Ekologi Kewarganegaraan: Merespons Perubahan Iklim
Perlu pemahaman kolektif terhadap realitas lingkungan saat ini dan urgensi ekologi kewarganegaraan, salah satunya melalui pendidikan. Ini akan menghasilkan warga negara yang peka terhadap isu dan strategi lingkungan.
Oleh
TOBA SASTRAWAN MANIK
·4 menit baca
Perubahan iklim kian tidak menentu. Hal ini sangat terasa khususnya kalangan yang menggantungkan hasil pencarian kepada iklim, yakni kalangan petani dan pekebun. Banyak keluhan, misal cuaca yang hampir tidak diprediksi, musim yang tidak teratur, dan berbagai fenomena bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya.
Tragisnya, keluhan-keluhan ini seakan belum menemui jawaban yang pasti. Bagi pemerintah, pengambil keputusan, perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu yang berakibat kepada kegagalan panen, direspons dengan impor dengan alasan menstabilkan harga. Sedangkan untuk masalah lain, banjir dan tanah longsor, kalau bukan dijadikan sebagai ajang pencitraan politik biasanya hanya direspons dengan alasan normatif; jangan buang sampah sembarangan, penebangan hutan, dan lain-lain.
Sejauh ini masalah perubahan iklim belum disentuh secara komprehensif dan holistik sehingga tidak ada kebijakan yang secara spesifik untuk merespons hal tersebut. Hal yang hampir pasti ialah perubahan iklim merupakan perubahan permasalahan krusial secara global.
Sebenarnya, beberapa pemimpin dunia dalam berbagai forum resmi menyerukan pengurangan emisi karbon, efek rumah kaca, dan polusi udara yang dihasilkan proses industri yang semakin menggeliat. Penggunaan energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan mulai digalakkan. Di satu sisi hal ini harus diapresiasi.
Namun, hal tersebut masih belum menyentuh titik persoalan, yakni individu atau masyarakat atau komunitas secara umum. Oleh karena itu, pemerintah atau siapa pun perlu untuk melirik politik kebijakan yang lebih substansif dan meluas, yakni penguatan ekologi kewarganegaraan di masyarakat.
Ekologi kewarganegaraan
Banyak perdebatan mengenai konsep ekologi kewarganegaraan, mulai dari sifat, wujud, dan implementasinya masih menimbulkan perdebatan. Namun, hal yang hampir pasti ialah gagasan ekologi kewarganegaraan adalah sebagai respons terhadap perubahan iklim sekaligus respons terhadap lambannya peran negara dalam merespons perubahan iklim tersebut bahkan terkesan skeptis bahwa negara akan mampu membawa perubahan lingkungan.
Dobson dan Bell (2006) dalam Sherilyn MacGregor (2014) mengatakan bahwa kebijakan pemerintah terhadap perubahan lingkungan hanya berkutat kepada ”carrots and sticks” (subsidi dan pajak) sehingga dampaknya sangat lamban dan cenderung konvensional. Kita tidak bisa menggantungkan harapan begitu saja terhadap pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan gerakan yang lebih substansif dan tidak hanya menunggu pemerintah. Mengutip Greta Thunberg, ”We can no longer let the people in power decide what hope is. Hope is not passive. Hope is not blabla. Hope is telling the truth. Hope is action.”
Ekologi kewarganegaraan ini merupakan alternatif terhadap eksistensi lingkungan saat ini yang cenderung bergantung pada proses politik dan kemauan pemerintah.
Bagaimana ekologi kewarganegaraan ini dimplementasikan? Ikhwalnya, ekologi kewarganegaraan ini merupakan alternatif terhadap eksistensi lingkungan saat ini yang cenderung bergantung kepada proses politik dan kemauan pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman kolektif terhadap realitas lingkungan saat ini dan urgensi ekologi kewarganegaraan.
Ekologi kewarganegaraan di satu sisi bisa dimaknai sebagai politik kewarganegaraan oleh negara. Ekologi kewarganegaraan dalam konteks kenegaraan dimaknai sebagai kehadiran negara untuk mensimenasikan dan menanamkan nilai-nilai dan etika lingkungan terhadap warga negara sehingga warga negara yang ekologis tercipta. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan-kebijakan strategis negara untuk mewujudukan hal tersebut.
Lebih dari itu, dalam perspektif ekologi kewarganegaraan, ini dipandang sebagai kewajiban negara untuk menjamin hak warga negara atas kehidupan dan lingkungan yang aman, nyaman, dan hijau. Selain dari kebijakan yang bersifat teknis dan prosedural, negara bisa menerapkan pendekatan ekologi kewarganegaraan melalui proses pendidikan.
Negara bisa melaksanakan ini melalui infiltrasi nilai dan prinsip lingkungan hijau ke dalam kurikulum pendidikan. Secara sederhana hal ini bisa dilakukan melalui penguatan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Konsekuensinya, negara tidak bisa mengukur keberhasilan pendidikan atau alumni melalui tingkat penerimaan di perusahaan-perusahaan besar.
Di sisi lain, ekologi kewarganegaraan menekankan bahwa perubahan perilaku sosial warga negara merupakan tujuan utama (Sherilyn MacGregor, 2014). Oleh karena itu, dalam konsep ini, komunitas sosial, universitas, dan sekolah-sekolah merupakan agen terbaik untuk mengimplementasikan pendekatan ekologi kewarganegaraan (Dobson, 2012).
Afirmasinya, ekologi kewarganegaraan menekankan bahwa tanggung jawab terhadap eksistensi dan kontinuitas lingkungan di tangan dunia dunia pendidikan. Konsekuensinya, lembaga-lembaga pendidikan juga bertanggung jawab dalam hal ini.
Ekologi kewarganegaraan sebagai alternatif harus bisa diterjemahkan lingkungan pendidikan. Oleh karena itu, lulusan pendidikan tinggi tidak hanya perlu dibekali seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis tetapi juga kesadaran akan lingkungan.
Hal ini akan menghasilkan warga negara yang peka terhadap isu dan strategi berkaitan lingkungan sehingga menjadikan aspek lingkungan sebagai salah satu pertimbangan dalam masyarakat. Misal, membangun rumah yang sesuai dengan kontur tanah seperti rumah yang tahan gempa ketimbang membangun perumahan berbentuk gedung dan bertingkat adalah salah satu bentuk perubahan budaya masyarakat yang diharapkan melalui ekologi kewarganegaraan.
Ekologi kewarganegaraan lebih ditekankan sebagai proses pendidikan ketimbang sebagai politik kewarganegaraan oleh negara. Sekalipun keduanya bisa berjalan beriringan. Dari perspektif ini, dunia pendidikan kita tidak bisa begitu saja membatasi dunia akademik sebatas proses pendidikan dan persiapan memasuki dunia kerja. Bagaimana pendidikan kita merespons perubahan iklim saat ini? Dunia pendidikan ikhwalnya membantu permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Toba Sastrawan Manik, Pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan