Dalam kasus hutan adat, kepentingan politis dan ekonomis pengakuan hutan lebih banyak ditonjolkan. Akibatnya, upaya penyelenggaraan dan pengakuan MHA beserta wilayah adatnya belum optimal.
Oleh
PRAMONO DWI SUSETYO
·2 menit baca
Penetapan 15 hutan adat di Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), dinilai sebagai langkah maju pemerintah yang diharapkan bisa dilakukan di setiap kabupaten dan kota di Kalteng. Kini, Kalteng punya 16 hutan adat yang dikelola masyarakat hukum adat (MHA) (Kompas, 10/8/2023).
Sejatinya, dibandingkan total luas kawasan hutan yang dimiliki Kalteng, yakni 10.294.853,52 hektar atau 64 persen dari luas wilayah Kalteng, pengakuan terhadap hutan adat yang seluas 68.426 hektar masih sangat kecil.
Masih banyak daerah kabupaten/kota lain di Kalteng yang perlu ditetapkan dan diakui hutan adatnya. Masyarakat adat Dayak di Kalteng, dari berbagai etnis/subetnis yang sudah ada sejak negara ini belum merdeka, mayoritas masih menggantungkan hidup dari kawasan hutan.
Dengan demikian, wajar apabila mereka mengklaim bahwa kawasan hutan yang menjadi mata pencaharian hidup mereka merupakan kawasan hutan adat.
Berdasarkan pembaruan data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), hingga Agustus 2023 telah teregistrasi 1.336 peta wilayah adat yang tersebar di 155 kabupaten/kota dengan luasan sekitar 26,9 juta hektar. Angka ini bertambah 1,8 juta hektar dari data yang dirilis pada Maret 2023, yakni seluas 25,1 juta hektar di 154 kabupaten/kota.
Dari jumlah itu, 219 wilayah adat sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan luas 3,73 juta hektar atau sekitar 13,9 persen. Total hutan adat yang sudah dapat pengakuan sebanyak 123 hutan adat dengan luas 122.648 hektar.
Meski hutan adat dengan MHA telah disebut secara tekstual dalam perundangan, seperti UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok -Pokok Agraria, UU No 5/1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan, polemik tentang penetapan dan pengakuan hutan adat tak berkesudahan.
Pangkal pokok masalahnya adalah batu sandungan bagi pengakuan, pengukuhan, serta penetapan hutan adat dan masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah (perda) sangat membebani dan memberatkan. Perda adalah proses keputusan politik yang diambil oleh para elite politik yang duduk di DPRD di tingkat kabupaten/kota yang sarat dengan berbagai kepentingan.
Dalam kasus hutan adat, kepentingan politis dan ekonomis pengakuan hutan lebih banyak ditonjolkan. Akibatnya, upaya penyelenggaraan dan pengakuan MHA beserta wilayah adatnya belum optimal.
Terkadang logika terbalik masih digunakan dalam proses pengakuan hutan adat di republik ini. Masyarakat hukum adat etnis Dayak yang sudah ratusan tahun bermukim di dalam kawasan hutan sebelum Indonesia merdeka dengan wilayah (hutan) adatnya tibatiba mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengakuan atas hutan adatnya setelah Indonesia merdeka.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum sepenuhnya ditegakkan.