78: Akhirnya Diakui Mantan Penjajah
Belanda bukan satu-satunya negara Eropa yang sedang ditagih zaman atas sejarah kelam sebagai penjajah.
Saya tak pernah lupa reaksi teman kuliah di benua seberang, seorang mahasiswa Belanda, saat topik kemerdekaan Indonesia muncul di percakapan. Intinya, bukan hanya ia paham orang Indonesia menganggap kemerdekaan kita pada Agustus 1945, ia disarankan guru sejarahnya untuk tidak mendebat kita.
Bingung, saya tanya kapan Indonesia merdeka dalam versi sejarah Belanda. Mungkin karena saya bertanya sungguh-sungguh tanpa misuh-misuh, ia akhirnya memberi tahu. Terkejut saya saat diterangkan bahwa menurut Belanda kita baru merdeka 27 Desember 1949 setelah Konferensi Meja Bundar (KMB).
Alih-alih tersinggung, saya malah penasaran, apa yang berkecamuk di kepala para duta besar Belanda saat menghadiri tujuh belasan di Istana Merdeka sekian dekade ini, di tanggal yang tidak diakui negaranya? Dan bukankah penjajah terakhir Indonesia itu Jepang, jadi mengapa Belanda peduli betul pada titik sebenarnya Indonesia memproklamasikan kemerdekaan? Pertanyaan kedua terjawab setelah saya lebih banyak membaca buku sejarah. Pertanyaan pertama tak terjawab sampai sekarang.
Baca juga : Serba Maya… Semarak Kejahatan
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menorehkan sejarah untuk Belanda pada Juni lalu, saat sebagai kepala pemerintahan, akhirnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan Indonesia. Saya sebut sejarah untuk Belanda, karena bagi Indonesia perdebatan sudah lama tamat. Diakui Belanda atau tidak, tujuh belasan meriah dirayakan di Indonesia dan di kedutaan RI di seluruh dunia, termasuk di Belanda. ”Kita sih udah move on,” kalau dibahasakan anak-anak sekarang.
Pascapernyataan PM Rutte, kontroversi terjadi di Belanda, terutama dari faksi konservatif yang masih menganggap penjajahan Belanda yang dimotori perusahaan dagang VOC sebagai sejarah gemilang kedigdayaan bangsanya. Sebagian lain mungkin resah karena ternyata, minimal dari sebatas pembacaan saya, pengakuan ini bukannya tidak berpotensi menghasilkan implikasi tersendiri.
Pengakuan ini berarti agresi I dan II yang dilakukan Belanda dengan membonceng Sekutu adalah aksi perang terhadap negara berdaulat, tak beda dengan Rusia pada Ukraina kini. Pemerintah Belanda sejauh ini sudah mengakui adanya kekerasan ekstrem dalam perang walau bukan kejahatan. Kejahatan perang internasional memiliki pengadilan tersendiri yang, ironisnya, berlokasi di Belanda.
Potensi implikasi lain, kompensasi terhadap korban perang di Indonesia dan, sebaliknya, remunerasi yang sudah diberikan kepada veteran Belanda yang kini berpotensi tergolong penjahat perang. Beberapa keluarga Indonesia telah sukses menuntut ganti rugi dari Pemerintah Belanda. Namun, ternyata dilakukan dalam konteks masih warga Hindia Belanda (karena kemerdekaannya pada Desember 1949). Dengan diakuinya Agustus 1945, hitungan kompensasinya mungkin berbeda.
Baca juga : Ya Memang Anak Jakarta
Paling seru tampaknya adalah potensi penghitungan ulang, dan mungkin pengembalian, atas sekian miliar gulden yang Indonesia bayar ke Belanda setelah KMB untuk utang Hindia Belanda dan sekian miliar dollar AS kemudian untuk penasionalisasian perusahaan Belanda pascamerdeka. Dengan kemerdekaan sekarang diakui terjadi pada Agustus 1945, akan berubahkah landasan penghitungan dan arah pembayaran?
Saya tak punya latar belakang hukum internasional untuk menjawabnya. Akan tetapi, apabila ternyata secara hukum harus terjadi pengembalian ke Indonesia, sebagai mantan mahasiswa ekonomi saya bersiul-siul menghitung net present value dari nilai nominal yang mungkin harus Belanda bayarkan.
Mungkin cukup untuk mendirikan VOC baru. Eh, maaf.
Belanda bukan satu-satunya negara Eropa yang sedang ditagih zaman atas sejarah kelam sebagai penjajah. Inggris, yang punya sekian banyak bekas koloni sampai bisa membentuk Persemakmuran, dan sekian koloninya masih mengakui kepala monarki Inggris sebagai kepala negara, kian dihadapkan pada tuntutan permintaan maaf, pengembalian kekayaan yang dijarah, dan bahkan keputusan hukum pemisahan.
Pada akhir 2021, Barbados menjadi negara Persemakmuran kesekian belas yang mencopot kepala monarki Inggris sebagai kepala negara dan menggantinya dengan presiden yang dipilih sendiri dalam bentuk negara republik. Charles, yang waktu itu masih berstatus putra mahkota, datang ke Barbados untuk menghadiri upacara pelantikan presiden, yang secara efektif berarti ”penurunan” ibundanya sebagai kepala negara.
Indonesia tidak punya keterikatan serumit itu dengan Belanda. Betul jejak mantan penjajah masih ada dalam hukum, segenap kata seperti kopling dan persneling, dan semeja kue kering hari raya, tetapi kehidupan modern Indonesia dan Belanda tak terasa sering bersilang.
Jika banyak bekas koloni Inggris seperti Singapura masih menjadikan Inggris sebagai bahasa pengantar, Indonesia tidak. Di luar romantisisme pribadi, rakyat Indonesia baru butuh bahasa Belanda apabila ingin mendalami hukum, sejarah, atau disiplin lain yang memerlukan penelitian atas arsip-arsip kolonial.
Baca juga : Menandai Zaman, dari Kartun sampai Kriya
Pusat kebudayaan Belanda di Jakarta adalah salah satu oase budaya, dan saya bersyukur sering menikmati sajiannya, tetapi begitu pula dengan pusat kebudayaan Inggris, Perancis, Italia, Jepang, atau Jerman. Jadi, dalam keseharian rakyat awam Indonesia, pengakuan Belanda yang akhirnya datang ini tidak mengubah tatanan kehidupan.
Satu hal yang mungkin akan lebih bisa ”dinikmati” rakyat Indonesia ialah jika pascapengakuan ini, Belanda mulai mengembalikan artefak Indonesia yang tersimpan di berbagai museumnya. Museum-museum Inggris, misalnya, sedang ditekan luar biasa untuk mengembalikan artefak bekas koloninya. Secara prinsip, saya tidak setuju penjarahan dalam konteks apa pun. Namun, harus diakui pengembalian artefak akan menyajikan tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk merawatnya bagi publik.
Pembobolan museum kerap terjadi di Indonesia, dan beberapa tahun lalu malah terkait ke nama-nama yang sangat berkuasa. Semoga Belanda berjiwa besar untuk mengembalikan artefak Indonesia, dan semoga Indonesia berdewasa untuk merawat benda sejarah jika dikembalikan.
Dirgahayu Indonesia. Ulang tahun pertama yang diakui mantan penjajah, jauh setelah kita berderap melangkah. Bagaimanapun tetap catatan baru yang berharga, saat sang mantan akhirnya pun mampu move on mengikuti jalannya sejarah.
Lynda Ibrahim
Konsultan Bisnis dan Penulis