Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan proposalnya untuk menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina. Sejauh mana implementasi dari proposal ini mampu untuk mewujudkan perdamaian kedua negara?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan proposal perdamaian untuk menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina. Proposal yang diajukan Prabowo di forum International Institute for Strategic Studies atau IISS ini memiliki empat poin utama, yakni pembentukan zona demiliterisasi (demilitarized zone/DMZ) 15 kilometer di belakang posisi pasukan kedua negara, diturunkannya pasukan PBB untuk mengawasi DMZ, dikerahkannya pasukan perdamaian PBB, dan diselenggarakannya referendum di wilayah sengketa.
Proposal yang disampaikan oleh Prabowo ini mengundang kontroversi. Terlepas dari posisinya sebagai Menteri Pertahanan yang mungkin bukan posisi paling tepat untuk berbicara soal resolusi konflik, isi dari proposal yang disampaikan juga dianggap kurang ideal. Meski demikian, tak semuanya juga bisa dianggap salah.
Terkait zona demiliterisasi sebetulnya bukanlah usulan yang mengawang. Di beberapa konflik, terutama yang sulit untuk dipecahkan, opsi DMZ ini banyak dipilih.
Memang, di satu sisi, DMZ tidak menyelesaikan konflik yang ada. Pihak yang berkonflik, secara teknis, masih berperang satu dengan lainnya. Namun, setidaknya, opsi ini mendeeskalasi konflik dengan membuat konflik terbuka lebih sulit untuk terjadi.
Salah satu konflik yang menyepakati DMZ sebagai upaya deeskalasi adalah konflik semenanjung Korea. Pada awal 1950, Korea mengalami perang saudara yang membelah negara tersebut menjadi dua, yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Dalam konteks zamannya, perang ini jadi bagian dari perang dingin dengan tiap bagian Korea tersebut didukung negara adidaya, yakni AS dan Uni Soviet.
Perang terbuka terjadi selama tiga tahun hingga 1953. Dampak dari perang ini luar biasa destruktif. Selain kota-kota besar yang hancur, diperkirakan 3 juta korban jiwa jatuh akibat perang tersebut.
Secara teknis, kedua negara ini masih berperang hingga saat ini. Namun, setelah disepakatinya pembentukan DMZ di perbatasan selebar 4 km dalam upaya gencatan senjata tahun 1953, konflik terbuka tak lagi terjadi. Bahkan, jumlah insiden antara kedua negara ini pun bisa dibilang minim selama lebih dari enam dekade berkonflik.
Contoh lain dari instrumen DMZ dalam resolusi konflik adalah zona demiliterisasi antara Kuwait dan Irak. Pada 1990 hingga 1991, kedua negara terlibat Perang Teluk yang melibatkan negara-negara Arab lain, seperti Arab Saudi, dan Israel.
Salah satu keputusan dari negosiasi resolusi konflik saat itu adalah membentuk garis DMZ di perbatasan Irak dan Kuwait, yang meskipun sudah berdamai, masih dipertahankan hingga hari ini.
Tak ayal, opsi DMZ bukanlah tidak mungkin untuk diterapkan dalam konteks konflik Rusia-Ukraina. Namun, seberapa besar kemungkinan itu menjadi persoalan lain. Pasalnya, progresi dari konflik di tahapan ini membuat setiap negara yang berkonflik justru bisa merasa merugi dengan solusi DMZ tersebut.
Di satu sisi, Ukraina kini berada dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan di masa awal invasi. Apalagi, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Ukraina mulai mampu memukul mundur pasukan musuh hingga ke dalam Rusia. Tentu, menarik mundur pasukan yang telah mampu menembus pertahanan lawan bukan opsi menarik bagi Ukraina saat ini.
Di sisi lain, bagi Rusia yang tengah terjepit, opsi ini juga bisa jadi tak relevan. Pasalnya, zona demiliterisasi umumnya akan dibentuk di sekitar wilayah di mana posisi pasukan tiap-tiap pihak berada.
Artinya, jika para pasukan Ukraina bisa menembus masuk ke Rusia, Rusia harus mau sebagian wilayahnya terpotong untuk area buffer. Hal ini tentu berseberangan dengan tujuan Rusia untuk menganeksasi, yakni untuk memperluas wilayah negaranya.
Persoalan lain dari proposal Prabowo yang cukup mencolok adalah soal diadakannya referendum di wilayah-wilayah konflik. Lagi-lagi, referendum sebagai alat dalam resolusi konflik bukanlah hal yang baru. Bahkan, dalam konflik Indonesia-Timor Leste, digunakan referendum untuk mengakhiri sebuah konflik.
Namun, opsi ini sangat berisiko. Alih-alih digunakan sebagaimana mestinya, untuk mengetahui keinginan dari masyarakat umum, referendum justru digunakan sebagai alat propaganda perang. Pasalnya, Rusia pernah menggunakan referendum untuk menjustifikasi aksinya selama proses invasi. Tepatnya, di akhir 2022 lalu.
Saat itu, Rusia mempromotori referendum untuk dilakukan di beberapa wilayah, seperti Donetsk. Hasil dari referendum itu sangat berat menguntungkan Rusia, dengan hasil 99,23 persen mendukung Donetsk untuk lepas dari Ukraina dan bergabung ke Rusia.
Hasil ekstrem ini pun memicu kecurigaan dunia internasional yang menduga kuat adanya manipulasi dalam pengambilan suara dalam referendum tersebut.
Selain itu, referendum juga memiliki sifat yang berbeda dengan konteks konflik Rusia-Ukraina. Umumnya referendum digunakan untuk persoalan ”dalam negeri”, seperti kasus Brexit.
Menjadi urusan dua negara, biasanya referendum ini muncul sebagai hasil dari negosiasi negara dengan calon pecahan negara yang berkonflik, misalnya seperti kasus Indonesia dan Timor Leste.
Sementara konteks perang Rusia-Ukraina jauh berbeda. Konflik ini bukanlah pemberontakan dari sebuah wilayah untuk merdeka, melainkan sebuah agresi militer dengan tujuan yang jelas, yakni aneksasi. Maka, referendum tentu jadi opsi yang sangat tidak menguntungkan bagi Ukraina sebagai korban agresivitas militer Rusia.
Soal keterlibatan PBB pun menjadi poin yang patut untuk dipikirkan ulang. Memang, PBB selama ini terus berupaya secara aktif untuk membantu menyelesaikan sebagian besar konflik yang terjadi di dunia. Tak semua berhasil, tetapi ada juga kasus-kasus ketika turun tangan PBB berbuah damai.
Namun, dalam konteks konflik Rusia-Ukraina, kemampuan PBB untuk terlibat cukup minim. Hal ini bahkan telah terjadi semenjak awal masa terbentuknya PBB pasca-Perang Dunia II. Sulitnya PBB melakukan intervensi dalam konteks konflik kali ini juga bersumber dari struktur dan fondasi organisasi tersebut.
PBB adalah organisasi yang difasilitasi oleh para pemenang Perang Dunia II. Para pemenang ini, blok sekutu yang berisikan Inggris, Perancis, Rusia, China, dan AS, kemudian punya hak khusus sebagai anggota permanen di Dewan Keamanan yang punya hak veto. Hak veto ini adalah hak ”sakti” yang mampu menggagalkan segala bentuk resolusi yang keluar dari dewan tersebut.
Maka, ruang gerak PBB dengan Rusia sebagai salah satu pemegang hak veto pun sangat terbatas. Segala bentuk keputusan, yang dirasa merugikan Rusia, bisa sewaktu-waktu digagalkan dengan veto Rusia. Sepanjang perjalanan sejarah, hal inilah yang justru membuat berbagai konflik, seperti konflik Suriah, jadi berlarut-larut.
Pada akhirnya, semangat yang dibawa Prabowo mungkin saja mulia. Tentu, sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia perlu berperan aktif dalam upaya menjaga stabilitas dan perdamaian dunia.
Namun, diperlukan proses diplomasi yang runut dan hati-hati agar semangat tersebut bisa dipahami dan diterima oleh komunitas internasional. (LITBANG KOMPAS)