Spirit novel adalah kompleksitas. Setiap novel sejatinya hendak berucap kepada pembacanya: persoalan tidaklah sesederhana kalian bayangkan.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Cukup lama saya menimbang-nimbang untuk membikin tulisan tentang Milan Kundera yang berpulang beberapa waktu lalu dalam usia 94 tahun (Brno, 1 April 1929-Paris, 11 Juli 2023). Dia agak skeptis terhadap wartawan. ”Seorang pengarang, sekali dikutip oleh wartawan bakal tidak lagi menjadi tuan atas kata-katanya,” begitu ia pernah berujar.
Saya harus ekstra hati-hati. Tidak ingin almarhum kecewa untuk kesekian kalinya terhadap wartawan dan hadir dalam mimpi hendak mencekik saya. Sebagai pengagum yang memperlakukan beberapa bukunya sebagai ”kitab suci”, saya memutuskan memilih satu faset kecil, melihat yang bersangkutan sebagai novelis. Sangat kecil, bak debu kalau mengingat Kundera adalah raksasa sebesar Benua Eropa.
Dia selalu mengingat ucapan Louis Aragon yang memberi pengantar pada novel pertamanya, The Joke, terbit 1967. Pada musim gugur 1968, ia berkesempatan berbincang-bincang panjang lebar dengan Aragon di Paris. Kata Aragon: ”Novel sangat diperlukan manusia sebagaimana roti.”
Khusus terhadap Kundera pada kunjungannya kali itu Aragon berpesan agar ia selalu membela entitas tersebut. “That art,” Aragon menegaskan. Pesan Aragon itu kemudian dipilih oleh Kundera menjadi judul buku tatkala ia menerbitkan kumpulan esai: The Art of the Novel (1986).
The Art of the Novel dibuka dengan esai yang sedari bagian awal sudah sedemikian menggedor (dulu saya membaca bagian itu berulang-ulang), bahwa di tengah perkembangan modern Eropa manusia kemudian terlupakan. Kundera mengutip kata-kata Edmund Husserl: “the forgetting of being”.
Ikhwalnya, begitu ia menjabarkan pemikiran Husserl, dari era Galileo dan Descartes, Eropa telah mengorting dunia sebagai kehidupan nyata menjadi semata-mata obyek investigasi teknis dan matematis. Lama-lama, dengan perkembangan sains dengan berbagai disiplin ilmunya, kian sulit manusia untuk mampu melihat dunia sebagai keutuhan dan sebagaimana adanya diri dunia itu sendiri.
Hanya saja setelah bagian awal yang mencekam tadi, dia masuk ke bagian yang membuat saya selain terpikat juga menemukan kembali optimisme: tidak bijaksana menyalahkan kedua tokoh tadi, sebab ada kemungkinan lain untuk melihat dunia.
Apa kemungkinan lain yang ditawarkan Kundera itu?
”Saya bukanlah filosof, saya novelis,” katanya.
Novel, baginya melakukan yang kurang dilakukan oleh sains dan teknologi, yakni menginvestigasi manusia. Di sini Kundera menguraikan bagaimana sejatinya modernisme Eropa (di mana seperti seluruh dunia kita juga menjadi bagian dari perkembangan tersebut) juga dibentuk oleh tradisi penulisan novel. Novel baginya menginvestigasi apa yang terlupakan dan hampir kesingsal tadi, yakni manusia.
Dengan cara berikut logikanya sendiri, novel mencoba menyibak dimensi manusia satu persatu: Cervantes (ingat Don Quixote?) dengan hakikat petualangan, Tolstoy yang fokus pada tidak rasionalnya sikap manusia dan keputusan-keputusannya, Thomas Mann dengan mengetengahkan mitologi dan masa lalu yang menentukan kekinian kita, dan seterusnya.
Novel senantiasa setia menemani manusia sejak bermulanya era modern. Ia yang menyelamatkan manusia dari “the forgetting of being”, secara permanen menerangi manusia dalam dunia kehidupan, the world of life.
Spirit novel adalah kompleksitas. Setiap novel sejatinya hendak berucap kepada pembacanya: persoalan tidaklah sesederhana kalian bayangkan.
Kira-kira dari ikhwal tersebut Kundera menjadi skeptis terhadap wartawan seperti saya sebut pada awal tulisan. Menurut Kundera, novel kian hari kian jatuh ke tangan media massa. Terjadi proses, yang seturut semangat media massa: simplifikasi, bukan kompleksitas.
Dulu, beberapa waktu setelah pensiun menjadi wartawan Kompas,saya menghadiahi diri sendiri berpiknik ke Ceko, tempat asal Milan Kundera. Di pusat kota Praha pada musim gugur, siang hari saya menikmati bir hangat yang hanya terdapat di Ceko sembari mengamati arsitektur di sekitar situ yang sangat menakjubkan.
Terlintas di benak ketika di kawasan Bohemia yang cantik ini tiba-tiba tank-tank komunis Rusia bergemuruh masuk kota dan mulai waktu itu dan seterusnya Kundera menyingkir ke Paris sampai akhir hayat.
Teringat Tomas, Tereza, dan terutama Sabina, tokoh-tokoh dalam novel Kundera paling terkenal: The Unbearable Lightness of Being.
Waktu itu seketika saya merasa beruntung telah pensiun. Mudah-mudahan tidak dicurigai Kundera sebagai tukang menyederhanakan persoalan.
Saya mulai melihat dunia tidak sesederhana seperti biasa saya lihat.***