Frasa ”mengentaskan kemiskinan” atau ”pengentasan kemiskinan” sudah mendarah daging pada penutur bahasa Indonesia. Padahal, kedua frasa tersebut malasuai, alias ada ketidaksesuaian antara kata-kata dan maknanya.
Masuk akal, frasa tersebut sangat sering dipakai oleh pemerintah waktu itu yang tengah gencar-gencarnya meningkatkan perekonomian dengan berbagai cara. Salah satu program pemerintah kala itu, ya, pengentasan kemiskinan, dengan menggalakkan pertanian.
Kita masih ingat, pada zaman Orde Baru, pemerintah menjalankan banyak program. Misalnya saja program subsidi beras untuk rakyat miskin (raskin), program keluarga berencana (KB), program transmigrasi, dan program inpres desa tertinggal (IDT).
Pada masa pemerintahan berikutnya setelah tumbangnya Orde Baru, muncul program bantuan langsung tunai (BLT) dan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Semua dilakukan dengan tujuan ”mengentaskan kemiskinan”.
Bahkan, ”pengentasan kemiskinan” ternyata sudah ada sejak masa pemerintahan Soekarno. Salah satu buktinya adalah adanya program Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun (Penasbede) 1961-1969 yang dirumuskan oleh Dewan Perancang Nasional (Depernas) pimpinan Soekarno.
Program ini bertujuan membangkitkan harga diri bangsa, mempertahankan kemerdekaan, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Program ”pengentasan kemiskinan” termasuk di dalamnya sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut.
Selain itu, Bung Karno juga mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi program pembangunan nasional yang juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan ”mengentaskan kemiskinan”.
Tidak mengherankan juga, harian Kompas yang lahir pada 28 Juni 1965 sudah menggunakan frasa ”pengentasan kemiskinan” untuk pertama kali dalam pemberitaannya pada Senin, 6 Desember 1965.
Malasuai makna
Semua bermula karena negara kita waktu itu masih dalam kondisi miskin. Begitu populernya frasa ini hingga makna sebenarnya pun tak lagi menjadi soal. Hingga sekarang, frasa ”mengentaskan kemiskinan” terus saja mewarnai pemberitaan di media massa, buku-buku, dan laporan lainnya.
Tepatkah sesungguhnya frasa mengentaskan kemiskinan atau pengentasan kemiskinan itu?
Kata mengentaskan dan pengentasan berasal dari kata dasar entas, yang masing-masing mendapatkan imbuhan me-kan dan pe-an.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pada lema entas disematkan makna ’angkat dari suatu tempat ke tempat lain’. Kata ini berkelas kata kerja (verba).
Dari kata entas diturunkan kata mengentaskan, yang diberi dua makna. Makna pertama adalah ’mengentas untuk orang lain’, dan makna kedua adalah ’memperbaiki (menjadikan, mengangkat) nasib atau keadaan yang kurang baik kepada yang (lebih) baik. Contoh: para menteri diminta untuk ~ petani kecil melalui program transmigrasi.
Melihat makna tersebut, kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya penggunaan frasa mengentaskan kemiskinan dan pengentasan kemiskinan adalah malasuai. Artinya justru ’mengangkat kemiskinan’ menjadi lebih baik. Sungguh bertolak belakang dengan makna yang dikehendaki, yakni ’mengangkat orang dari kondisi yang miskin menjadi tidak miskin’.
Seorang teman, dalam sebuah diskusi tentang bahasa, sempat berseloroh. ”Pantas saja kemiskinan di negara kita tidak bisa diatasi karena pemilihan katanya saja salah. Maksud hati menghapuskan kemiskinan, yang muncul adalah mengangkat kemiskinan. Masak kemiskinan malah diangkat-angkat,” ujarnya.
Dari kata entas diturunkan kata mengentaskan, yang diberi dua makna. Makna pertama adalah ’mengentas untuk orang lain’, dan makna kedua adalah ’memperbaiki (menjadikan, mengangkat) nasib atau keadaan yang kurang baik kepada yang (lebih) baik.
Jadi, frasa mengentaskan kemiskinan atau pengentasan kemiskinan adalah bentuk yang keliru. Jika yang dimaksud adalah ”ingin negeri ini tidak mempunyai rakyat miskin”, frasa yang digunakan adalah mengentaskan rakyat miskin atau pengentasan rakyat miskin.
Pada frasa mengentaskan rakyat miskin atau pengentasan rakyat miskin, yang dientaskan adalah rakyatnya, bukan kemiskinannya. Rakyat dientaskan atau diangkat nasibnya dari miskin menjadi tidak miskin.
Sementara jika ”ingin kemiskinan hilang dari negeri ini”, maka frasa menghapus kemiskinan atau penghapusan kemiskinan dapat dipergunakan.
Kata mengentaskan atau pengentasan tidak cocok dipasangkan dengan kata yang mengacu pada kondisi. Jika tetap dipaksakan menjadi mengentaskan kemiskinan atau pengentasan kemiskinan, maka sebenarnya yang dientas adalah kemiskinannya, sehingga bukannya hilang, kemiskinan malah naik terus ke permukaan.
Lewat tulisan ini, kiranya para pemangku jabatan di pemerintahan, terlebih yang memproduksi peraturan, undang-undang, bahan literasi, atau yang berkomunikasi secara resmi dengan khalayak, dapat meluruskan pemakaian frasa yang ternyata malasuai alias tidak sesuai ini.
Dengan demikian, pengguna bahasa diharapkan dapat lebih akrab dengan frasa mengentaskan rakyat miskin atau pengentasan rakyat miskin.