Minat Indonesia memasuki BRICS belum pas momentumnya. Walau motonya memperbaiki tata kelola perekonomian, warna politiknya tidak bisa ditepis.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dari sisi politik memasuki BRICS melekat dengan nuansa blok China-Rusia, yang sedang berseteru dengan AS. Perseteruan geopolitik merupakan hal lazim dan selalu ada di dunia dengan pelaku yang silih berganti. Hanya saja perseteruan mencuatkan kemanusiaan terkait invasi Rusia ke Ukraina.
Menjadi anggota BRICS bisa juga melekat dengan nuansa menuruti China. ASEAN beranggotakan beberapa negara yang bersengketa dengan China soal Laut China Selatan. Mustahil rasanya mengabaikan solidaritas ASEAN apalagi Filipina sedang menghadapi tekanan China di lautan tersebut.
Itu semua bersinggungan dengan satu pilar BRICS, kerja sama politik dan keamanan tetapi nuansa antagonismenya sedang mencuat. Dengan tidak menjadi anggota BRICS, mungkin ada yang luput dari dua pilar lainnya; kerja sama keuangan dan ekonomi, kerja sama budaya dan relasi warga.
Tanpa menjadi anggota BRICS, dua pilar ini relatif tidak terganggu. Hubungan Indonesia dengan semua anggota BRICS baik-baik saja, kata ekonom Yose Rizal Damuri. Dalam kerja sama ekonomi, ada istilah open regionalism, merujuk pada blok terbuka dan memberi kesempatan setara pada non-anggota asalkan ada asas resiprokal.
BRICS itu terbuka dan inklusif serta memiliki semangat Konferensi Asia Afrika. Rasanya Indonesia tidak akan kesulitan meraih akses ke BRICS, kini beranggotakan Brazil, Rusia, India, China, Afrika selatan, Etiopia, Mesir, Argentina, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Iran.
Hal lain yang menjadi pemikiran mengapa tidak masuk, BRICS itu belum jelas juntrungannya, seperti dikatakan ekonom A Prasetyantoko. BRICS terkesan menjadi blok yang lari dari kitah awal. Maka tidak heran jika Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia masih harus mengkaji keanggotaan dan belum mengajukan minat memasuki BRICS.
Ke depan, BRICS memang akan berkembang menjadi blok ekonomi besar. “Setelah terbebas dari perdagangan yang hanya berbasis komoditas ekstraktif dan tekanan Barat; Asia, Amerika Latin, dan Afrika kemungkinan besar meraih kekayaan dan kekuatan. Negara-negara besar dengan populasi pekerja keras seperti Tiongkok, India, dan indonesia tidak dapat dipungkiri memiliki keunggulan komparatif di era globalisasi,” demikian The Washington Post, 25 Agustus, yang turut menyebut Indonesia.
Untuk sekarang ini, potensi itu masih dalam jangkauan Indonesia. Memasuki BRICS kelak, tampaknya tidak akan menyulitkan jika momentumnya pas.
Memang akan ada kesan moral hazard, masuk BRICS di saat kalkulasi keuntungan sudah jelas dan tidak berjuang bersama dari awal seperti semangat KAA di Bandung. Indonesia juga disebut paling layak menjadi anggota BRICS. Hanya saja kesan ini bisa ditepis dengan argumentasi; ada asas sensitifitas kemanusiaan terkait Ukraina dan solidaritas ASEAN.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO