Hilirisasi Budaya, Gelombang Nusa
Belajar dari Korsel, agar riak pemajuan kebudayaan bisa jadi gelombang besar partisipasi pembentukan budaya global, perlu dukungan kebijakan yang lebih besar daripada langkah politik mendukung hilirisasi mineral.
Hilirisasi telah menjadi battle cry pemerintah untuk mengangkat Indonesia yang kaya sumber daya alam agar secepat mungkin meraih takdirnya, yakni menjadi salah satu negara termaju di dunia.
Seruan lantang itu pada intinya adalah pengolahan bahan mentah yang terkandung di tanah air kita sendiri untuk menjadi bahan yang jauh lebih tinggi nilainya. Penghiliran rupanya tak terbatas pada sumber daya alam saja, tetapi juga perlu diperluas ke ranah budaya.
Hallyu alias Korean Wave adalah contoh hilirisasi budaya yang paling spektakuler dalam tiga dekade terakhir. Dari negeri semenanjung yang terkoyak, Gelombang Korea ini muncul di bagian selatan dan menyebar melintasi batas bangsa dan benua. Tsunami budaya populer itu kini telah memperkuat ekonomi Korea dan mengukuhkannya menjadi adidaya budaya pop yang perkasa.
Baca juga: Idola K-pop, Manusia Versus Sosok Virtual
Karakter ”hallyu”
Korea yang terpecah adalah relik yang paling monumental dari Perang Dingin. Namun, di awal abad ke-21, budaya populer Korea telah menjadi sensasi global yang membuka mata tentang kekuatan dahsyat kebudayaan, jika digarap secara kreatif, untuk ikut mengubah dan membentuk wajah baru dunia.
Salah satu telaah yang bagus tentang hal ini datang dari Dal Yong Jin, Guru Besar Simon Fraser University, Vancouver, Kanada. Kajiannya tertuang dalam buku New Korean Wave: Transnational Cultural Power in the Age of Social Media (2017). Bagi Dal Yong Jin, Gelombang Besar Korea sudah dua kali muncul menyapu cakrawala. Ia menyebutnya Hallyu 1.0 dan Hallyu 2.0.
Hallyu 1.0 dimulai di ujung abad silam, yakni 1997, dan berlangsung sampai 2007. Produk karakteristiknya terutama drama TV dan film. Teknologi penunjangnya online game. Wilayah pasarnya terutama Asia Timur, yakni China, Hong Kong, Taiwan, dan Jepang. Konsumen utamanya berada di rentang usia 30 sampai 40-an tahun. Dalam mendorong gelombang pertama ini, kebijakan pemerintah bersifat tidak langsung, yakni mendukung, tetapi tanpa intervensi.
Gelombang pasang Hallyu 2.0 dimulai sekitar 2008 dan masih berlangsung hingga hari ini, dengan kekuatan yang tampak masih belum surut. Produk karakteristiknya terutama adalah K-pop, animasi, video games, hingga webtoon.
Teknologi penunjang Hallyu 2.0 adalah jaringan media sosial berupa SNS (social networking service) dan gawai pendukungnya, yakni ponsel pintar yang juga banyak diproduksi Korsel. Teknologi digital games tentu harus disebut juga. Pasar Hallyu 2.0 juga tak lagi terbatas di Asia Timur dan Tenggara, tetapi meluas ke berbagai belahan dunia. Kebijakan pemerintah pun bergeser, jadi dukungan langsung yang sangat aktif.
Seperti halnya semua fenomena besar, banyak faktor yang berkelindan memunculkan Gelombang Korea. Selain daya cipta dan kegigihan para pekerja seni dan pelaku industri budaya Korea, ada tiga yang paling berpengaruh.
Pertama, datangnya era globalisasi neoliberalisme yang memaksa Korea membuka pasar domestiknya sambil mencari pasar luar negeri. Kedua, revolusi teknologi informasi dan medsos yang menawarkan banyak tantangan sekaligus peluang. Ketiga, strategi kebudayaan Korea yang berevolusi untuk memastikan eksistensi dan hari depan negara bangsa itu.
Selain daya cipta dan kegigihan para pekerja seni dan pelaku industri budaya Korea, ada tiga yang paling berpengaruh.
Jika diringkas, strategi kebudayaan Korea sejak bagian akhir abad ke-20 hingga sekarang bisa juga dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, konsolidasi budaya adiluhung untuk mendukung pengukuhan identitas nasional. Kedua, kapitalisasi budaya populer untuk meningkatkan pendapatan negara. Ketiga, transnasionalisasi budaya hibrida untuk mengukuhkan keberlangsungan negara bangsa Korea sekaligus jangkauannya ke berbagai penjuru. Hallyu 1.0 muncul karena strategi kebudayaan tahap kedua, dan Hallyu 2.0 lahir akibat strategi budaya tahap ketiga.
Evolusi strategi budaya
Sejak berakhirnya kekuasaan rezim militer awal dekade 1990-an, Korsel mulai menyusun strategi budaya yang lebih sesuai dengan tantangan zaman baru. Sebelum datangnya era globalisasi neoliberal, kebijakan budaya Korsel diwarnai penekanan pada identitas kultural, yang dijunjung melalui seni adiluhung.
Karena pengalaman sejarah yang kompleks, dibentuk oleh kolonialisme Jepang (1910-1945), Perang Korea (1950-1953), dan pemecahan Semenanjung Korea (1945 sampai sekarang), jati diri budaya yang dikukuhkan dalam nasionalisme dan tradisi Korea selalu jadi pokok utama kebijakan budaya. Hasrat menebus kepahitan masa silam sambil merawat harapan penyatuan kembali Semenanjung Korea diekspresikan dalam seni tinggi, yang kurang komersial.
Dal Yong Jin mencatat, pemerintahan yang naik setelah 1993 mulai paham betapa sektor budaya tak hanya penting untuk mengukuhkan bangsa, tetapi terutama untuk menyejahterakannya. Aspek ekonomi dari kebudayaan mulai diperhatikan sungguh-sungguh. Hasilnya, dorongan pada komodifikasi dan kapitalisasi produk kultural. Pemerintahan Kim Young-sam (1993-1998) sebagai pemerintahan sipil pertama sejak 1961 secara aktif mengadopsi globalisasi neoliberal untuk menghadapi persaingan global tanpa batas. Langkah ini jadi titik balik industri budaya Korsel.
Bagi Kim Young-sam, ”Di abad ke-21, industri budaya akan menjadi industri terbesar akibat kemajuan aneka media audio-visual. Karena negara-negara Barat bersaing satu sama lain di bidang kebudayaan, kita harus membangun produk budaya baru yang memenuhi kebutuhan global, dan korporasi-korporasi besar harus menanam investasi di ranah budaya (1994).”
Dengan visi seperti itu, tak heran jika pada masa Kim Young-sam itulah muncul Gelombang Korea Hallyu 1.0. Di paruh kedua masa Kim Young-sam, dan sepanjang era kepresidenan Kim Dae-jung, Korea Selatan menyaksikan produk budaya populer mereka masuk pasar Asia Timur, dan merembes ke Asia Tenggara. Setelah hampir satu dekade, gelombang ini surut antara lain akibat resistansi dan pembatasan pasar negara-negara tetangga dekat.
Hallyu 2.0 mulai menderu sejak 2008, muncul bersama kebijakan budaya yang lebih berani yang dipimpin Presiden Lee Myung-bak. Dilantik pada 25 Februari 2008, tiga hari kemudian ia sudah meresmikan leburan Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata.
Selain menaikkan secara bertahap anggaran untuk industri budaya sampai hampir dua kali lipat, Presiden Lee mendorong UU Promosi Industri Konten (2010) dan membenamkan investasi besar-besaran untuk membuat industri konten jadi industri strategis nasional. Salah satu agenda utama investasi ini, mempromosikan arus budaya K-Pop dan genre kultural lain ke berbagai wilayah dunia, termasuk Amerika Utara dan Eropa. Targetnya, menjadikan Korsel satu dari lima adidaya konten dunia.
Selain menaikkan secara bertahap anggaran untuk industri budaya sampai hampir dua kali lipat, Presiden Lee mendorong UU Promosi Industri Konten (2010) dan membenamkan investasi besar-besaran untuk membuat industri konten jadi industri strategis nasional.
Dal Yong Jin memaparkan betapa presiden berikut, Park Geun-hye, makin mengintensifkan kebijakan budaya yang telah membangkitkan Hallyu 2.0. Berbagai kebijakannya memperderas produksi dan arus transnasional budaya pop Korea. Arus transnasional itu tak dianggap terkait hanya pada imajinasi ekonomi budaya pop yang dinasionalkan, tapi pada rekonstruksi negara bangsa melalui sebuah kerangka pembangunan.
Dengan kata lain, transnasionalisasi itu adalah hasil rancangan strategi budaya yang tidak sekadar berusaha menaikkan pendapatan negara yang sempat merosot, tapi terutama untuk membangun dan memastikan kelangsungan hidup negara bangsa jauh ke masa depan. Hasilnya, sebuah negara bangsa yang teritorial fisiknya tetap kecil, tetapi kekuatan ekonominya terus menanjak, dan jangkauan budaya populernya terus meluas ke seluruh Asia, Eropa Barat, Amerika Utara dan Amerika Latin, Timur Tengah, hingga ke Afrika Utara.
Gelombang Nusa?
Prestasi transnasional budaya Korea itu tentu layak dibandingkan dengan Indonesia yang kekayaan budayanya jauh lebih besar. Harus diakui bahwa kesungguhan dan kecerdikan kita menghilirkan budaya masih tertinggal dua tahap. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, telah muncul riak politik kebudayaan yang tak mustahil bisa jadi gelombang besar di masa akan datang.
Riak kecil itu antara lain pengesahan UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Didorong oleh koalisi pekerja seni dan budaya sampai disahkan pada 27 April 2017, UU ini jadi acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Seusai Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, Presiden Joko Widodo menerima delegasi perwakilan peserta kongres dan tim perumus, dan menjanjikan adanya Dana Abadi Kebudayaan. Tahun 2023 ini, Dana Abadi Kebudayaan berjumlah Rp 5 triliun.
Dikelola Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Dana Abadi Kebudayaan dikenal publik sebagai Dana Indonesiana. Banyak pihak telah memanfaatkannya. Meski baru berjalan tiga tahun, pemanfaatannya, dengan pendampingan dari Dirjen Kebudayaan dan para pembantunya, telah memperlihatkan banyak hasil yang menggirangkan.
Agar riak pemajuan kebudayaan ini bisa jadi gelombang besar partisipasi pembentukan budaya global, perlu dukungan kebijakan yang mungkin lebih besar daripada langkah politik mendukung hilirisasi mineral. Perlu paket kebijakan politik dan budaya untuk mengangkat nilai ekonomi sekaligus mendorong transnasionalisasi khazanah budaya kita.
Selain merawat khazanah budaya tinggi kita yang memancar di hulu, di ketinggian di atas awan, kita juga perlu merangsang ciptaan budaya kita, dengan aneka hibridanya, untuk bergerak terjun ke hilir, menghambur memasuki samudra pergaulan dan pertarungan dunia.
Para seniman dan budayawan, serta semua pihak yang mengidamkan andil kultural Indonesia yang lebih megah di masa depan, mestinya mulai bergerak mendesakkan pentingnya memilih presiden yang agenda awalnya adalah membentuk kementerian yang menautkan kebudayaan, teknologi komunikasi, pemuda, olahraga, dan pariwisata.
Baca juga: Negara Hadir Memajukan Budaya
Selain meneruskan hilirisasi mineral yang sangat bagus itu, pemimpin berikut jelas harus mampu mengerahkan semua kekuatan, termasuk Ibu Kota Negara (IKN) yang sedang dibangun itu, untuk tidak sekadar jadi modal pengangkat daya ekonomi. Potensi IKN itu memang jauh lebih besar dari penggerak ekonomi belaka. Ketangguhan ekonomi kita akan mudah meningkat jika ada paket strategi pembangunan yang bisa sekaligus memperkuat kehadiran kreatif negara bangsa kita, dengan memperderas arus transnasionalisasi ciptaan budaya kita untuk memperkaya kebudayaan dunia.
Dinamika global dan kreativitas domestik yang menghasilkan Gelombang Korea telah terekam baik dan dikaji cukup bagus. Itu memudahkan kita mengantisipasi ekses yang tak diharapkan, sambil membangun gelombang budaya Nusa yang bisa kita singkat jadi Bangsa. Alangkah menarik membayangkan bahwa hallyu dan bangsa bertaut jadi gelombang raksasa di abad ke-21 yang sering disebut sebagai Abad Asia.
Bersama hilirisasi mineral dan aneka kekayaan alam lain, gelombang budaya Nusa akan ikut mengangkat republik kita menjauhi perangkap pendapatan menengah (middle-income trap), mempercepat Indonesia menjemput takdir regional dan globalnya.
Nirwan Ahmad Arsuka, Pekerja Budaya, Pendiri Pustaka Bergerak