Faksionalisasi sikap dan melemahnya pola partisipasi dalam mekanisme pengambilan keputusan di internal partai membuat Golkar kehilangan kemampuan memanaskan mesin politiknya menjelang 2024.
Oleh
UMBU TW PARIANGU
·3 menit baca
Partai Golkar dibayang-bayangi potensi konflik. Tiga ormas pendiri Partai Golkar: Kosgoro 1957, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), dan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) yang diwakili Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SOKSI Lawrence TP Siburian, dalam konferensi persnya di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (12/7/2023), meminta Airlangga Hartarto mundur dari posisi Ketua Umum Partai Golkar. Airlangga dinilai tak mampu meningkatkan elektabilitas partai melampaui 14 persen serta lamban menentukan sikap partai terkait Pilpres 2024.
Namun, Airlangga menegaskan, sesuai hasil rapat kerja nasional, posisi capres dan cawapres merupakan hak ketua umum. Tensi tinggi makin terasa setelah Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Luhut Binsar Pandjaitan memandang Partai Golkar rajin menjajakan dukungan ke banyak elite partai terkait kursi capres, padahal Partai Golkar itu partai parlemen dengan suara terbanyak kedua Pemilu 2019.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Harus diakui, Partai Golkar merupakan partai ”seksi”, bertabur kader mumpuni, memiliki jaringan mesin politik yang kuat hingga ke akar rumput seiring kematangan usianya. Tak heran jika di pilkada serentak 2020, misalnya, Golkar menjadi pemenang dengan memenangkan 165 kepala daerah (61 persen) di 270 daerah. Modal tersebut membawa Partai Golkar menjadi aset demokrasi suksesif kepemimpinan nasional lewat posisinya sebagai partai nasionalis dengan pengaruh negosiasi politiknya yang besar di setiap pemilu.
Sayangnya modal positif tersebut kerap menjadikan Partai Golkar kerap dibayang-bayangi konflik. Belakangan potensi konflik terbidani oleh minimnya perolehan suara di pemilu nasional pascareformasi. Pada Pemilu 1999 Partai Golkar meraih 22,4 persen suara (120 kursi), kemudian di 2004 meraih 21,6 persen suara (127 kursi). Pada Pemilu 2009 hanya meraih 14,4 persen suara (106 kursi), lalu di Pemilu 2014 meraup 14,7 persen suara (91 kursi), di Pemilu 2019 perolehan suara Partai Golkar lagi-lagi menurun dengan raihan 12,3 persen suara (85 kursi).
Krisis kompetensi etis
Melemahnya perolehan suara Partai Golkar memicu kegerahan para kader di level bawah. Pemilu 2024 dikhawatirkan akan menjadi layar tancap kegagalan Partai Golkar secara trifokal: 1) gagal mengonsolidasi diri jelang pemilu, 2) gagal mencalonkan ketua umum sebagai capres/cawapres, 3) gagal menang pemilu atau minimal menaikkan perolehan suara partai.
Faksionalisasi sikap dan melemahnya pola partisipasi dalam mekanisme pengambilan keputusan di internal Partai Golkar membuat partai berlambang pohon beringin ini kehilangan kemampuan memanaskan mesin politiknya jelang 2024 untuk mengonsolidasikan seluruh jaringan infrastruktur politiknya hingga ke level bawah.
Kesulitan membangun integritas dan citra Partai Golkar di tengah kebutuhan elektoral kontestasi politik tentu tidak bisa dilepaskan dari defisit kepemimpinan populer yang diidapnya.
Hal tersebut ditambah lagi oleh krisis kompetensi etis di level struktur elite Partai Golkar yang memicu pengikisan kepercayaan publik terhadapnya. Deretan kasus korupsi yang menimpa para petingginya selama ini kian melengkapi jalan terjal memproduksi kader prominen di pemilu, selain mengandalkan ”efek ekor jas” tokoh eksternal.
Politisi Partai Golkar, Agun Gunanjar Sudarsa, dalam promosi disertasinya, ”Tata Kelola Fungsi Representasi dan Rekrutmen Partai Golkar dalam Mewujudkan Good Governance Era Reformasi” (6/2/2023), mengakui partainya menghadapi krisis kaderisasi dan rekrutmen yang terlihat dari menurunnya jumlah raihan kursi di DPR.
Kurangnya elektabilitas Airlangga di bursa capres tak bisa dihindarkan dari faktor tersebut. Prestasi Airlangga sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam pemulihan ekonomi nasional dan penanganan Covid-19 yang gencar dikampanyekan oleh kader Partai Golkar dari pusat-daerah selama ini tampaknya kurang cadas serta ampuh membasuh citra negatif akibat kasus yang menimpa elite-elite sebelumnya termasuk saat ini. Elektabilitas Airlangga sebagai bakal capres menurut survei LSI April 2023 pun hanya 0,7 persen.
Kesulitan membangun integritas dan citra Partai Golkar di tengah kebutuhan elektoral kontestasi politik tentu tidak bisa dilepaskan dari defisit kepemimpinan populer yang diidapnya. Ini semakin kompleks manakala elite Partai Golkar mulai mengesampingkan kerja-kerja wajib populis-elektoral: merawat dan membangun komunikasi intensif dengan kader dan konstituen di bawahnya, sehingga alih-alih memutus tren faksionalisasi, yang terjadi sebaliknya, seperti terlihat pada drama desakan musyawarah nasional luar biasa saat ini.
Pelajaran untuk partai
Fenomena Partai Golkar saat ini mengajarkan betapa pentingnya soliditas partai ditopang kompetensi etis sebagai fondasional partai. Partai adalah elemen demokrasi yang memelopori pembangunan integritas, nilai keadilan dan kemaslahatan publik rakyat dan institusi demokrasi lainnya. Karena itu, partai memiliki obligasi moral dan ideologis untuk mentransformasi dirinya menjadi kekuatan determinatif untuk mengedukasi nilai-nilai demokrasi dan kepublikan agar ruang publik menjadi lahan persemaian budaya sipil (civic culture) yang disuburi nilai integritas, antikorup, kritisisme, partisipatif, dan akuntabel.
Program Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang diinisiasi KPK pada 2013 merupakan salah satu inovasi untuk memastikan atmosfer demokrasi yang bebas dari korupsi menjadi agenda serius partai dimulai dari antara lain kaderisasi, rekrutmen dan pendanaan parpol yang nirkonflik kepentingan. Apalagi sebagai sahibulbait penerapan pembangunan politik yang beretika dan berintegritas, seluruh kader, fungsionaris dan elite sentrum partai terikat dalam komitmen penuh untuk membumikan antikorupsi sebagai aksi konkret.
Persoalannya pelembagaan SIPP ke dalam partai selama ini belum efektif. Hal tersebut antara lain karena institusionalisasi nilai antikorupsi partai tereduksi oleh cengkeraman kuatnya politik transaksional eksternal yang kian meluas dan sistemik dalam wujud oligarkis. Partai masih enggan menerapkan transparansi pendanaan lewat sistem digitalisasi yang mengerem praktik fraud finansial partai (Perdana dan Hanifuddin, 2023).
Akibatnya partai, termasuk Partai Golkar, amat kesulitan membangun profil antikorupsi dalam dirinya. Proses pendanaan politik berbasis pertukaran kepentingan yang kerap memanipulasi sistem kaderisasi dan rekrutmen politik membuat loyalitas keanggotaan di internal partai cenderung berbasis quid pro quo (sesuatu untuk sesuatu) yang rentan korup dan kian mereduksi kepercayaan publik terhadap (elite) partai.
Selain itu, meminjam Vroom-Yetton (1973) dibutuhkan sebuah kepemimpinan fleksibel, pemimpin yang mendukung (supportive leader), mampu mengubah gaya kepemimpinan agar selalu relevan dengan situasi. Dari pola kepemimpinan yang pragmatis, sentralistik, tertutup menjadi kepemimpinan yang sadar nilai, akomodatif (membuka diri terhadap ide-ide pembaruan), inklusif (membuka komunikasi politik dengan semua kader, faksi, dan konstituen). Tanpa itu, partai akan terus terjebak dalam hukum besi pragmatisme, tak ubahnya alat kekuasaan (korup) semata.