Memerangi TPPO, Hulu Hingga Hilir
Banyak pekerja migran Indonesia kembali dalam wujud jenazah, kondisi sakit, depresi, hilang ingatan, atau cacat. Pengungkapan sindikat TPPO oleh Polri perlu diikuti proses peradilan yang tuntas atas semua yang terlibat.
Pada peringatan Hari Anti-perdagangan Orang Sedunia setiap 30 Juli, kita layak merefleksikan sejauh mana perang melawan tindak pidana perdagangan orang telah dilakukan dari hulu hingga hilir. Perang demikian dapat mengakhiri situasi darurat human trafficking.
Telah banyak pekerja migran Indonesia kembali dalam wujud jenazah, kondisi sakit, depresi, hilang ingatan, atau cacat.
Sesungguhnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PP TPPO) telah memberi arah tentang perang dari hulu hingga hilir. Perpres itu kini sudah diperbarui dengan Perpres Nomor 22 Tahun 2021.
Terkini, ketua harian gugus tugas juga dipegang oleh Kepala Polri yang dapat dimaknai bertujuan untuk mengefektifkan perang melawan TPPO.
Perpres tersebut dilengkapi dengan Perpres Nomor 19 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO 2020-2024 (RAN PP TPPO) yang merupakan kerangka kerja koordinatif sinergis Gugus Tugas PP TPPO. Perang di hulu adalah pencegahan TPPO, perang di hilir adalah penanganan korban TPPO. Di antara hulu dan hilir adalah penegakan hukum terhadap pelaku atau penindakan.
Baca juga : Terungkap, 1.006 WNI Jadi Korban Perdagangan Orang Sepanjang Juni Ini
Pencegahan TPPO
Pencegahan TPPO dapat dilakukan melalui serangkaian aksi pencegahan dan penanganan TPPO (aksi PPTPPO), antara lain mendorong pembangunan ekonomi melalui usaha mikro, kecil, dan menengah di perdesaan; gerakan pendidikan pemberdayaan perempuan mandiri; serta program pendidikan kecakapan kerja dan pendidikan keterampilan wirausaha.
Mengingat terdapat banyak aksi PPTPPO, setidaknya 75 aksi dalam empat tahun, dan melibatkan puluhan kementerian/lembaga (K/L), maka diperlukan tindakan orkestrasi, koordinasi, dan sinergi secara rutin. Dukungan anggaran dan staf yang memadai pada setiap anggota gugus tugas PP TPPO akan mengefektifkan pencegahan.
Merujuk pengalaman Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), korban TPPO sesungguhnya membutuhkan tempat bekerja guna memperoleh penghasilan untuk hidup. Program dana desa untuk kegiatan Padat Karya Tunai (PKT) yang dikembangkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan sebenarnya berdampak positif pada pencegahan TPPO karena mengatasi pengangguran yang merupakan akar masalah TPPO.
Dua orang tersangka tindak pidana perdagangan orang dihadirkan di Markas Polda Kepulauan Riau, Senin (9/9/2019).
PKT artinya pembangunan dilaksanakan oleh desa dengan tenaga kerja masyarakat setempat dan digaji secara tunai. Contohnya, setiap desa di Blora pada 2023 memperoleh dana desa hampir Rp 1 miliar per tahun. Keberpihakan pimpinan daerah untuk mengalokasikan untuk pelaksanaan PKT perlu dipacu dan diapresiasi sebagai best practices program berdampak pencegahan TPPO.
Penindakan TPPO
Penindakan TPPO lazimnya dimulai oleh Polri. Pada 5 Juni-20 Juli 2023, Polri telah menangkap 834 orang terduga pelaku TPPO dan mengumumkan keterlibatan oknum pejabat dalam sindikat perdagangan ginjal.
Pengumuman tentang keterlibatan oknum pejabat patut diapresiasi. Pada kasus lain di Batam, beberapa waktu lalu, pelaporan tentang dugaan keterlibatan oknum pejabat justru berakibat pelapor (Romo Paschal) dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Setiap tahun, Kedutaan Besar Amerika Serikat mengirimkan permohonan data/informasi kepada para pemangku kepentingan (stakeholder) penanggulangan TPPO mengenai ada tidaknya keterlibatan oknum pejabat. Dalam laporan TPPO Kedubes AS tahun 2022 disebutkan bahwa keterlibatan (oknum) aparat dalam kejahatan perdagangan manusia tetap menjadi perhatian, tetapi Indonesia tidak mengambil langkah untuk menanganinya.
Yang dimaksud (oknum) aparat termasuk (oknum) pejabat yang mengabaikan, memfasilitasi, atau ikut serta dalam kejahatan perdagangan orang.
Pengungkapan sindikat TPPO oleh Polri, baru-baru ini, perlu diikuti dengan proses peradilan yang tuntas atas semua pihak yang terlibat dalam sindikat, termasuk kemungkinan keterlibatan perusahaan/badan usaha.
Berdasarkan pengalaman LPSK, diketahui bahwa penindakan TPPO umumnya masih tertuju pada pelaku lapangan (perekrut, pengangkut, atau penampung), dan masih minim mengungkap jaringan atau sindikat TPPO.
Pengungkapan sindikat TPPO oleh Polri, baru-baru ini, perlu diikuti dengan proses peradilan yang tuntas atas semua pihak yang terlibat dalam sindikat, termasuk kemungkinan keterlibatan perusahaan/badan usaha. Peradilan disebut tuntas jika semua yang terlibat dalam sindikat telah diadili. Penindakan TPPO perlu menjatuhkan hukuman pembubaran sindikat, atau kelompok terorganisasi sebagaimana dimungkinkan oleh UNCTOC (United Nations Convention against Transnational Organized Crime) dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Mendahulukan penindakan terhadap beking sindikat bisa jadi strategi jitu. Asumsinya, ketika bekingnya ditindak, maka sindikatnya mudah dibongkar, sebab beking itulah yang punya kekuatan untuk menghalangi penindakan sindikat. Beking itulah yang punya potensi melakukan obstruction of justice.
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengungkapkan, sindikat perdagangan orang tak tersentuh selama bertahun-tahun lantaran dibekingi oknum aparat mulai dari TNI/Polri hingga K/L, termasuk oknum BP2MI.
Kerja sama Polri dengan pimpinan lembaga tempat beking bekerja perlu digalakkan untuk mengefektifkan penindakan. Semua pihak tak perlu ragu menyikat beking sindikat perdagangan orang atau ewuh pekewuh, sebab hal ini sudah menjadi atensi khusus Presiden sebagaimana dinyatakannya dalam KTT ASEAN di Labuan Bajo, Mei lalu. Dalam berbagai kesempatan berbeda, atensi itu ditegaskan kembali oleh Menko Polhukam dan Kepala Polri.
Penindakan pelaku di luar negeri perlu didukung MLA (Mutual Legal Assistance in Criminal Matter). Atau menerapkan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia dan negara tempat terduga pelaku berada/berasal. Di ASEAN telah ada Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Manusia (ASEAN Convention Againts Trafficking in Persons/ACTIP) yang telah diratifikasi oleh seluruh anggota ASEAN.
Penindakan terhadap rumah sakit di negara tetangga yang diduga terlibat sindikat TPPO perdagangan ginjal, sebagaimana diungkap Polri, lebih mudah jika MLA sudah ada. Dengan Arab Saudi, Suriah, Taiwan, dan China, layak dibuat MLA sebab banyak WNI terindikasi korban TPPO tereksploitasi atau transit di sana.
Pemulihan korban TPPO
Rencana Aksi Nasional PPTPPO mengamanatkan korban TPPO perlu dipulihkan. Menurut UU Nomor 31 Tahun 2014, pemulihan dapat dilakukan melalui rehabilitasi medis, psikologis, psikososial, dan fasilitasi restitusi oleh LPSK.
Restitusi adalah hak korban untuk mendapatkan ganti kerugian berupa uang dari pelaku. Ganti kerugian ini dihitung LPSK dan dapat meliputi kerugian berupa kehilangan kekayaan atau penghasilan, biaya perawatan medis dan/atau psikologis, biaya pemulihan atas penderitaan, dan kerugian lain yang diderita korban TPPO, misal biaya transportasi dan jasa penasihat hukum.
Semua pihak tak perlu ragu menyikat beking sindikat perdagangan orang atau ewuh pekewuh, sebab hal ini sudah menjadi atensi khusus Presiden sebagaimana dinyatakannya dalam KTT ASEAN di Labuan Bajo, Mei lalu.
Praktiknya, restitusi yang diterima korban TPPO digunakan untuk kepentingan beragam. Tidak sedikit yang digunakan untuk kepentingan produktif, misalnya modal berwirausaha, menyekolahkan anak, dan membayar utang. Penggunaan uang restitusi secara produktif merupakan cara memulihkan korban. Sebagai contoh, tahun 2021 terdapat empat eks anak buah kapal China Longxing 629 telah menerima uang restitusi Rp 176.500.000. Ke depan, perlu pendampingan berkesinambungan terhadap korban dalam mempergunakan uang restitusi.
Merujuk data di LPSK, restitusi korban TPPO yang dihitung, dituntut, dan kemudian diputuskan oleh hakim sudah menggembirakan. Januari-April 2023 tercatat restitusi yang dikabulkan oleh hakim sekitar Rp 1,1 miliar. Meski demikian, restitusi yang dibayarkan kepada korban TPPO belum menggembirakan. Umumnya, karena belum dilakukannya sita aset pelaku, pelaku tak mampu/mau membayar restitusi dan memilih menjalani kurungan pengganti.
Sita aset pelaku TPPO sesungguhnya dimungkinkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2007. Pada dugaan perkara TPPO perbudakan modern di Langkat, Polda Sumut telah melakukan best practice penyitaan aset terduga pelaku. Semoga best practice ini dicontoh polda lain.
Solusi atas ketidakmampuan/keengganan pelaku membayar restitusi sudah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yaitu dibayar oleh negara melalui Dana Bantuan Korban. Ini adalah konsep maju, terkait TPKS, meskipun penerapannya menunggu selesainya pembuatan peraturan pemerintah. Konsep ini layak diadopsi dalam amendemen UU Nomor 21 Tahun 2007 yang sudah masuk dalam perencanaan amendemen.
Antonius PS WibowoWakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban