”Revenge Porn”
Pada era digital, penyebarluasan konten visual bernuansa seksual, oleh seseorang, sering kali pasangan, untuk membalas dendam atau menghukum rentan terjadi. Karena itu kita mesti menetapkan batas tegas dalam pergaulan.
Dengan sangat luasnya penggunaan internet dan media sosial, kita cukup sering mendengar berita mengenai kasus disebarkannya foto atau video bernuansa seksual atau adegan ”panas” melalui media sosial.
Anak muda masa kini umumnya telah mengenal istilah ”revenge porn”. Dari akar katanya, istilah itu menunjuk pada pornografi sebagai bentuk pembalasan dendam.
Dalam kenyataannya, istilah itu menunjuk pada disebarluaskannya konten-konten visual yang bernuansa seksual, oleh seseorang, sering pacar, mungkin suami, selingkuhan, atau teman kencan, untuk membalas dendam atau menghukum.
Mengapa?
Bagaimana gambar atau video yang sangat pribadi dapat dimiliki oleh orang lain? Ada banyak penjelasan. Hadirnya media sosial yang sangat visual menyebabkan praktik mengambil foto atau video menjadi amat populer. Orang berfoto dengan mencoba menampilkan sisi-sisi paling keren, cantik, atau menarik. Foto atau video tersebut kemudian diunggah.
Baca Juga: Remaja Rentan Mengalami Kekerasan Berbasis Jender ”Online”
Orang juga mulai lebih biasa berfoto seksi, atau merekam visualisasi seksual. Maka menjadi umum pula bahwa pasangan atau teman kencan akan meminta atau saling berkirim foto seksual sebagai bagian dari perilaku berkencan.
Lebih lanjut, kencan dan aktivitas seksual pun bahkan direkam. Hal itu dapat dilakukan dengan persetujuan dan pengetahuan kedua belah pihak, ataupun dilakukan oleh salah satu pihak secara diam-diam dan tersembunyi tanpa persetujuan pasangannya.
Sebagian pasangan tidak berpikir panjang dan bersedia melakukannya dengan asumsi bahwa itu hanya untuk kepentingan berdua. Sebagian pasangan lainnya sesungguhnya sudah merasa tidak merasa nyaman dan khawatir dengan perekaman itu, tetapi merasa bingung dan tidak enak hati untuk dengan tegas menyatakan penolakan.
Meski tidak selalu, cukup sering dalam hubungan yang terjalin sebenarnya telah ada ketidakseimbangan posisi di antara pasangan, bahkan bentuk-bentuk kekerasan. Sebagai contoh, pasangan memaksa adegan harus direkam, dan bila individu menolak, ia akan mengalami kekerasan fisik.
Konstruksi seksual
Hal yang menjadi persoalan besar adalah rekaman visual tersebut kemudian dapat digunakan oleh pasangan kencan secara semena-mena untuk mengendalikan, memeras, menghukum, membalas dendam, bahkan juga untuk keuntungan ekonomi. Perlu pula kita catat bahwa hampir selalu korban revenge porn adalah perempuan.
Baca Juga: Lindungi Perempuan dari Kekerasan Daring
Pada masa lalu ketika foto dan video seksual belum demikian populer, seorang laki-laki sudah dapat mengancam pacarnya yang akan meninggalkannya. Ia mungkin mengancam bahwa ia akan menceritakan apa saja yang sudah mereka lakukan kepada keluarga si perempuan dan kepada orang lain.
Ancaman tersebut umumnya cukup ampuh untuk membuat si perempuan terpaksa bertahan dalam hubungan yang menyakitkan.
Si perempuan sangat khawatir nama baiknya rusak atau keluarganya akan mengalami kekacauan. Misalnya, ibu atau ayahnya akan mengalami serangan jantung, ia akan diusir dari rumah, atau ayah dan ibu akan berkonflik tajam bila keluarga mengetahui apa yang sudah dilakukannya.
Di lain pihak, meski aktivitas seksual dilakukan bersama oleh laki-laki dan perempuan, yang artinya, tindakan yang dianggap ’tidak pantas’ tersebut juga dilakukan si laki-laki, ia tidak merasakan beban apa pun. Ia malahan memanfaatkan hal itu untuk mengendalikan pasangan perempuannya, atau mencari keuntungan.
Mengapa demikian? Dalam masyarakat ada konstruksi seksualitas yang menguntungkan laki-laki dan di sisi lain, amat menyudutkan dan merugikan perempuan. Laki-laki dianggap wajar saja aktif secara seksual di luar konteks perkawinan, sementara perempuan yang terlibat dalam seks di luar perkawinan dianggap kotor, murahan, dan bukan perempuan baik-baik.
Baca Juga: Kekerasan Daring seperti Puncak Gunung Es
Masyarakat tidak pernah membahas laki-laki harus ’perjaka’ sebelum perkawinan, tetapi sering meributkan perempuan harus menjaga ’keperawanan’-nya. Bahkan, lembaga negara pun mungkin menggunakan tolok ukur moralitas yang sempit dan tidak tepat ini.
Karena itu, dapat dipahami (sebagian) laki-laki senang memanfaatkan posisi yang sangat menguntungkan tersebut. Sementara itu, cukup banyak perempuan menderita akibat ketakutan kehilangan nama baik.
Jangka panjang
Bayangkan, kita salah berbusana dalam suatu acara penting. Atau sedang menggunakan pakaian yang tidak pantas dan serombongan tamu mendadak datang ke rumah melihat kita dalam keadaan demikian. Mungkin pengalaman tersebut akan terus teringat sebagai kenangan yang membuat kita malu.
Dibandingkan pengalaman menyakitkan lain, trauma terkait aspek seksual menghadirkan berbagai masalah kesehatan mental lebih parah.
Bayangkan bila gambar atau video diri yang minim busana apalagi sedang beraktivitas seksual menyebar dalam jaringan atau daring tak terkendali. Itu menjadi mimpi sangat buruk yang dapat terus berputar menghantui hingga bertahun-tahun setelah kejadian. Menghadirkan rasa malu dan rasa tak berdaya yang tak terkira bahkan mungkin tak terkatakan.
Dampak dari revenge porn dapat sangat serius dan berjangka panjang. Penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan pengalaman menyakitkan lain, trauma terkait aspek seksual menghadirkan berbagai masalah kesehatan mental lebih parah.
Lebih memprihatinkan lagi, bukan tidak mungkin, korban dari revenge porn justru dipersalahkan, mengalami perundungan lebih lanjut dari masyarakat, bahkan rentan diposisikan sebagai pelaku di hadapan hukum.
Tampaknya kita—khususnya yang berada dalam posisi lebih rentan—perlu berpikir lebih panjang, menetapkan batas-batas yang tegas dalam pergaulan, dan berani berkata ”tidak” ketika merasa tidak nyaman.
Bila telah telanjur menjadi korban, tak perlu menyesal berkepanjangan. Semoga dapat memperoleh pendampingan dan bantuan agar dapat memperoleh keberdayaan diri kembali.