Jalan Berliku Upaya Damai
Pesatnya dinamika hubungan internasional, leverage untuk suatu upaya damai juga berubah, termasuk bagi Indonesia. Posisi dan peran internasional Indonesia tidak otomatis dapat dipakai sebagai "leverage" juru damail.
Kontroversi usulan damai Menteri Pertahanan Prabowo Subianto atas penyelesaian perang Rusia-Ukraina, yang disampaikan di Forum Shangri-La Dialogue di Singapura awal Juni masih meninggalkan perdebatan dalam diskursus akademik ataupun politik.
Sekalipun diselenggarakan oleh think tank independen, International Institute for Strategic Studies forum ini diterima sebagai pertemuan puncak (summit) keamanan Asia karena dihadiri para menteri pertahanan dan kepala staf angkatan bersenjata.
Dalam forum resmi (track one), yang dihadiri pejabat resmi, Prabowo menyampaikan pandangan tak resmi (pribadi), yang tak dikonsultasikan sebelumnya sehingga dianggap sebagai posisi resmi Indonesia.
Kontan reaksi keras bermunculan, terlebih dari berbagai negara—khususnya Ukraina, AS, dan sekutunya—yang menuding usulan itu semata-mata representasi sikap Rusia. Pangkal masalahnya, pada butir kelima Prabowo mengusulkan ”PBB harus mengorganisasikan dan melaksanakan referendum di wilayah sengketa untuk memastikan secara obyektif keinginan mayoritas penduduk” (CNBC, 7/6/2023), yang bagi Indonesia sendiri sangat sensitif.
Referendum oleh pemerintah demokratis biasanya dilakukan untuk menghindari sinisme terhadap institusi.
Referendum
Secara umum referendum adalah pemungutan suara langsung oleh pemilih atau penentuan pendapat rakyat atas sebuah usulan, aturan perundang- undangan, atau masalah politik.
JM Vincent dalam bukunya State and Federal Government in Switzerland (Johns Hopkins University Press, 2009) mengungkapkan, penggunaannya berasal dari Provinsi (Kanton) Graubünden di Swiss sejak abad ke-16. Dalam konteks konflik Rusia-Ukraina, referendum akan menentukan kepemilikan wilayah yang disengketakan, yaitu Krimea dan Donbas.
Referendum telah menjadi bagian penting dari kehidupan politik di negara demokratis ataupun non-demokratis. Setelah Perang Dunia I, terutama setelah pembentukan Liga Bangsa-Bangsa, referendum digunakan untuk menyelesaikan berbagai sengketa teritorial.
Selama proses dekolonisasi 1950-1960-an, referendum digunakan untuk melegitimasi kemerdekaan negara-negara Afrika bekas jajahan Perancis. Setelah runtuhnya Uni Soviet, fenomena paralel telah dialami di Eropa Timur; dan Eropa Barat referendum menjadi lebih sering karena proses integrasi dan disintegrasi.
Menurut Maija Talvikki Setala dalam ”Theories of Referendum and The Analysis of Agenda-Setting” (tesis LSE&PS, 1997), sejarah referendum memiliki ciri dualisme tertentu.
Ada praktik langsung yang berhasil dalam demokrasi yang stabil, misalnya di Swiss, Denmark, dan Irlandia; tetapi banyak contoh penyalahgunaan (manipulatif) referendum oleh penguasa otoriter.
Referendum oleh pemerintah demokratis biasanya dilakukan untuk menghindari sinisme terhadap institusi. Bahwa referendum dinilai mewakili demokrasi mayoritas dan merupakan ancaman terhadap minoritas, sering digunakan untuk menentang praktik ini.
Di sisi lain, referendum telah dilihat sebagai cara terbaik meningkatkan partisipasi rakyat dan musyawarah soal isu-isu publik, sebagai langkah menuju demokratisasi masyarakat.
Usulan Prabowo untuk mengadakan referendum di wilayah Russophone, di mana secara demografis sekitar 60 persen penduduknya adalah etnis Rusia, sangat wajar ditentang Ukraina. Artinya, apabila rakyat memilih merdeka atau bergabung dengan Rusia, Ukraina akan kehilangan 10-15 persen wilayahnya, yang dikenal sebagai produsen gandum utama dunia.
Seperti diketahui, Ukraina beserta sejumlah negara pecahan Soviet (juga Turkmenistan) mendapatkan kemerdekaannya melalui referendum (1991).
Usulan Prabowo untuk mengadakan referendum di wilayah Russophone, di mana secara demografis sekitar 60 persen penduduknya adalah etnis Rusia, sangat wajar ditentang Ukraina.
Apabila menyangkut kedaulatan dan integritas teritorial, Indonesia sangat rentan terhadap isu referendum karena pengalaman buruk ”dikerjai” PBB dan negara Barat dalam kasus Timor Timur (1999). Indonesia juga nyaris ”kehilangan” Aceh kalau saja menuruti desakan referendum di Aceh sebelum akhirnya mengubah strategi dengan menempuh jalur negosiasi yang menghasilkan Perjanjian Helsinki (2005).
Saat ini pun Indonesia menghadapi tekanan internasional untuk referendum di Papua meskipun kebijakan pembangunan yang masif semakin menyudutkan kelompok separatis pro-kemerdekaan. Makanya usulan referendum di Ukraina bukan hal aneh asalkan tak diajukan (pejabat) Indonesia di forum resmi.
”Leverage”
Dalam bahasa Betawi dikenal frasa ”Kalau cuma asal njeplak, semua orang juga bisa”.
Usulan damai bukanlah sesuatu yang iseng-iseng atau apalagi ujug-ujug karena harus mempertimbangkan banyak aspek. Untuk dapat dipertimbangkan, usulan damai harus disasarkan pada titik temu (common denominator) diimbangi dengan syarat-syarat yang obyektif, tanggung jawab, dan kesiapan untuk menanggung risikonya apabila usulan itu berbalik memberatkan atau membahayakan (backfire) atau menjadi bumerang.
Di lain pihak, untuk menjadi mediator, apabila usulan itu diterima pihak-pihak yang bersengketa, pengusul harus memiliki leverage.
Dalam negosiasi, leverage adalah kekuatan untuk memengaruhi pihak lain agar bergerak lebih dekat ke posisi yang dikehendaki. Leverage didasarkan pada kemampuan memberikan manfaat atau membebankan ”ongkos” kepada pihak lain. Dalam bukunya Bargaining for Advantage: Negotiation Strategies for Reasonable People (2006), G Richard Shell menggambarkan leverage sebagai ”penggerak utama”, yang menunjukkan peran pentingnya dalam negosiasi dan situasi tawar-menawar.
Pihak dengan leverage yang kuat dapat mengatasi keterampilan negosiasi yang lemah, sedangkan mereka dengan leverage yang buruk memiliki kemungkinan kecil untuk berhasil, sekalipun memiliki keterampilan negosiasi yang kuat.
Menurut Shell pula, leverage dapat ditingkatkan melalui beberapa cara. Di antaranya dengan, pertama, menciptakan koalisi dengan pihak lain untuk dapat meningkatkan pengaruh kelompok terhadap oposisi.
Studi dalam psikologi sosial telah menemukan bahwa individu akan sering menyesuaikan diri dengan keyakinan kelompok yang lebih besar.
Kedua, mengumpulkan lebih banyak informasi, di mana masing-masing pihak belajar lebih banyak tentang apa yang diinginkan pihak lain, prioritas dan kerentanannya. Ketiga, memperhitungkan waktu karena dapat menjadi faktor kunci dalam negosiasi. Pihak dengan kesabaran dan kemampuan menunggu paling besar memiliki leverage yang lebih besar.
Spektrum usulan damai dimulai dari confidence building berdasarkan common denominator (antara lain gencatan senjata, penyaluran bantuan kemanusiaan, jalur pengungsian, penarikan mundur pasukan, dan sebagainya). Selanjutnya adalah penggelaran pasukan pemelihara perdamaian internasional (peace keeper) dan proses rekonstruksi.
Dalam sejumlah kasus, referendum biasanya menjadi pilihan paling akhir, itu pun harus disepakati kedua pihak.
Baca juga : Proposal Perdamaian Prabowo, Mungkinkah Diimplementasi?
Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang telah menyampaikan usulan damai dan ingin menjadi mediator konflik Rusia-Ukraina, baik yang cenderung pro-Ukraina maupun pro-Rusia. Belarus, misalnya, telah mengupayakan perundingan damai pada 28 Februari 2022, atau empat hari setelah invasi Rusia berlangsung; sementara Turki telah memfasilitasi rangkaian pertemuan berikutnya di Antalya pada 10 dan 14 Maret 2022.
Setelah berpidato di depan parlemen Israel, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyatakan, ”Israel cocok menjadi tempat perundingan damai dengan Rusia (Reuters, 28/3/2022). Dalam kaitan ini, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menolak usulan damai pemimpin Afrika (Senegal, Mesir, Zambia, Uganda, Republik Kongo, Komoro, dan Afrika Selatan) di St Petersburg, yang meminta Rusia menarik pasukannya dari wilayah Ukraina (VOA, 18/6/2023).
Untuk menjajaki upaya damai dan menjadi mediator, sebelum ke Kiev (Juni-Juli 2022), pada 7-31 Maret 2022 Presiden Jokowi memandang perlu berkonsultasi dengan sejumlah kepala negara/pemerintahan, seperti Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida, PM Kanada Justin Trudeau, Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan PM Belanda Mark Rutte, serta Sekjen PBB Antonio Guterres.
Selain itu, pada 27-29 April 2022, Presiden Jokowi secara terpisah berkomunikasi dengan Presiden Zelensky, Presiden Portugal Marcelo Rebelo de Sousa, dan Presiden Putin (Humas Setkab, 29 April 2022). Jokowi kembali bertemu Zelensky di KTT G7 di Hiroshima, Jepang, 21 Mei 2023, dan mengulangi kesiapan Indonesia tersebut.
Perubahan paradigma
Sebenarnya Indonesia memiliki pengalaman dalam upaya damai semacam ini. Dalam penyelesaian masalah Kamboja (dengan faksi-faksi yang bertikai) dan Vietnam, Indonesia mewakili ASEAN menjadi inisiator penyelenggaraan Jakarta Informal Meeting (JIM) I dan II, masing-masing pada 1987 dan 1989, yang dilanjutkan Perancis, sehingga menghasilkan Perjanjian Paris (1991).
Dalam masalah Filipina-kelompok Moro National Liberation Front (MNLF), Indonesia dipercaya OKI menjadi mediator sampai tercapai kesepakatan di Jakarta, untuk kemudian ditandatangani Presiden Fidel Ramos dan MNLF di Istana Malacanang, Manila (2/9/1996). Leverage Indonesia ketika itu antara lain statusnya yang netral (dibandingkan negara ASEAN lain), Islam moderat, kesiapan pasukan peacekeeping, dan pemberian bantuan kemanusiaan.
Sejalan dengan pesatnya dinamika hubungan internasional, leverage untuk suatu upaya damai juga berubah, termasuk bagi Indonesia. Posisi sebagai negara demokrasi ketiga terbesar, negara Islam moderat terbesar, peran menonjol di ASEAN, GNB, OKI, PBB, bahkan anggota G20, tidak otomatis dapat dipakai sebagai leverage untuk ”menjual” Indonesia sebagai juru damai.
Contohnya, hingga kini Indonesia tidak dapat menjadi mediator perdamaian Palestina-Israel; semata-mata karena Indonesia belum mau mengakui negara Yahudi itu. Demikian pula dalam upaya perdamaian Arab Saudi-Iran (2023), China yang ”komunis” malah berhasil melakukannya.
Penyebab konflik, termasuk konflik yang menjadi perang terbuka, mungkin sederhana; tetapi penyelesaian damainya biasanya sangat berliku dan panjang. Leverage tak lagi dapat menggantungkan pada pengalaman dan data, tetapi perlu pemahaman sejarah, budaya, geopolitik dan politik internasional, strategi dan taktik yang matang untuk bisa diterima pihak-pihak yang bersengketa.
Tak kurang pentingnya adalah adanya tokoh yang punya standing dan credibility internasional. Makanya pepatah Betawi itu sangat pas untuk menggambarkan hal ini.
Dian Wirengjurit Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional