Simfoni dari Lagu ”Sederhana” Koes Plus
Tony pernah ditanya apakah Koes Plus mau ”diadu” tampil di panggung dengan band lain, termasuk dengan band rock. ”Band kayak Koes Plus mana bisa duel, wong lagunya cuma dua-tiga jurus. Mainnya cuma segitu-gitu aja....”
”Oh... penyanyi tua, lagumu sederhana. Lagu dari hatinya, terdengar di mana-mana. Oh penyanyi tua, lagumu sederhana. Mutunya pun tak ada, dan anehnya banyak penggemarnya” (”Penyanyi Tua”, Koes Plus)
Dan ternyata Koes Plus belum tua. Jakarta Concert Orchestra dengan pengaba Avip Priatna menghadirkan lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara dengan garapan simfonikal yang segar. Karya Koes Plus menunjukkan kekuatannya dalam pergelaran Simfoni untuk Bangsa 2023, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 26 Agustus lalu.
Penonton seperti diantar masuk ke negeri indah lewat ”Overture”. Ini adalah karya pembuka berisi saripati lagu-lagu, dan lazim disuguhkan sebagai pembuka pergelaran. Mungkin, penikmat Koes Plus akan kaget karena lagu pertama dalam ”Overture” ini dipilih lagu pop Melayu berjudul ”Mengapa”.
Ini adalah lagu pop Melayu karya Yon Koeswoyo yang dinyanyikan Yon di album Koes Plus Pop Melayu Volume 1, keluaran 1973. Namun, tidak ada rasa Melayu secuil pun pada ”Mengapa”. Ia menjadi bagian dari simfoni yang indah.
Penyusun aransemen Renardi Effendi jeli memilih lagu ”Mengapa”. Ia memungut bagian notasi, yang dalam versi lirik berbunyi ”Mengapa…mengapa…hatiku terasa merana”. Dibuat dalam dominasi minor, terkesan ada nuansa agak gelap, serasa ada misteri.
Akan tetapi, begitu selesai baris notasi awal itu, suasana berubah menjadi agak cerah, dan selanjutnya berganti terang-benderang, riang. Dia pintar ”menjebak” telinga, dengan memberi kejutan bahagia.
Selanjutnya penonton dibawa ke nuansa bahagia lewat lagu ”Nusantara II”. Renardi mengambil bagian refrein, tepatnya pada notasi yang dalam lirik berbunyi ”...untaian permata”. Sekadar mengingatkan, penggalan lirik itu ada di akhir kalimat lagu yang bunyinya ”Nusantara betapa indah/ Nusantara betapa kaya/ Nusantara, untaian permata”.
Selanjutnya komposisi dalam ”Overture” ini mengambil potongan refrein lagu ”Tul Jaenak” yang sangat kondang itu. Diambil notasi yang dalam lirik berbunyi ”Tul jaenak jae jatul jaeji”. Hanya sepotong itu yang diambil untuk dijadikan motif dan dikembangkan dengan manis.
Pada bagian awal motif digunakan instrumen tiup oboe, flute, clarinet, dan bassoon. Kemudian dirangkai lagu ”Diana” yang sebagian dimainkan secara pizzicato, atau biola yang dipetik. Dan, kemudian, disambung dengan ”Kembali ke Jakarta” sebagai penutup.
Ibarat perca-perca kain yang disatukan, ”Overture” menjadi quilt atau patchwork indah yang terjalin dari lagu-lagu Koes Plus. Sebuah pembuka yang mengajak penonton bertamasya ke lagu-lagu Koes Plus. Mungkin bisa saja, dalam konser ini orang bernostalgia dengan lagu-lagu yang bersangkut dengan memori masing-masing.
Akan tetapi, pergelaran ini merupakan karya baru yang segar yang diangkat dari lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara. Sebuah penghormatan bagi komposer yang menyumbangkan lagu-lagu indah untuk negeri ini.
Baca juga: "Tul Jaenak", "Kolam Susu", dan Yok Koeswoyo
“Lagumu sederhana”
Dalam lagu ”Penyanyi Tua” seperti dikutip di atas, Koeswoyo Senior mengakui lagu-lagunya memang sederhana. Kemudian disebut lagunya ”terdengar di mana-mana” dan ”banyak penggemarnya”. Sangat boleh jadi, itu ada benarnya juga.
Pada kenyataannya, lagu-lagu Koes Plus sampai hari ini masih dimainkan oleh kelompok musik di sejumlah daerah. Mereka menyebut diri sebagai band pelestari lagu Koes Plus. Itu artinya, lagu Koes Plus diterima publik secara cukup luas dan melintas masa.
Pada era 1970-an, hampir setiap album Koes Plus menghasilkan lagu kondang. Kita ambil contoh lagu dari album pertama Koes Plus berjudul Dheg-Dheg Plas. Dari album ini lahir lagu terkenal ”Kembali ke Jakarta”, ”Cintamu Tlah Berlalu”, ”Manis dan Sayang”, ”Derita”, dan ”Kelelawar”.
Kita ambil acak dari album Volume 4 berjudul Bunga di Tepi Jalan yang memuat lagu terkenal: ”Why Do You Love Me”, ”Keroncong Pertemuan”, ”Bunga di Tepi Jalan”, dan ”Jangan Berulang Lagi”.
Jika kita ambil rata-rata setiap album menghasilkan 5 lagu hit, dalam 10 album saja, Koes Plus melahirkan setidaknya 50 lagu. Itu belum termasuk lagu-lagu dalam album pop Jawa, pop Melayu, pop Keroncong, dan lainnya.
Jika digabung dengan lagu-lagu Koes Bersaudara, diperkirakan Tony Koeswoyo dan kawan-kawan menyumbang seratusan lagu yang menghibur warga bangsa ini.
Baca juga: "Hari Ini Kau Kembali..." Nomo Koeswoyo
Apakah lagu sebanyak itu bisa disebut lagu sederhana? Setidaknya seperti disebut dalam lagu ”Penyanyi Tua”, Tony Koeswoyo mengakui lagu-lagu Koes Plus sebagai lagu dengan ”tiga jurus”. Sebutan itu kerap digunakan oleh media massa era 1970-an untuk menyebut lagu yang dianggap ”sederhana”.
Tiga jurus itu mengacu pada penggunaan chord yang dianggap sederhana. Juga pada penggarapan aransemen yang ”sederhana” pula.
Alkisah, suatu kali Tony ditanya apakah Koes Plus mau ”diadu” tampil di panggung dengan band lain, termasuk dengan band rock. Tony kepada majalah Aktuil dengan tertawa mengatakan, ”Band kayak Koes Plus mana bisa duel, wong lagu-lagunya cuma dua-tiga jurus. Mainnya cuma segitu-gitu saja....”
Tony Koeswoyo mungkin merendah. Bagaimana bisa lagu tiga jurus sampai populer, digemari, dan dikenang orang hingga hari ini. Koes Plus sendiri tampaknya juga belum bisa menjelaskan tentang faktor yang menyebabkan lagu-lagunya disukai. Dalam lagu ”Opo Tumon” di album Pop Jawa Volume II, kita bisa mengintip sepotong penjelasan.
”Opo tumon, opo tumon, gawe lagu kok sinambi guyon”. Artinya kurang lebihnya: Betapa tidak aneh, membuat lagu kok sambil bertawa-canda. Pada lagu yang sama, Koes Plus menyatakan keheranannya sendiri. ”Pancen aneh, pancen aneh, nadyan nyleneh ning disenengi wong akeh – Memang aneh, meskipun (lagunya) nyleneh/ kurang lazim, akan tetapi disukai banyak orang”.
Inti lagu tersebut mempertanyakan diri, bagaimana mungkin membuat lagu sambil dalam suasana bersuka-canda. Dan, hasilnya, meski terdengar aneh, lagu menjadi populer dan dapat membuat pendengarnya bersukacita, bahkan bergoyang-goyang pelan.
Baca juga: Lagu dan Jejak Masa Lalu
Ada satu ilustrasi peristiwa yang kira-kira dapat menjelaskan suasana penciptaan lagu Koes Plus yang kemudian populer. Suatu kali dalam pembuatan album Volume 10, diperlukan satu lagu tambahan.
Maka, pada masa jeda rekaman, Murry sambil jrang-jreng main gitar menulis lagu secara spontan, dan lahirlah ”Bujangan”. Lagu itu ternyata meledak pada tahun 1974 dan masih terdengar hingga hari ini.
Dalam pergelaran Simfoni untuk Bangsa, ”Bujangan” termasuk lagu yang mendapat tepuk riuh. Batavia Male Singers (BMS) menyanyikannya dengan ”nakal”, lengkap dengan koreo yang tidak kalah ndugal. Notasi lagu itu mudah diingat dan cepat dihafal. Begitu pula liriknya yang gampang diingat.
Suasana tawa gembira itu hadir di panggung. Jakarta Concert Orchestra, dengan aransemen garapan Aubrey V Pratama, dan BMS berhasil menghadirkan suasana sukacita seorang bujangan yang tak punya uang itu di panggung. Dan penonton ikut bernyanyi, bahkan ada yang bergoyang.
Mungkin, ”Bujangan” merupakan salah satu lagu Koes Plus yang suka disebut orang sebagai lagu ”tiga jurus tadi”. Boleh jadi juga, itu termasuk lagu seperti yang disebut di lagu ”Opo Tumon”.
Baca juga: Lagu Perlawanan terhadap Korupsi
Sederhana itu tidak gampang
Dalam obrolan dengan pembuat aransemen pergelaran Simfoni untuk Bangsa, mereka menangkap kesan kesederhanaan dari lagu-lagu Koes Plus. Akan tetapi, sederhana itu relatif dan tidak berkonotasi negatif.
Menurut Fafan Isfandiar, musisi, komposer, dan arranger lulusan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, sederhana itu tidak identik dengan sesuatu yang gampang dalam penyusunan.
Orang dapat saja membuat lagu dengan notasi dan chord simpel, cukup dengan ”tiga jurus”. Pertanyaannya, apakah dengan demikian lagu yang dibuat dengan cara itu akan singgah di telinga publik?
Dari sejumlah lagu Koes Plus yang ditampilkan dalam konser, Fafan menangkap karya Koes Plus bersifat spontan, segar, dan dengan mudah dapat dicerna telinga umum.
”Mereka bikin sesuatu yang simple, tapi nyantol. Susah bikin lagu seperti itu,” kata Fafan.
Sebagai pembanding, ada sementara anggapan bahwa karya yang baik itu seakan harus berupa komposisi rumit dan susah.
Baca juga: Srimulat adalah Tawa Bahagia
Renardi Effendi sebagai pembuat aransemen melihat kesederhanaan lagu Koes Plus justru sebagai kekuatan. Kesederhanaan lagu mereka terletak pada notasi dan lirik. Dia mengambil contoh lagu ”Bujangan” ciptaan Murry.
Sepenggal lirik dan melodinya sangat komunikatif, misalnya pada bagian refrein, ”Hati senang walaupun tak punya uang...”. Pada masanya hingga hari ini, ”Bujangan” disukai anak-anak hingga orang tua.
Bagi Renardi Effendi, kesederhanaan lagu-lagu Koes Plus itu justru menjadi kekuatan. Lagu-lagu Koes Plus berpotensi untuk dikembangkan ke bermacam-macam kemungkinan.
Terbuka penafsiran
Setiap lagu memang terbuka untuk digarap dengan rasa, versi, atau cara penggarapan apa pun. Termasuk lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara. Lagu Tony Koeswoyo dan kawan-kawan pernah dibuat dengan berbagai versi.
Di antaranya oleh Lex’s Trio dengan aransemen oleh Januar Iskak. Juga oleh Erwin Gutawa lewat album Salute to Koes Plus/Koes Bersaudara. Chrisye juga pernah memopulerkan ”Cintamu Tlah Berlalu”.
Sangat terbuka untuk penafsiran atas karya mereka. Terbuka pula bagi publik untuk membandingan karya penafsiran tersebut. Ada yang berhasil dan populer, antara lain ”Pelangi” oleh Lex’s Trio atau ”Andaikan Kau Datang” versi Ruth Sahanaya dalam aransemen Erwin Gutawa.
Pada konser Simfoni untuk Bangsa, lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara ditengok kembali, ditafsir ulang, dan digarap sesuai interpretasi penggarap aransemen dan penyanyi.
Lalu, dalam konser ini, lagu ”Pelangi” digarap dengan gaya swing jazz oleh Joko Lemaszh Suprayitno. Penyanyi Fitri Muliati bebas ber-scat singing atau lantunan improvisatif tanpa kata-kata yang lazim dalam jazz.
Farman Purnama juga bebas membawakan ”Cintamu Tlah berlalu” dengan gaya pop-operatik yang menawan. Ada kesalahan dalam pelantunan lirik di baris awal, tetapi tidak mengganggu penampilannya yang prima.
Interpretasi Farman dan aransemen garapan Andriano Alvin menjadikan karya ini terdengar dramatik, mencekam. Dengan gaya operatik pula, Farman membawakan ”Andaikan Kau Datang.” Penghayatan dan eksekusi vokal Farman menjadikan lagu ini semakin hidup.
Renardi Effendi sebagai pembuat aransemen melihat kesederhanaan lagu Koes Plus justru sebagai kekuatan. Kesederhanaan lagu mereka terletak pada notasi dan lirik. Dia mengambil contoh lagu “Bujangan” ciptaan Murry.
Ada pula lagu ”Kisah Sedih di Hari Minggu” yang diawali dengan musik cerah penuh semangat. Bagian pembuka itu mengingatkan kita pada musik fanfare, yang digunakan untuk menyambut orang penting.
Akan tetapi, masuk ke bagian tengah, aransemen garapan Fafan Isfandiar ini berubah meredup dan menggelap. Tampaknya, ia mengikuti lagu yang bertutur tentang rasa sedih yang melingkupi seseorang. Lalu, seseorang tadi berharap suasana yang ia alami di Sabtu malam itu hanya sekadar mimpi buruk.
Lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara selama puluhan tahun berjasa menemani warga negeri ini, dalam berbagai situasi lewat lagu-lagunya. Menghibur, menyentuh hati orang lewat musik, bukanlah kerja yang sederhana. Bob Marley mengatakan, ”Suatu hal yang baik tentang musik adalah ketika musik menyentuh kita, maka kita tidak akan merasakan sedih....”