NCSI
Seiring majunya teknologi informasi, muncul perilaku baru di sebagian anak muda, yaitu merekam dalam bentuk foto atau video, aktivitas intim atau seksual mereka.
Apa itu NCSI? Apakah judul film seri di TV, seperti NCIS, yang menceritakan keseruan kerja tim polisi dalam menumpas kejahatan, yang mungkin banyak dari kita menggemari atau pernah menontonnya? Ternyata tidak ada hubungannya dengan itu meski mungkin saja NCSI menjadi kasus hukum bila hal ini dilaporkan oleh korban atau pihak yang merasa dirugikan.
NCSI merupakan singkatan dari ”non-consensual sexual images”, kadang disebut juga NCII, ”non-consensual intimate images”. Satu masalah yang saat ini banyak terjadi dan dibahas di kalangan anak muda.
Hadirnya internet dengan berbagai media komunikasi yang menggunakan internet telah menghadirkan perilaku baru. Perilaku baru itu adalah kebiasaan sebagian anak muda untuk merekam dalam bentuk foto atau video, aktivitas intim atau seksual mereka.
Ada pula aktivitas lain yang disebut ”sexting”, yakni ketika melalui gawainya, orang mengirimkan pesan, foto, dan video yang bernuansa seksual kepada pihak lain. Bisa mengenai orang lain, tetapi sangat sering juga gambar seksual dari dirinya sendiri.
Baca juga: Praktik Eksploitasi Anak Makin Beragam
Bagi generasi yang lebih tua dan pernah cukup lama hidup tanpa internet, mungkin akan muncul respons: ”Ngapain melakukan hal itu? Saya tidak pernah terpikir untuk melakukannya. Tetapi, demikianlah yang terjadi di masa kini. Fenomena mengirimkan gambar seksual sudah merupakan hal cukup umum.
Alasannya, antara lain, untuk membangun keintiman, memenuhi rasa penasaran, atau memenuhi hasrat seksual. Tidak jarang, meski merasa tidak nyaman, seseorang akhirnya mengirimkan pada pihak yang memintanya. Ia khawatir dianggap sombong, atau akan kehilangan perhatian dan ditinggalkan pasangan.
Bukan ”revenge porn”
NCSI menunjuk pada tindakan mengirimkan gambar bernuansa seksual—sering secara meluas—secara non-konsensual atau tanpa izin, dari orang yang ada dalam foto atau video tersebut. NCSI sebelumnya sering disebut dengan istilah ”revenge porn”. Yakni, ketika seseorang (umumnya laki-laki) menyebarluaskan gambar perempuan atau orang yang pernah intim dengannya tanpa persetujuan dari pasangannya.
Seks (luar nikah) adalah soal yang sangat tabu, utamanya untuk perempuan. Karena itu, orang dapat menggunakan itu untuk menguasai, mengancam, atau membalas dendam, misalnya akibat pasangannya tidak menuruti kemauannya, atau berniat memutuskan hubungan.
Belakangan, istilah ”revenge porn” diusulkan untuk tidak lagi digunakan. Ini karena istilah tersebut mengesankan seolah-olah ada kesalahan dari korban yang menyebabkan pelaku kemudian membalas dendam.
Baca juga: ”Revenge Porn”
Istilah ”revenge porn” juga menjadi tidak tepat untuk digunakan karena fenomenanya demikian meluas melampaui konteks hubungan intim antara dua orang. Ada orang-orang tertentu yang memang dari awal berniat melakukan pemerasan untuk mencari uang. Mereka melakukan pendekatan, membuat pihak lain jatuh cinta, memerangkap, merekam video pribadi, atau memaksa pihak lain mengirimkan gambar seksual, sengaja membuat masalah lalu memeras.
Bahkan, diduga kuat adanya sindikat yang terorganisasi dengan sangat baik yang sengaja berbisnis mengumpulkan gambar-gambar seksual perempuan muda dan menjualnya melalui media sosial. Mengungkap dan membasmi kelompok ini bukan perkara mudah.
Mencegah
Dari perspektif psikologi, mencegah selalu lebih baik daripada melakukan penanganan setelah peristiwa terjadi. Apalagi ketika kita mengetahui bahwa dampak psikis dan sosial dari penyebaran gambar seksual tanpa persetujuan tersebut sangat berat.
Bayangkan, foto telanjang atau aktivitas seksual kita beredar di dunia maya dan dapat diakses oleh siapa saja. Yang utama adalah rasa malu dengan berbagai perasaan penyertanya yang dapat sangat menghancurkan untuk jangka panjang, bahkan mungkin seumur hidup.
Kami yang menangani kasus mendapat cerita dari beberapa korban. Mereka menghayati perasaan terancam, waspada, dan penuh kecemasan bahwa semua orang telah melihat gambarnya yang sangat pribadi dan mengetahui persoalannya. Rasa malu sebegitu kuatnya sampai mereka tidak berani lagi ke sekolah, kampus, atau beraktivitas keluar rumah.
Dampak lanjutannya dapat sangat banyak. Mulai dari kehilangan motivasi untuk meneruskan aktivitas utamanya (sekolah atau bekerja), penyalahan dari lingkungan terdekat, munculnya konflik dengan keluarga dan orang-orang terdekat, hingga direndahkan atau dirundung oleh lingkungan pergaulan.
Bayangkan, foto telanjang atau aktivitas seksual kita beredar di dunia maya dan dapat diakses oleh siapa saja.
Cukup banyak korban mengaku gambar yang beredar itu diambil di masa lalu ketika mereka masih sangat muda dan ada dalam hubungan yang kurang sehat atau berkekerasan. Banyak di antaranya atas desakan pacar, tetapi sebagian melakukan secara sukarela tanpa berpikir panjang tentang akibatnya.
Setelah foto dan video beredar, mereka sangat menyesali diri. Tekanan yang dihadapi dapat menghadirkan berbagai persoalan kesehatan mental serius. Secara hukum, situasi korban juga rentan. Bukan tidak mungkin ia yang sesungguhnya korban justru diposisikan sebagai pelaku pornografi atau tindak pidana.
Cukup banyak pelaku yang menyebarluaskan gambar pribadi dari orang lain sekadar untuk tujuan iseng, sebagiannya mengaku ”terbawa” oleh arus perilaku di media sosial. Sebagian yang lain memang bertujuan mempermalukan, mengancam, hingga mencari uang.
Alasan-alasan di atas menunjukkan sikap yang sangat tidak bertanggung jawab. Apa pun alasannya, tindakan tersebut merupakan suatu tindak kejahatan serius yang perlu dikenai sanksi administratif dan pidana yang berat.
Perlukah merekam atau mengirimkan gambar pribadi kita kepada orang lain? Bagaimana kita dapat menjamin bahwa orang lain itu akan menjaga foto atau video kita dengan baik? Penyesalan selalu datang terlambat. Tampaknya, kita perlu belajar untuk menghormati dan menjaga diri sendiri dengan menetapkan batas-batas yang jelas mengenai kapan berkata ”ya” atau berkata ”tidak” demi mencegah penyesalan dan kerusakan.