Ketimbang ikut-ikutan menari di panggung yang disiapkan orang lain, lebih baik Indonesia fokus secara serius di panggung yang kita ikut membangunnya.
Oleh
Rizal Sukma
·3 menit baca
Tanggal 22-24 Agustus lalu, Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) mengadakan konferensi tingkat tinggi atau KTT di Johannesburg, Afrika Selatan. Akronim negara-negara tersebut (disebut BRIC sebelum Afrika Selatan bergabung), yang dibuat oleh ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, pada 2001, digunakan untuk merujuk negara-negara yang ekonominya melaju cepat. Kemudian, pada 2009, BRIC mengadakan KTT pertama, dan setelah Afrika Selatan bergabung pada 2010, para pemimpin kelima negara itu rutin bertemu setiap tahun.
Salah satu agenda penting dari KTT BRICS ini adalah perluasan keanggotaan. Berbagai spekulasi bermunculan menjelang KTT Johannesburg. Indonesia dan belasan negara berkembang lainnya disebut-sebut telah menyatakan keinginan untuk bergabung. Namun, setelah KTT usai, BRICS memutuskan hanya akan mengundang enam negara lain untuk bergabung. Tidak ada Indonesia dalam daftar tersebut.
Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia ingin mengkaji terlebih dahulu dan tidak ingin terburu-buru bergabung dalam BRICS. Sikap dan keputusan Presiden Jokowi itu patut diapresiasi karena mencerminkan pemahaman mendalam mengenai identitas internasional Indonesia, yakni identitas yang berpegang pada prinsip bebas-aktif, identitas internasional yang menjaga otonomi strategis sebagai negara berdaulat, dan identitas sebagai negara yang berprinsip untuk tidak mengikat diri (non-aligned).
Sebelumnya, banyak pihak yang mendorong-dorong Indonesia untuk menjadi ”anggota” BRICS. Berbagai alasan dikemukakan. Ada yang mengatakan, bergabung dengan BRICS penting untuk menunjukkan jati diri Indonesia sebagai kekuatan anti-imperialisme dan antineokolonialisme. Ada juga yang berpendapat, dengan bergabung ke BRICS, Indonesia dapat memperluas akses pasar bagi produk-produk ekspornya. BRICS juga digambarkan sebagai bentuk baru dari manifestasi semangat negara-negara Selatan, negara-negara berkembang, dalam membangun tatanan dunia baru, dunia yang lebih adil, lebih sejahtera, lebih damai, dan lebih setara.
Sudah barang tentu ketiga hal tersebut—menentang neokolonialisme dan neo-imperialisme, membangun solidaritas Selatan-Selatan, dan memperluas akses pasar ekspor—akan selalu menjadi sikap dan kepentingan Indonesia. Namun, pertanyaannya adalah apakah pandangan dan kepentingan di atas tepat apabila dimanifestasikan dan disalurkan dengan cara bergabung dengan BRICS?
Yang menjadi persoalan adalah perkembangan belakangan ini membuat BRICS tidak dapat dipisahkan dari konteks rivalitas China/Rusia vs Amerika/Barat. BRICS bukanlah Gerakan Non-Blok (GNB) baru. Kesan yang terbangun adalah sementara kalangan ingin menjadikan BRICS sebagai ”lawan”, tandingan atau untuk menggantikan tatanan dunia setelah Perang Dunia II yang dimotori oleh Amerika Serikat (AS). Indonesia tentunya tidak ingin terjebak dan terseret ke dalam pusaran rivalitas geopolitik dan geoekonomi antarnegara besar.
Dalam konteks demikian, bergabungnya Indonesia dalam BRICS akan menimbulkan kesan dan tuduhan bahwa Indonesia meninggalkan prinsip bebas-aktif. Sementara itu, belum jelas apa manfaat nyata dan konkret secara ekonomi yang akan didapat dengan bergabung ke BRICS. Lagi pula, BRICS bukanlah sebuah organisasi yang memiliki struktur dan agenda kerja sama ekonomi yang terencana. BRICS sampai saat ini hanyalah sebuah kaukus dengan ”keanggotaan” yang sangat beragam sehingga sulit untuk bisa efektif. Penambahan anggota baru akan semakin memperumit dinamika BRICS.
Indonesia sudah pernah dan masih menjadi ”anggota” sejumlah kaukus internasional serupa. Sampai sekarang, misalnya kelompok seperti MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Afrika Selatan), D-8 (Development-8), dan G77 masih terus mencari bentuk dan bahkan mulai kehabisan tenaga.
Ketimbang ikut-ikutan menari di panggung yang disiapkan orang lain, lebih baik Indonesia fokus secara serius di panggung yang kita ikut membangunnya. Dalam hal ini, lebih baik Indonesia memainkan peran kepemimpinannya dalam platform kerja sama regional yang lebih nyata, seperti di Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), ASEAN Plus Three (APT), dan East Asia Summit (EAS). Indonesia juga sedang fokus untuk menjadi anggota Organization of Economic Cooperation and Development (OECD).
Lima sampai sepuluh tahun ke depan, Indonesia perlu mengonsolidasikan posisi dan perannya sebagai kekuatan regional Indo-Pasifik, dengan keterlibatan global yang aktif dan selektif. Harus disadari, pusat gravitasi geopolitik dan geoekonomi dunia sudah bergeser ke kawasan Indo-Pasifik. Dan kita adalah poros (fulcrum) penting dalam pergeseran itu.