Pembangunan kebudayaan menjadi penting di tengah situasi politik saat ini. Indeks Pembangunan Kebudayaan menjadi pintu untuk memajukan kebudayaan di Indonesia.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
Tantangan memajukan kebudayaan membutuhkan keseriusan negara untuk mengentaskannya. Melalui terobosan Merdeka Belajar, pemerintah mendorong pemajuan budaya dengan menghadirkan kanal media khusus budaya serta memberikan dukungan dana abadi yang lebih stabil dan berkelanjutan. Dengan demikian, segala aktivitas yang dilakukan untuk mendukung proses penciptaan karya budaya sebagai wujud ekspresi budaya bisa berkembang.
Indonesia terkenal kaya akan beragam budayanya yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau. Memiliki 1.300 suku dan 718 bahasa daerah, tergambar betapa kayanya bangsa Indonesia akan adat-istiadat, tarian, lagu, dongeng, makanan khas, ritus, permainan tradisional, dan sebagainya. Keragaman tersebut selain mengajarkan sikap toleransi untuk menghormati perbedaan, juga menjadi kekuatan untuk kemajuan bangsa.
Konstitusi Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 juga telah mengamanatkan agar negara memajukan kebudayaan nasional.
Oleh sebab itu, sebagai negara yang kaya beragam budaya, sudah seharusnya negara hadir untuk memajukan kebudayaannya, mengingat keberagaman tersebut menjadi modal utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Apalagi konstitusi Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 juga telah mengamanatkan agar negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Dengan demikian, negara harus memberikan dukungan bagi pengembangan dan pemajuan kebudayaan. Namun, upaya menerjemahkan amanat tersebut sebagai dukungan terhadap pemajuan kebudayaan berjalan lambat.
Tahun 1982 pernah disusun Rancangan Undang-Undang Kebudayaan, tetapi terus diperdebatkan hingga awal 2016. Akhirnya, setelah 72 tahun sejak Indonesia merdeka, baru disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Pemajuan kebudayaan diartikan sebagai upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan sehingga dapat menjawab segala tantangan kehidupan yang semakin modern.
Untuk terus mendukung pemajuan kebudayaan, pada 2019 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Bappenas dan Badan Pusat Statistik (BPS) membuat Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK).
IPK disusun sebagai salah satu instrumen untuk memberikan gambaran kemajuan pembangunan kebudayaan. Indeks ini juga dapat digunakan sebagai basis formulasi kebijakan bidang kebudayaan serta menjadi acuan dalam koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Suasana digelarnya karnaval kebudayaan multietnik di Lapangan Merdeka, Kota Ambon, Maluku, pada Kamis (18/5). Acara yang digelar Balai Pelestarian Nilai dan Budaya Ambon itu dibuka Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid.
Indeks ini merupakan indeks pertama di dunia yang berhasil mengukur kemajuan kebudayaan dan menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Dari tiga kali pengukuran IPK yang sudah dilakukan (2018, 2019, dan 2020), capaian secara nasional berada di kisaran 50 dari skala 0 sampai 100.
Setelah mengalami kenaikan 2,17 poin dari 2018 (53,74) menjadi 55,91 pada 2019, capaian IPK mengalami penurunan 1,26 poin pada 2020 menjadi 54,65. Bahkan, sebanyak 64,7 persen dari 34 provinsi tercatat capaiannya masih di bawah angka nasional.
Indeks ini merupakan indeks pertama di dunia yang berhasil mengukur kemajuan kebudayaan dan menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa.
Dari tujuh dimensi yang diukur, selama tiga kali pengukuran tersebut dimensi ekonomi budaya dan ekspresi budaya memiliki skor rendah di kisaran 30 dari skala 0 sampai 100. Kedua dimensi tersebut mengalami penurunan skor bersama dimensi pendidikan dan warisan budaya pada IPK 2020 yang memengaruhi penurunan skor nasional.
Jika dilihat lebih dalam data menurut provinsi, lebih dari separuh (21 provinsi) capaian dimensi ekspresi budaya masih di bawah capaian nasional (35,82), di antaranya ada 11 provinsi dengan skor ekspresi budaya di bawah 30.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Aneka tarian menghibur pengunjung Pekan Kebudayaan Nasional di Kompleks Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (12/10/2019). Pekan Kebudayaan Nasional yang digelar pada 7-13 Oktober 2019 diharapkan bisa menjadi tempat untuk merajut kembali kebersamaan dengan nilai-nilai dasar kebudayaan. Kegiatan ini merupakan amanah resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia 2018.
Termasuk DKI Jakarta yang bahkan skornya (25,27) berada di urutan lima terendah bersama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (25,07), Sulawesi Selatan (24,89), Sumatera Selatan (24,29), dan Sulawesi Tenggara (22,50). Sebuah paradoks, di ibu kota negara dengan fasilitas yang memadai masih terkendala untuk mengekspresikan budaya.
Rendahnya capaian dimensi ekspresi budaya yang menggambarkan segala aktivitas yang dilakukan untuk mendukung proses penciptaan karya budaya menunjukkan masih adanya problem dalam memenuhi aspek tersebut. Di antaranya media yang menjadi sarana pembelajaran, wadah ekspresi, dan interaksi budaya masih terbatas
Permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam mengekspresikan budaya bisa jadi karena terbatasnya ruang dan anggaran untuk melakukan aktivitas, menciptakan inovasi, dan menghasilkan karya budaya.
Apalagi memasuki tahun 2020 pandemi Covid-19 melanda. Tak dapat dimungkiri, pelaku seni dan budaya pun terdampak sehingga berpengaruh terhadap menurunnya kegiatan kebudayaan.
Riset yang dilakukan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek pada Agustus 2021 menemukan, sebanyak 65 persen pelaku budaya sudah tidak bekerja, sekitar 70 persen ruang publik dan organisasi kebudayaan tidak aktif, dan pendapatan pelaku budaya pun menurun sekitar 70 persen.
SEKAR GANDHAWANGI
Tangkapan layar tampilan kanal budaya Indonesiana. Kanal ini dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mewadahi ekspresi seni publik, mengembangkan dan memanfaatkan kebudayaan. Kanal ini juga diharapkan jadi media diplomasi budaya dengan negara-negara lain.
Bagai mendapat ”angin segar”, melalui terobosan Merdeka Belajar episode ke-13, Kemendikbudristek pada September 2021 meluncurkan program Merdeka Berbudaya dengan Kanal Indonesiana dan pada Maret 2022 meluncurkan Merdeka Belajar episode ke-18, yaitu Merdeka Belajar dengan Dana Indonesiana. Kedua program dilakukan untuk menghidupkan dan mendorong pemajuan kebudayaan.
Mengikuti perubahan jaman, untuk pertama kalinya di Indonesia telah hadir kanal khusus budaya yang dinamakan Indonesiana untuk mewadahi, mengintegrasikan, serta mempromosikan kekayaan karya dan ekspresi budaya masyarakat Indonesia sehingga bisa dikenal lebih luas, bahkan mendunia.
Platform media yang terintegrasi ini dapat diakses melalui laman Indonesiana, TV atau siaran televisi jaringan Indihome saluran 200 (SD) dan 916 (HD), ataupun media sosial Indonesiana (Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, YouTube).
Untuk pertama kalinya pula ada Dana Indonesiana yang merupakan dana abadi kebudayaan yang sifatnya lebih stabil, fleksibel, dan berkelanjutan. Dengan Dana Indonesiana, pemerintah berupaya untuk hadir dan bergerak bersama masyarakat untuk memulihkan kebudayaan dari situasi pandemi dan mendorong pemajuan kebudayaan.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Penari rego dari Desa Pombewe, Kecamatan Biromaru, Sigi, tampil dalam Festival Bunyi Bunyi di Rano Bungi, Desa Dolo, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (30/8/2018) malam. Festival tersebut difasilitasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan via Platform Indonesiana dalam rangka menghidupkan ekosistem seni di daerah.
Sebagai dana abadi, dana pokok dalam Dana Indonesiana tidak akan dipergunakan untuk kebutuhan lain dan selamanya akan diinvestasikan khusus untuk bidang kebudayaan. Dana pokok tersebut akan terus ditambah dan diakumulasikan dari tahun ke tahun, dan hasil dari pengelolaan dana pokok tersebut akan dijadikan sumber pendanaan untuk berbagai kegiatan ekspresi budaya.
Sampai dengan 2022 sudah ada dana Rp 3 triliun yang diinvestasikan pemerintah dari target alokasi Rp 5 triliun. Dengan bunga sekitar Rp 200 miliar, para pelaku seni dan budaya serasa mendapat ”darah segar” bisa memanfaatkannya untuk menghidupkan kembali aktivitasnya.
Dengan demikian, diharapkan para pegiat seni budaya bisa berkarya lebih baik serta memunculkan gagasan kreatif dan inovatif tentang pembinaan, pengembangan, penciptaan, serta pelestarian kebudayaan. (LITBANG KOMPAS)