Sedemikian dikuasai mimpi masa depan, jadi lupa melihat hari ini bahwa bonus demografi sejatinya telah dibayar di muka.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Sebegitu cepat perubahan terjadi. Sekitar 20 tahun lalu daerah Pancawati di Kecamatan Caringin, Bogor, masih laksana hutan. Saya cukup familiar karena tinggal tak jauh dari kawasan ini dan ketika itu sering diajak tetangga untuk berburu babi hutan di situ.
Belakangan Pancawati berkembang pesat sebagai resor, terutama untuk kegiatan outbound. Muncul bangunan-bangunan berupa penginapan/hotel dengan ratusan kamar, aula-aula besar, lapangan tempat bermain, dan lain-lain untuk mengakomodasi kegiatan luar ruang yang kian marak.
Bus-bus besar lalu lalang mengangkut peserta outbound dari berbagai kota. Pancawati menjadi ”candradimuka” untuk melatih sumber daya manusia dengan agenda-agenda populer, seperti team work, leadership, problem solving, public speaking, dan entah apa lagi yang saya kurang paham.
Selama 10 hari pada akhir Juli sampai awal Agustus saya ikut serta kegiatan retreat yang diselenggarakan oleh Persatuan Gerak Badan Bangau Putih di Pancawati. Peserta lebih dari 100 orang, separuhnya berasal dari sejumlah negara, yaitu Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Rusia, Amerika, Kanada, dan lain-lain.
Pada waktu senggang sering saya duduk-duduk di teras vila yang saya huni bersama teman satu vila, James Mahsi dan Richard Wendt. Di depan kami menghampar lapangan tempat para peserta outbound dari berbagai unsur silih berganti melakukan kegiatan selama hari-hari kami di situ.
Kami melihat anak-anak dari sebuah sekolah di Jakarta melakukan permainan-permainan di lapangan. Semua instruksi dalam bahasa Inggris. Begitu pun anak-anak itu—semuanya anak Indonesia—berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
”Apakah ketika kembali ke rumah mereka akan bercakap-cakap dalam bahasa ibu (mother tounge),” tanya James kepada saya.
Cukup lama saya terdiam karena tidak menduga mendapat pertanyaan yang tidak saya duga. Jadi ingat beberapa keluarga yang punya anak-anak seusia yang kami lihat di lapangan itu yang sehari-hari berbahasa Inggris. Kepada James, saya ceritakan apa yang saya ketahui.
Tak ketinggalan saya ceritakan, saya punya teman di Bali, keluarga bangsawan terkemuka, kosmopolit, tetapi memilih tidak menyekolahkan anaknya di sekolah internasional, tetapi di sekolah dasar negeri supaya bahasa Indonesia anaknya terpelihara.
”Di rumah, kalau dia bertanya kepada saya dalam bahasa Inggris, tidak saya jawab,” begitu cerita sang ibu, wanita cantik, cerdas, bermartabat.
Saya mengaguminya sejak lama.
”Kalau tidak demikian, nanti anak-anak malah tidak lagi bisa berbahasa Indonesia, ya...,” Richard menyahut percakapan saya dengan James.
Berbeda dibandingkan dengan James yang berasal dari Amerika dan hanya berbahasa Inggris, Richard, asal Australia dan cukup lama tinggal di Bali, sangat fasih berbahasa Indonesia.
”Banyak keluarga, ibu-ibu, bangga ketika tuturannya dalam bahasa Indonesia berlepotan bahasa asing, Di mata saya, mereka tampak sebagai idiot,” ucap saya untuk mengapresiasi struktur bahasa Indonesia Richard yang rapi. Bagi saya, krida tubuh adalah juga krida bahasa.
Pada kesempatan yang lain muncul kelompok berbeda. Kali itu rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu, jumlahnya ratusan. Mereka melakukan kegiatan semenjak pagi buta. Berisik luar biasa. Lagu dangdut disetel keras-keras mengiringi mereka senam.
Yang tidak saya lupakan—mudah-mudahan dilupakan oleh semua teman saya dari berbagai negara karena bikin malu—mereka meninggalkan sampah secara luar biasa. Seluruh lapangan rata oleh botol-botol dan gelas-gelas plastik air kemasan. Tidak hanya di lapangan, mereka membuang segala sampah sampai ke got-got.
Indonesia membanggakan diri bahwa tahun-tahun mendatang negeri ini menyongsong apa yang diistilahkan sebagai ”bonus demografi” berupa ledakan jumlah penduduk usia produktif. Para pemimpin, tak ketinggalan politisi yang mabuk ilusi Industri 5.0, berfantasi negeri ini akan menjadi negara termaju di planet Bumi.
Sedemikian dikuasai mimpi masa depan, jadi lupa melihat hari ini bahwa bonus demografi sejatinya telah dibayar di muka.
Wujudnya, antara lain, berupa manusia-manusia peserta outbound yang dengan senam dan dangdutan yakin bakal punya leadership.
Oh, ya, yang membedakan anak-anak sekolah dengan bapak-bapak dan ibu-ibu dari instansi yang saya tak tega menyebutkan namanya itu adalah anak-anak tersebut tidak buang sampah sembarangan. Mereka rapi, sopan, beradab, mungkin juga takut dosa.
Kalau soal kecakapan berbahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, kepada Richard saya bilang: biar nanti mereka kursus sama kamu di Australia.