Srimulat adalah Tawa Bahagia
”Sehari tanpa tawa adalah satu hari yang sia-sia...,” kata komedian legendaris Charlie Chaplin. Srimulat selama bertahun-tahun menemani berlapis generasi di negeri ini untuk satu tujuan: tertawa.
Tidaklah sia-sia kita berhaha-hihi tertawa menikmati Srimulat. Tahun 2023, kelompok sandiwara komedi Srimulat genap 70 tahun. Kita hormati para pejuang tawa yang menjadikan kita (pernah) bahagia.
Momentum 70 Tahun Srimulat dirayakan dengan peluncuran kembali biografi Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi tulisan Herry Gendut Janarto. Acara yang dihelat di Museum Keris Nusantara, Solo, Jawa Tengah, 8 Agustus 2023, itu menyertakan suvenir bagi undangan berupa lap. Mengapa lap atau serbet?
Penikmat Srimulat pasti ingat, lap adalah properti panggung yang melekat pada keberadaan pemeran tokoh pembantu. Lap itu tersemat di pundak Asmuni, Gepeng, Basuki, Timbul, Edi Geyol, Johnny Gudel, dan seniman panggung Srimulat lainnya saat mereka memerani tokoh pembantu. Lap itu ibarat pusaka, bagaikan tongkat sakti yang menyihir penonton untuk terbahak-bahak.
Genap 70 Tahun Srimulat juga ditandai dengan pameran wayang golek bersosok tokoh Srimulat. Deretan boneka atau wayang golek, dan memorabilia Srimulat koleksi Museum Gubug Wayang Mojokerto, diboyong ke Solo, dan dipamerkan sejak 8 Agustus hingga 8 September 2023.
Di antara koleksi yang menarik adalah sosok drakula, akik Tessy, dan kostum panggung pembantu seperti yang sering digunakan Gepeng dan kawan-kawan. Lap, kostum pembantu, drakula yang sering mengucap mantra tawa ”Tak cucrup mbun-mbunanmu...!” adalah jejak-jejak kenangan tawa yang pernah diledakkan Srimulat sejak 70 tahun silam.
”Hil yang mustahal”
Dalam pergaulan, acap terselip ujaran yang bersumber dari panggung Srimulat. Ketika orang meragukan sesuatu, mereka mengatakan, ”Ah itu hil yang mustahal.” Atau ketika ada orang bicara tidak jelas, mencla-mencle, atau tidak konsisten, orang lantas berkomentar, ”Omongan kok pating pecothot.”
Kata pecothot adalah bahasa Jawa yang menggambarkan bentuk yang tidak beraturan, tidak tertata. Kerap juga terucap dalam percakapan ujaran seperti ”diselikidi”, ”jarinya sidik”, dan ”musyawaroh”.
Bahkan, nama Kecamatan Diwek di Jombang, Jawa Timur, jadi ngetop gara-gara Asmuni mengucapkannya dalam lawakan. Dalam percakapan sehari-hari, ujaran-ujaran di atas terlontar dalam suasana canda. Begitulah Srimulat yang jejaknya saja selalu identik dengan tawa bahagia.
Humor Srimulat tampaknya akrab dengan penontonnya. Mungkin lawakan mereka lahir dari kehidupan sehari-hari yang kemudian dipanggungkan. Di panggung, para komedian Srimulat seperti merefleksikan apa yang mereka alami dalam hidup sehari-hari.
Mereka sebenarnya menertawakan nasib diri, yang boleh jadi juga dialami oleh sebagian penonton. Panggung Srimulat kemudian seperti arena berbagi rasa senasib sebagai insan-insan di panggung kehidupan dengan segala dinamika dan jatuh bangunnya.
Dari properti panggung berupa sofa, atau serbet pembersih, Srimulat bisa menggali humor tentang nasib manusia. Seorang pembantu yang setiap hari membersihkan sofa tersebut tidak layak untuk duduk di sofa. Mengapa?
Seperti kita dengar dari dialog panggung Srimulat, gaji mereka setahun sebagai pembantu rumah tangga tidak akan cukup untuk dibelikan sofa. Ini semacam komedi satirikal, satire sosial tentang ketimpangan ekonomi.
Ada relasi kuasa antara majikan dan pekerja rumah tangga, antara superior dan inferior. Majikan bersepatu, berdasi, sedangkan pembantu nyeker alias tanpa alas kaki dan cukup berkaos. Majikan menenteng tas, sementara pembantu cukup berkalung serbet.
Di panggung Srimulat, realitas hidup tidak diratapi atau diprotes dengan amarah ataupun dengan gaya sok heroik, tetapi menjadi tawa canda, yang bisa juga mengajak orang berefleksi.
Sofa vs serbet
Kita lihat di panggung, pembantu duduk bersimpuh di lantai. Sementara majikan, yang kadang disapa ndoro atau tuan, duduk bersilang kaki dengan jemawa. Simak cara mereka bersilang kaki: kaki diangkat tegak lurus agak tinggi seperti menjejak, baru kemudian disilangkan. Kemudian, betis mendarat di atas lutut.
Asmuni atau Tarzan yang sering kali menjadi pemeran majikan akan dengan sangat demonstratif menyilangkan kaki dengan gaya seperti itu. Adegan silang kaki itu diulang-ulang bergantian dari kaki kanan kemudian sejurus kemudian berganti kaki kiri. Humor ala majikan ini cukup memanen tawa.
Yang menarik dari adegan sekitar sofa ini adalah adanya ”perlawanan” dari para pembantu. Meski mereka tidak berhak duduk di sofa, mereka bisa menguasai sofa jika majikan tidak ada. Mereka bisa duduk, tidur, atau berbuat sesuka hati dengan sofa. Ini bisa dibaca sebagai bentuk pemerdekaan dari kekuasaan majikan.
Jika diberi kesempatan duduk, mereka akan malu-malu terlebih dahulu. Kemudian, pelan-pelan meletakkan pantat ke pinggir sofa, sebelum akhirnya mereka duduk dengan nyaman. Gepeng dan Timbul paling jago dalam aksi semacam itu.
Para pembantu juga bisa bertingkah semena-mena kepada majikan. Misalnya dengan pura-pura keliru mengelap kepala atau wajah majikan. Kadang dalam satu adegan mereka terlibat percakapan dengan majikan. Sampai pada satu pusaran percakapan seru, mereka bisa dengan galak menuding majikan dengan umpatan ”Guoblok iki..!!”
Mungkin ini yang disebut guyonan jungkir balik, penjungkirbalikan posisi dari sesuatu yang dianggap sebagai kelaziman. Semacam juxtaposition gag dalam komedi Barat.
Panggung vs realitas
Hubungan antarpemain Srimulat bisa dikatakan cukup dekat. Bukan hanya panggung yang menyatukan mereka, hubungan di luar pentas juga terjalin akrab. Sebagian besar dari mereka tinggal di satu lingkungan pondokan.
Di Jakarta, misalnya, mereka tinggal di satu tempat tinggal di kawasan Slipi yang tidak terlalu jauh dari panggung tetap di Senayan. Begitu juga awak Srimulat di Taman Hiburan Rakyat Surabaya yang tinggal di pemondokan serupa. Kisah-kisah mereka sehari-hari kadang terbawa-bawa ke atas pentas.
Sumiati, primadona Srimulat itu, mempunyai kenangan tak terlupakan tentang kisah dua dunia itu. Suatu kali, tutur Sumiati, ada pemain Srimulat yang berpacaran dengan anak seniman panggung Srimulat. Hubungan mereka tidak disetujui oleh pihak orangtua si anak karena jarak usia yang lebar.
Pada suatu pentas, mereka kebagian peran yang mengharuskan keduanya beradu mulut tentang suatu masalah. Rupanya persoalan pribadi dalam kehidupan nyata itu dibawa-bawa ke atas panggung.
Apa yang terjadi di panggung? Kata Sumiati, mereka marah-marahan beneran, berantem sungguhan. ”Saya tertawa saja, lha wong saya tahu permasalahannya,” tutur Sumiati dalam wawancara dengan Kompas. Penonton pun tertawa terbahak-bahak meski mereka tidak mengetahui apa yang sesungguhnya yang terjadi di balik panggung.
Di sinilah letak keprofesionalan seniman komedi Srimulat. Meski penampilan mereka terimbas oleh emosi pribadi di luar peran, mereka bisa mengatur diri agar emosi pribadi tidak menjadi dominan di panggung. Dengan demikian, urusan pribadi tidak merusak tontonan komedi. Namun, emosi pribadi juga bisa terlampiaskan meski tidak kentara.
Panggung juga merupakan realitas tersendiri. Seniman komedi harus dengan cepat merespons situasi agar tidak mati langkah di atas pentas. Termasuk ketika mereka melakukan kesalahan yang dapat mengganggu jalan cerita.
Suatu kali Kardjo AC/DC mendapat peran harus membunuh tokoh yang diperankan Sumiati. Rupanya Kardjo terbawa suasana panggung sehingga ia lupa melakukan aksi, sementara durasi terbatas. Maka, Sumiati berinisiatif mengingatkan. ”Djo, Kardjo, aku endang patenono (Djo, Kardjo segera bunuh saya)”. Sebenarnya ini ”kecelakaan” panggung, tetapi komedian Srimulat mampu menyelamatkan situasi dan mengubahnya menjadi bom tawa.
Suasana lain terjadi pada saat Tikno naik panggung. Seniman berpostur kurus itu sedang sakit, tetapi tetap ingin ikut main. Dengan kondisi kurang sehat, ia mendapat peran seperlunya. Rekan-rekan main di panggung menggodanya sehingga ia merespons balik dengan mengatakan apa yang terjadi sesungguhnya.
”Aku iki lara tenan (Saya ini sakit beneran)....” Penonton tertawa dan mungkin tidak mengetahui kondisi Tikno yang sesungguhnya. Menyedihkan, tetapi Tikno mungkin merasa menemukan penghiburan saat berada di atas panggung.
Kejelian Teguh
Teguh mampu memproyeksikan potensi pemain. Sumiati, misalnya, yang bergabung dengan Srimulat di Surabaya sewaktu berumur 14 tahun dan berkiprah hingga pertengahan 1970-an. Teguh semula mengarahkan Sumiati sebagai penyanyi.
Namun, menurut pengakuan Sumiati, suaranya ngemprok-emprok alias tidak enak didengar. Namun, ternyata penampilan Sumiati mendapat sambutan penonton. Pada awalnya, ia hampir setiap malam hanya menyanyikan lagu ”Ratapan Anak Tiri”, tetapi selalu mengundang tepuk riuh penonton.
Rupanya Teguh melihat potensi pesona panggung Sumiati seperti yang dimaui penonton. Sumiati yang sehari-hari mengenakan rok itu oleh Teguh diarahkan untuk mengenakan kain kebaya dan bergelung konde. Itulah langkah-langkah awal Sumiati sebagai Sri Panggung alias Primadona Srimulat.
Setelah mendapat nama, Sumiati mulai dijajal Teguh untuk bermain bersama bintang-bintang komedi Srimulat. Pada masa itu, Srimulat mempunyai seniman panggung legendaris, seperti Johnny Gudel, Edi Geyol, Beni Bandempo, dan Brontoyudo. Tentu saja Sumiati masih sangat hijau di dunia panggung komedi dibandingkan barisan old crack Srimulat itu.
Teguh pada mulanya hanya menugasi Sumiati berjalan melintas panggung sebagai pembawa kopi dalam satu adegan. Rupanya itu semacam uji coba dari Teguh dan ternyata Sumiati lulus. Tolok ukurnya, gedung bergetar saat Sumiati muncul.
Sumiati lalu diberi peran, mulai sebagai anak, istri, sampai janda muda. Suatu kali, Sumiati gerok atau sakit tenggorokan, tetapi Teguh tetap menugasi Sumiati naik panggung meski tidak mendapat bagian dialog. Hasilnya, Sumiati tetap memikat penonton. Teguh sangat lihai dalam mengatur peran sesuai kondisi para pemain.
Kardjo AC/DC dan Abimanyu
Kejelian Teguh juga terlihat antara lain dalam ketokohan Kardjo AC/DC dan Tessy. Keduanya adalah tokoh bersosok pakaian perempuan. Mereka tidak ditugasi sebagai lelaki yang feminin, tetapi sebagai lelaki macho berpakaian perempuan. Suara mereka tidak dibuat-buat agar terdengar feminin, tetapi dibiarkan natural layaknya suara mereka sebagai lelaki sehari-hari.
Kardjo mengenakan kain kebaya bergelung selayaknya ibu-ibu, tetapi kelakuan dan tabiatnya seratus persen laki-laki. Dalam dialog di panggung sering terlontar, ”Aku mau pulang, arep bal-balan (mau sepak bola).” Atau kadang ”Arep nggebug bata,” yang semuanya menunjukkan aktivitas maskulin.
Jika menangis, suaranya meraung-raung tetapi tidak mengundang rasa iba, tetapi malah menakutkan. Kata-kata jengkelnya, ”Kowe durung tau dikoploki Jepang ya? (Kamu belum pernah dihajar Jepang ya?).” Tessy berpakaian layaknya perempuan tetapi tidak dibuat manis atau dipercantik. Badan tetap kekar dan jari-jarinya mengenakan akik dengan batu yang terkesan sangar.
Teguh merancang sosok seperti mereka dengan rumus, aneh itu lucu. Keanehan itu tidak hanya sebatas ciri fisik, tetapi juga cara berbicara. Abimanyu adalah tokoh Srimulat yang kemampuan berbicaranya dalam bahasa Indonesia mengalir bagai air. Menghadapi retetan ucapan cepatnya, lawan main bisa kelabakan. Salah satu ”korban”-nya adalah Johnny Gudel.
Komedian Srimulat bukannya tidak mampu berbahasa Indonesia. Mereka dapat berbahasa Indonesia untuk percakapan dalam keseharian. Namun, mungkin bahasa Indonesia bukan bahasa panggung komedi dari sebagian mereka.
Johnny Gudel yang kelabakan sering merespons dengan melontarkan jawaban, ”Apa ituuu…?” Ucapan itu disampaikan dengan bibir dimonyongkan dan jari menunjuk jidatnya. Ia lalu berhenti sejenak untuk melanjutkan jawaban. Lagi-lagi yang keluar adalah ucapan, ”Apa ituuu...?” dan grrrr, penonton tertawa.
Srimulat merupakan gabungan kecerdasan panggung para senimannya dan kejelian Teguh sebagai ”pawang”-nya. Teguh tahu benar kekuatan setiap anak buahnya. Para pemain sangat peka dan mempunyai refleks cepat dalam merespons suasana. Mereka lihai berimprovisasi dengan situasi yang tercipta. Seperti kata Teguh yang dikutip dalam buku Berpacu dalam Komedi dan Melodi, ”Jurus improvisasi adalah lawak itu sendiri....”
Dari gabungan kekuatan itu, lahirlah tawa yang menjadikan penonton bahagia. Itu dibutuhkan dalam hidup, seperti kata novelis JB Priestly, ”Comedy, we may say, is society protecting itself with a smile (Kita bisa mengatakan, komedi adalah masyarakat yang melindungi diri mereka sendiri dengan senyuman).”