Semua Dapat Cawe-cawe Mengatasi Pendidihan Global
Dibutuhkan tindakan kolektif kita semua terhadap kondisi iklim dunia yang memburuk. Agar komitmen bersama mengatasi krisis iklim ini tidak menjadi abstraksi belaka, dibutuhkan langkah yang lebih praktis.

Pembaca, cobalah beberapa jenak waktu untuk sedia mendengarkan suara bumi mengenai kondisi iklim yang kian mencengangkan. Lantas merefleksikan diri, sepertinya ada yang salah dengan pola hidup kita? Lantas apa yang bisa kita perbuat?
Bahkan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah melansir dari markasnya di New York, 27 Juli 2023, bahwa pemanasan global (global warming) telah usai, dan era pendidihan global (global boiling) sedang dimulai. Ini sejatinya bukan sekadar istilah metaforis nan hiperbolis. Ini adalah manifestasi krisis iklim yang sudah dapat dirasakan semua khalayak.
Pemanasan global sedang menuju perjalanan berikutnya, ambil start pendidihan global. Sungguh bumi ini menanggungkan pedih-perih. Kesehatannya sedang dipertaruhkan dari ancaman pemanasan global dan perubahan iklim. Konstelasinya menciptakan tren suhu bumi yang mendidih (global boiling).
Suhu panas telah dirasakan beberapa negara Asia, Afrika, dan Eropa (Perancis, Italia, Spanyol) dengan suhu mencapai 45,9 derajat celsius sebagaimana yang pernah menyengat Bulgaria, Portugal, Yunani, dan Macedonia Utara. Realitas ini sehaluan dengan riset ilmuwan dunia bahwa bumi saat ini menjadi yang terpanas sejak 12.000 tahun terakhir sebagaimana dilansir Samantha Bova dari Rutgers University di akhir Januari 2021.
Baca juga: Bumi Bukan Lagi Memanas, tetapi Mulai Mendidih
Pada Juli 2023, suhu rata-rata global meraih rekor dan menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah manusia. Rata-rata suhu permukaan selama 23 hari pertama Juli 2023 mencapai 16,95 derajat celsius, jauh di atas catatan suhu terpanas global yang terjadi pada Juli 2019 yang mencapai 16,63 derajat celsius.
Serupa dengan itu, rata-rata suhu laut di seluruh samudera mencatat rekor terpanas sejak April 2023. Kenaikannya terpantau melejit pada pertengahan Mei 2023 dan mencapai rekor pada 19 Juli 2023 dengan suhu 20,94 derajat celsius.
Implikasi dari kenaikan suhu yang signifikan tersebut adalah munculnya gelombang panas di Amerika, Asia, dan Eropa, serta kebakaran hutan di banyak negara (Kompas, 2/8/2023). Krisis iklim ini tidak boleh dibiarkan. Perubahan iklim itu secara ekosistemik sangat memengaruhi keruntuhan sebuah peradaban (Jared Diamond, 2014, 2022). Dibutuhkan tindakan kolektif kita semua—para pemangku kepentingan (warga negara, birokrasi pemerintahan, kalangan industri, perguruan tinggi, dan masyarakat internasional)—terhadap kondisi iklim dunia yang memburuk.

Rumah-rumah dan gedung-gedung yang rusak akibat kebakaran di Lahaina, Hawaii. Foto diambil pada 10 Agustus 2023. Api mulai membakar kawasan tersebut pada 8 Agustus.
Akibat laku abai
Ini semua merupakan produk laku insani yang terlalu lama lengah dan menaburkan industri kotor sambil menuai polusi. Manusia alpa bagaimana ia bernapas (yang berkisar 18-22 kali setiap menit) dan apa yang dihirup saat tarik napas (10.600-62.00 liter udara per hari).
Pohon-pohon yang tumbuh dan tunduk kepada-Nya (QS 55, Ar-Rahman: 6) sebagai ”pabrik oksigen” mudah ditebang (deforestasi). Global boiling adalah ”panen raya mondial” dari ulah manusia yang sembrono. Meminjam kosakata lama MG Faure, JC Oudijk, dan D Schaffmeister (1994), inilah zorgen van heden (kekhawatiran masa kini).
Manusia mengalami amnesia tentang tugasnya sebagai pengelola. Gaia, sang Dewi Bumi dalam mitologi Yunani, sepertinya sedang menangis. Warga dunia sebagian telah bertransformasi sebagai ”monster” yang memperlakukan bumi sebagai liyan. Penghuni bumi justru menjadi ancaman atas habitatnya sendiri (QS Ar-rum: 41-42).
Obligasi menjaga bumi (QS Al Baqarah: 30) berubah menjadi sekawanan pelaku penjarahan yang setiap saat menggelontorkan bahan pencemar. Bumi makin panas atas tabiat penghuninya yang tidak bernas. Malapetaka iklim (climate catastrophies) dalam sejarah bumi, sungguh berada di tangan manusia.
Struktur kosmos dan bumi yang bergolak kian panas dari tahun ke tahun seyogianya memberikan kesadaran bersama untuk memperbarui masa depan global.
Gelombang panas yang menghantam belahan bumi abad ke-21 ini bukanlah ilusi sains. Mengikuti bahasa Richard Dawkins, The Magic of Reality (2015, 2021), hal itu selaksa fakta yang menyihir dan menguji imajinasi. Planet ini didera pemanasan global. Struktur kosmos dan bumi yang bergolak kian panas dari tahun ke tahun seyogianya memberikan kesadaran bersama untuk memperbarui masa depan global.
Secara referensial tercatat bahwa sejak setengah abad lalu tatanan kosmos yang penuh pesona itu mengalami degradasi ekologis yang mencekam. Seperasaan dengan novelis Maya Banks (2013), teribaratkan no place to run (tiada tempat bersembunyi) dari krisis iklim. Fakta ini menjadi bagian dari kedaruratan yang turut menciptakan kegerahan di planet bumi. Potret ini memantik kesadaran umum bahwa telah terjadi kesalahan mendasar dalam manajemen lingkungan hingga sampai pada tataran merenungkan kembali makna negara.

Hak konstitusional
Peran negara sehubungan dengan suhu bumi yang memuai sekarang ini mutlak diorganisasi. Karena secara konstitusional telah diteguhkan: Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945), maka krisis iklim membutuhkan kaidah hukum yang bervisi ramah lingkungan (environmentally friendly). Perspektif yuridis ditantang mampu memberikan solusi ekologis dalam tata kelola iklim. Agar manusia tetap survive menghadapi krisis iklim ini secara legal sehingga harus dirumuskan norma yuridis ekologisnya.
Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 menormakan hak konstitusional (constitutional rights) atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Menjaga mutu iklim harus dilakukan penyelenggara negara. Negara dibentuk memang untuk menyediakan layanan publik bagi rakyatnya dengan fungsi provider (menjamin oksigen bersih melalui kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca).
Negara juga mengendalikan gaya konsumtif terhadap energi fosil yang tidak ramah lingkungan dalam bingkai fungsi controller (penyedia regulasi dan teknologi pengurangan emisi gas rumah kaca). Pada aktivitas bisnisnya, negara tampil dalam perdagangan karbon, bursa karbon, bank karbon, pungutan pencemaran, pembiayaan lingkungan, dan asuransi lingkungan. Negara berfungsi pula selaku entrepreneur dengan tetap menghadirkan keadilan iklim (environmental justice) bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: Manusia dan Perubahan Iklim
Konsepsi yuridis dikonstruksi agar rakyat mendapatkan hak ekologis sebagai hak asasi manusia (HAM) warga negara. Negara memberikan proteksi kehidupan yang berkualitas kepada rakyat dari gangguan krisis iklim. Dalam lingkup itulah menjadi sangat relevan untuk mendesain bangunan pemerintahan yang bersuluh visi ekologis. Pengelolaan krisis iklim membuka diri dari keterikatan birokratik menjadi biokrasi (bukan birokrasi).
Pencemaran udara yang ramai diberitakan hari-hari ini hanyalah produk dari regulasi yang tidak ditaati, selain sikap pembentuk peraturan perundang-undangan yang kurang sensitif atas isu global krisis iklim. Pengaturan komprehensif tentang energi baru dan terbarukan (EBT) mutlak disegerakan, termasuk pengendalian polusi udara.
Kualitas udara yang memburuk sangat berdampak bagi kesehatan masyarakat maupun ekonomi rakyat. Untuk itulah hukum lingkungan memberikan ruang skematis berupa citizen lawsuit. Terdapat hak gugat warga negara terhadap penyelenggara pemerintahan yang tidak memenuhi HAM ekologis publiknya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2F7692cc4a-e67d-4b3e-9b05-383683981f30_jpg.jpg)
Polusi udara menyelimuti langit Jakarta, Jumat (18/8/2023). Dari pemberitaan Kompas, sejak Maret 2023 hingga Agustus 2023 platform informasi mutu udara milik perusahaan Swiss, IQAir, beberapa kali menempatkan mutu udara harian Jakarta dalam kategori tak sehat.
Kembali ke desa
Ikhtiar mengatasi krisis iklim secara yuridis memang harus diatur. Pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) tidak cukup dikhotbahkan dengan kesadaran moral melainkan harus melalui instrumen negara berupa perangkat hukum.
Organ negara tidak akan dapat memaksa khalayak ramai untuk melakukan pengurangan emisi GRK atau beralih ke energi hijau (green energy) dengan seruan verbal semata, tetapi perlu aturan (aksi legal). Meski demikian, agar komitmen bersama mengatasi krisis iklim ini tidak menjadi abstraksi belaka, dibutuhkan langkah tindak yang lebih praktis.
Belajar pada referensi tua, seperti Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) dan Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389), dapat diketahui bahwa untuk mengatasi bencana iklim itu dapat diawali dari tingkat teritorial pemerintahan terendah, yaitu desa. Pupuh 350 Kakawin Nagara Krtagama berbunyi: ”Apanikang pura len swawisaya kadi singha lawan gahana; Yan rusakang thani milwangakurangupajiwa tikang nagara; Yan taya bhrtya katon waya nika para nusa tekang reweka; Hetu nikan padha raksanapageha kalih phalaning mawuwus”.
Itulah sabda Raja Hayam Wuruk yang inti artinya dengan memperhatikan terjemahan I Ketut Riana (2009) adalah: negara dan desa itu ibarat singa dengan hutan, apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan, apabila tidak ada tentara yang kuat pasti negara mudah diserang musuh, untuk itulah peliharalah keduanya.
Organ negara tidak akan dapat memaksa khalayak ramai untuk melakukan pengurangan emisi GRK atau beralih ke energi hijau ( green energy) dengan seruan verbal semata, tetapi perlu aturan (aksi legal).
Pesan tersebut amat fenomenal dalam peradaban ekologis dalam rangka ikut cawe-cawe mengatasi krisis iklim bahwa implementasi regulasi negara harus berpijak pada kondisi desa. Krisis iklim dapat diatasi dengan membangun desa hijau berkelanjutan. Tindakan praksis yang berdampak penting dalam mengatasi krisis iklim adalah dengan membuat hutan desa dan desa hutan melalui skema Bank Pohon di setiap desa-kelurahan.
Mengapa pohon? Pohon adalah manifestasi asal-muasal kehidupan. Pohon dalam literasi tutur masyarakat perdesaan Jawa adalah taru, tetapi di kampung-kampung pedalaman Jawa populer istilah uwit-witan alias wiwitan yang berarti permulaan. Pohon menjadi penanda episode kehidupan karena akarnya menjadi ”bank air”, batang-cabang-ranting dan daunnya ”penyedia material kebutuhan makhluk hidup”. Pohon menghasilkan O2 (oksigen) dan menyerap CO2 (karbon dioksida). Manusia tidak akan pernah hidup tanpa oksigen dan air yang berakumulasi di pohon dengan produk buah-buahan sebagai bagian esensial lumbung pangan.
Baca juga: Ekologi Kewarganegaraan: Merespons Perubahan Iklim
Ini merupakan sumbangsih untuk tatanan mengatasi krisis iklim global dari titik lokal (think globally, act locally). Siapa pun dan apa pun profesinya dapat menyodorkan prakarsa yang menyediakan skema mengatasi krisis iklim dari kebijakan hukum lingkungan nasional, baik yang bersifat institusi, industri, pribadi, maupun komunitas. Kepedulian terhadap pengurangan emisi GRK adalah cermin khalayak yang tahu sangkan paraning dumadi sehingga sedia memanggul kewajiban kepada bumi (planetary obligation).
Memang berat meninggalkan kebiasaan lama yang berbasis energi fosil untuk ke energi terbarukan. Perubahan itu pada mulanya harus dipaksakan oleh hukum (sebagaimana pakai helm dan sabuk pengaman). Karena itu, ada mutiara hikmah Jalaluddin Rumi (1207-1273): A voice inside the best says: I know you’re tired, but come. This is the way. Bacalah suara yang di dalam iramanya berkata: Aku tahu kau amat lelah, tetapi kemarilah. Inilah jalannya.
Suparto Wijoyo, Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Suparto Wijoyo