Indonesia makin jauh dari impian karena masih banyak manusia yang melawan arus lalu lintas. Sehebat apa pun teknologinya, mobil tanpa pengemudi sulit diterapkan ketika banyak orang berperilaku semacam ini.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Sekian lama orang hanya bisa membayangkan mobil tanpa pengemudi atau swakemudi beroperasi di jalanan. Sejak awal Agustus ada titik mula ketika impian manusia itu bakal menjadi kenyataan. Mobil swakemudi bakal berseliweran di jalan. Apakah proses penggunaan mobil ini akan mulus? Tentu saja tidak. Tak lama setelah mobil swakemudi beroperasi penuh di San Francisco muncul masalah. Akan tetapi, impian manusia tidak akan terhenti.
Sudah lama uji coba kendaraan swakemudi dilakukan di sejumlah negara. Saat Asian Games 2018 di Jakarta, saya sempat mencoba di area terbatas di Gelora Bung Karno, Jakarta. Berbagai sistem yang ada beroperasi sempurna. Saat ada perempatan, mobil berhenti dan memastikan tidak ada kendaraan lain melintas. Saat ada orang hendak menyeberang, mobil akan berhenti sampai orang benar-benar menyeberang jalan. Di halte mobil juga berhenti. Akan tetapi, operasi mobil ini terbatas di area yang memang tergolong ”sangat aman” sehingga tidak mengganggu lalu lintas umum.
Awal Agustus ini ada perkembangan baru. San Francisco telah memasuki era baru mobil swakemudi setelah Komisi Utilitas Umum California (CPUC) memberi lampu hijau kepada perusahaan kendaraan otonom Cruise dan Waymo untuk ekspansi tanpa batas. Cruise yang dimiliki oleh Cruise LLC adalah perusahaan mobil swakemudi yang didirikan pada tahun 2013 oleh Kyle Vogt dan Dan Kan.
Cruise adalah anak perusahaan General Motors. Waymo adalah mobil yang merupakan produk dari Waymo LLC, yang sebelumnya dikenal sebagai Google Self-Driving Car Project, perusahaan teknologi yang merupakan anak perusahaan dari Alphabet Inc, perusahaan induk Google.
Keduanya sering juga disebut sebagai taksi robot (robotaxi). Mereka telah melakukan serangkaian uji sebelumnya, termasuk uji di kawasan yang terbatas, hingga otoritas memberikan izin penuh di San Francisco dalam jumlah yang tak terbatas.
Media The San Francisco Standard melaporkan, dalam pemungutan suara 3-1, komisi memutuskan untuk mengizinkan perusahaan beroperasi di seluruh kota selama 24 jam dalam seminggu dan boleh membebankan biaya atau ongkos kepada penumpang untuk perjalanan yang dilakukan.
Presiden CPUC Alice Reynolds bersama komisioner Darcie Houck dan John Reynolds memberikan suara mendukung resolusi yang memungkinkan perusahaan untuk memperluas operasi mereka. Komisaris Genevieve Shiroma menentang resolusi tersebut dengan mengatakan bahwa CPUC kekurangan informasi yang cukup untuk mengevaluasi keselamatan kendaraan otonom dan dampaknya terhadap responden pertama. Taksi Cruise dan Waymo telah lama beredar di San Francisco dan bahkan mengangkut penumpang melalui jalan-jalan kota. Namun, saat itu operasi masih terbatas.
Akan tetapi, beberapa hari kemudian muncul masalah. Techcrunch melaporkan, Cruise telah diminta untuk mengurangi taksi robot itu sebesar 50 persen menyusul kecelakaan dengan truk pemadam kebakaran. The California Department of Motor Vehicles (DMV), otoritas yang mengatur pengujian dan operasi kendaraan otonom di negara bagian itu, meminta pengurangan operasi.
Lembaga tersebut mengatakan sedang menyelidiki ”insiden memprihatinkan baru-baru ini” yang melibatkan kendaraan Cruise di San Francisco. Mereka juga meminta Cruise agar tidak memiliki lebih dari 50 kendaraan swakemudi yang beroperasi pada siang hari dan 150 kendaraan swakemudi yang beroperasi pada malam hari sampai penyelidikan tuntas.
Dalam siaran persnya, DMV mengatakan, keamanan masyarakat yang bepergian adalah prioritas utama California DMV. Mereka menambahkan bahwa mereka berhak untuk menangguhkan atau mencabut izin pengujian dan/atau penggunaan secara massal setelah penyelidikan jika ditentukan ada risiko yang tidak wajar terhadap keselamatan publik.
Fokus utama peraturan DMV adalah pengoperasian kendaraan otonom yang aman dan keselamatan masyarakat yang berbagi jalan dengan kendaraan ini. Cruise mengatakan kepada TechCrunch bahwa mereka patuh dan memenuhi permintaan tersebut. Cruise juga menerbitkan unggahan blog yang memberikan perspektif perusahaan tentang bagaimana dan mengapa kecelakaan itu terjadi.
Sebenarnya sejumlah masalah muncul ketika uji coba beberapa waktu lalu. Pada bulan Juni, The Guardian melaporkan, sebuah mobil swakemudi menghalangi orang yang tengah mencoba mengakses sebuah lokasi penembakan massal di Distrik Misi, San Francisco. Kru darurat merespons penembakan di 24th Street yang menyebabkan sembilan orang terluka tak lama setelah pukul 21.00.
Dalam video yang diunggah ke Twitter, sebuah mobil swakemudi terlihat di jalan ketika seorang petugas mendekatinya dan mengatakan mobil itu ”memblokade akses darurat medis dan pasukan pemadam kebakaran”. Mereka harus mengeluarkannya dari tempat itu. Namun, dalam sebuah pernyataan, Cruise menyatakan bahwa mobil tersebut tidak memblokade akses darurat ke lokasi kejadian.
Masalah utama yang muncul dalam pengoperasian mobil swakemudi adalah kebiasaan-kebiasaan di jalanan yang harus diadopsi oleh ”mesin” kecerdasan buatan mobil swakemudi sehingga mereka bisa berperilaku layaknya mobil dengan pengemudi. Dalam istilah mereka, ada skenario-skenario yang bisa dibaca dan dipahami oleh mesin dan kemudian menjadi pembelajaran hingga mereka bisa melakukan eksekusi di jalan.
Dalam sebuah seminar di China, saya mendapat gambaran betapa ruwetnya lalu lintas di salah satu kota di China selama ini sehingga mereka harus menghitung berapa skenario yang ada di jalan dan termasuk skenario di tempat parkir.
Semakin banyak skenario, maka semakin banyak pula adopsi yang harus dilakukan oleh ”mesin”. Cara ini tidak mudah. Rumit. Oleh karena itu, cara yang digunakan adalah mengurangi jumlah skenario itu dengan jalan menegakkan aturan berlalu lintas dan memberi informasi kepada pengguna jalan agar makin tertib.
Ketika jumlah skenario itu berkurang, maka ”mesin” makin mudah memproses apa yang ditangkap oleh kamera dan kemudian menjadi keputusan mobil untuk menyalip, mengerem, berhenti, dan lain-lain. Di luar itu, ”mesin” harus bisa menangkap kejadian-kejadian di luar dugaan yang muncul tiba-tiba, seperti ada kasus kebakaran, kerusuhan, dan ledakan. ”Mesin” masih membutuhkan ”bimbingan”.
Gambaran ini membuat kita di Indonesia untuk sementara menahan mimpi mobil tanpa pengemudi bisa beroperasi di jalanan, kecuali mungkin kelak di Ibu Kota Nusantara. Banyak masalah di jalanan yang harus diselesaikan karena skenario di jalanan kita tentu sangat banyak sehingga ”mesin” makin sulit membaca situasi di lapangan dan melakukan eksekusi.
Kita makin jauh dari impian karena masih banyak manusia yang melawan arus lalu lintas. Sehebat apa pun teknologinya, mobil swakemudi sulit diterapkan ketika banyak orang berperilaku semacam ini. Suka-suka berada di jalanan dan memainkan nyawa diri sendiri dan orang lain ketika orang bersama-sama menggunakan jalan raya.