
Pemungutan biaya jenazah menjadi modus mengebiri hak keluarga, seperti uang jaminan atau pertanggungan asuransi ABK migran yang meninggal. Sebagian ABK migran yang meninggal di atas kapal, saat berada di tengah samudra, keluarga tak bisa menziarahinya, sebab jenazahnya dilarung di laut. Tak ada penanda ”makam” dari ABK migran itu sehingga keluarga hanya bisa mendoakan. Sebagian lainnya, meski sakit, tak bisa beristirahat atau berobat yang memadai di kapal.
Memang miris. Lebih memprihatinkan lagi, harian ini juga melaporkan, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-42 ASEAN di Nusa Tenggara Timur, Mei lalu, terungkap perdagangan orang dan sindikat penipuan dalam jaringan masih marak di sejumlah negara ASEAN. Kejahatan itu bisa tetap bercokol di masyarakat karena adanya keterlibatan sejumlah pejabat di sebagian negara Asia Tenggara. Laporan The New York Times pada Selasa (29/8/2023) mengindikasikan, 10.000 korban tindak pidana perdagangan orang kini berada di Kamboja (Kompas, 30/8/2023).
Laporan investigasi Kompas pun berdampak. Kamis (31/8/2023), sejumlah keluarga dari ABK migran yang menjadi korban kini memperoleh haknya, yang sempat terenggut pihak lain. Kejadian itu hanyalah ”balsem”, meringankan rasa sakit, membuat nyaman sesaat, tetapi tak menyelesaikan persoalan terkait perlindungan pekerja migran asal Indonesia, termasuk ABK migran yang rentan mendapatkan perlakuan tidak adil.
Pemangku kepentingan terkait perlindungan terhadap pekerja migran harus mencari jalan keluar agar tiada lagi rakyat Indonesia, yang bekerja di luar negeri, mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Ingat, sila kedua Pancasila menegaskan, ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Tak boleh ada lagi pejabat yang menjadi pelindung pihak yang merugikan pekerja migran. Apalagi, pekerja itu telah meninggal.
Nepake awake dewe. Pepatah dalam bahasa Jawa itu mengingatkan pentingnya seseorang untuk mawas diri. Tengoklah diri sebelum melakukan suatu tindakan. Mengambil hak pekerja secara sepihak adalah kejahatan. Dunia berputar, hal ini bisa saja terjadi pada mereka yang kini melakukan perbuatan culas itu atau keluarganya.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menyatakan, jika pekerja migran meninggal di negara penempatan, perusahaan penempatan pekerja itu berkewajiban memulangkannya ke tempat asal secara layak dan menanggung biaya yang diperlukan. Tak cukup hanya miris, kita harus melindungi pekerja migran.