Independensi Parpol dan Demokrasi Internal
Keberadaan seorang ketua umum partai politik yang terlalu lama memimpin akan membuat parpol tak sehat. Namun, upaya mengatur masa jabatan ketua umum dalam batas tertentu bertentangan dengan prinsip eksistensi parpol.
Saat ini ada upaya untuk mengatur lebih dalam kehidupan partai politik oleh negara dengan memberikan batasan periode jabatan ketua umum partai.
Alasan mendasarnya adalah bahwa keberadaan seorang ketua umum yang terlalu lama memimpin akan membuat parpol tidak sehat dan berkecenderungan otoriter. Situasi itu saat ini sudah menggejala dengan ketua umum di beberapa partai layaknya pemilik partai yang kemudian diperlakukan sebagai demigod (setengah dewa).
Dalam situasi itu, partai kemudian seolah menjelma menjadi milik perseorangan (personalized party). Hal ini jelas bertentangan dengan upaya membangun demokrasi internal di dalam partai dan menjadi paradoks karena parpol merupakan salah satu elemen penting dari demokrasi.
Situasi antidemokrasi di parpol ini juga ditengarai menjadi hulu dari segenap perilaku nondemokratis politisi yang kemudian turut memberikan dampak bagi lemahnya praktik demokrasi di Indonesia saat ini, termasuk politik dinasti dan oligarki.
Sepintas pandangan untuk mengatur masa jabatan ketua umum bisa dipahami demi melihat beberapa indikator yang menunjukkan lemahnya demokrasi internal dan kehidupan demokrasi saat ini. Meski demikian, pandangan itu tidak semuanya benar, bahkan dalam batas-batas tertentu bertentangan dengan prinsip eksistensi parpol itu sendiri.
Baca juga: Presiden: Kalau Luhut, Bahlil, Bamsoet Punya Keinginan, Itu Urusan Golkar
Alasan perlunya pembatasan
Terdapat beberapa alasan mengapa aturan mengenai pembatasan masa jabatan ketua umum partai itu, apalagi jika demikian singkat, perlu dipertimbangkan secara bijak.
Pertama, alasan filosofis. Parpol pada dasarnya sebuah institusi mandiri yang digerakkan oleh kepentingan para pendiri dan pendukungnya untuk mewujudkan sebuah tatanan politik atau kenegaraan atas sebuah keyakinan politik yang dianggap ideal.
Demikian penting independensi sebuah partai, hingga soal seberapa besar otonomi atau kemandirian yang dimiliki oleh partai disepakati sebagai salah satu indikator sebuah partai itu terlembaga atau tidak, oleh para ahli termasuk Samuel Huntington (1968) ataupun Vicky Randall dan Lars Svasand (2002).
Nuansa dan signifikansi sebuah independensi bagi partai itu demikian kental di negara-negara demokrasi karena hal ini dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan berserikat, berpikir, berekspresi, dan memperjuangkan kepentingan. Partai dengan jelas didudukkan sebagai institusi yang dipersilakan menyusun visi dan program kerja dan melakukan pengaturan atas dirinya sendiri, termasuk kemerdekaan dalam menyusun aturan main internal.
Sebaliknya, di negara-negara nondemokratis, partai kerap sekadar kepanjangan tangan dari kepentingan rezim, yang seolah-olah independen, tetapi sebenarnya mewakili kepentingan penguasa saja. Negara menjelma menjadi lembaga yang mengatur berbagai hal terkait parpol, termasuk mengatur perikehidupan keseharian partai.
Di dalam konteks Indonesia, kita pernah mengalami sebuah kehidupan politik di mana partai-partai hanya merupakan ”aksesori demokrasi” yang demikian disupervisi dan dikontrol negara. Bahkan, ketua umum partai pun harus mendapatkan ”lampu hijau” terlebih dulu dari presiden sebagai penguasa untuk dapat memimpin sebuah partai. Pada masa-masa kelam ini, partai mati suri, begitu juga dengan hakikat demokrasi.
Di dalam konteks Indonesia, kita pernah mengalami sebuah kehidupan politik di mana partai-partai hanya merupakan ’aksesori demokrasi’ yang demikian disupervisi dan dikontrol negara.
Pengaturan masa jabatan ketua umum dalam cara pandang peran dan kedudukan partai dalam sistem demokrasi, dengan demikian, harus disikapi hati-hati karena secara filosofis merefleksikan adanya upaya campur tangan pengaturan internal yang berpotensi mencederai makna independensi partai. Hal itu juga tidak sejalan dengan hakikat demokrasi yang memosisikan partai politik sebagai lembaga yang mandiri dalam segenap aspeknya.
Kedua, keberadaan seorang ketua umum dengan periode waktu yang lama tidak dapat begitu saja ditafsirkan sebagai cerminan matinya demokrasi internal partai atau simbol otoritarianisme. Kemungkinan itu memang ada, tetapi kemungkinan bahwa hal itu dikehendaki, secara demokratis, oleh kader partai juga ada.
Kenyataannya di negara-negara demokratis terdapat beberapa ketua partai yang memimpin lebih dari sepuluh tahun. Di Inggris, misalnya, Winston Churchill dan Margaret Thatcher sama-sama pernah memimpin Partai Konservatif selama 15 tahun. Clement Atlee memimpin Partai Buruh hingga dua dekade lamanya (1935-1955).
Di generasi yang lebih belakangan, David Cameron memimpin Partai Konservatif selama 11 tahun (2005-2016), sedangkan untuk Partai Buruh ada Tony Blair yang memimpin Partai Buruh selama 13 tahun (1994-2007). Kelima orang itu menjadi ikon tersendiri dalam sejarah perpolitikan Inggris saat menjadi perdana menteri.
23 Partai Politik Siap Bertarung dalam Kontestasi Pemilihan Umum 2024
Mereka memimpin dalam waktu lama berdasarkan kepercayaan penuh dari anggota partai, yang tumbuh dari keyakinan bahwa merekalah pemimpin terbaik dengan prestasi kerja yang mengesankan. Keberadaan mereka yang lama memimpin partai juga tidak serta-merta merusak demokrasi internal. Sebaliknya, mereka produk dari demokrasi internal partai, yang juga berkesadaran melanjutkan sejarah hidup demokrasi dan aturan main di partainya.
Ketiga, persoalan kontinuitas perjuangan dan stabilitas partai merupakan hal penting dalam kelanjutan hidup partai. Pergantian kepemimpinan partai yang cepat akan membawa penyegaran bagi partai. Namun, di sisi lain, pergantian kepemimpinan yang belum saatnya atau terlalu cepat akan berpotensi menyebabkan arah perjuangan partai, atau penafsiran atasnya, menjadi mudah berubah-ubah.
Perubahan ini jika tak diantisipasi dengan baik dan dijalankan dengan kesadaran ideologis tinggi akan mudah membawa guncangan bagi partai. Selain itu, partai bisa saja belum seutuhnya siap untuk bisa melakukan suksesi yang dipaksakan harus terjadi secara berkala dengan periode tertentu.
Di tengah ketidaksiapan itu, keharusan pergantian kepemimpinan partai justru dapat memicu tumbuhnya faksionalisasi yang berujung pada keretakan partai. Partai juga bisa jadi akan kehilangan ”masa keemasan” sebuah kepemimpinan dengan cepat, yang kemudian digantikan oleh sebuah kepemimpinan baru yang belum memiliki kualitas yang sama.
Kenyataannya selama ini tanpa adanya pengaturan dari negara pun beberapa partai telah melakukan penggantian kepemimpinan secara berkala dengan baik.
Kontrol ada di partai
Keempat, kontrol demokratis partai pada akhirnya bukan terletak di tangan penguasa atau pemerintah, melainkan harus menjadi kesadaran partai itu sendiri. Partai dalam perjalanannya bisa jadi akan melalui masa-masa kepemimpinan yang lama. Namun, pada akhirnya bukan tidak mungkin akan mengalami pula masa-masa yang lebih dinamis dengan kepemimpinan yang silih berganti secara cepat. Biarlah pengalaman tiap-tiap partai yang nantinya mendewasakan partai secara alamiah dalam memilih pemimpin terbaiknya, mempertahankan, dan memberhentikannya.
Kenyataannya selama ini tanpa adanya pengaturan dari negara pun beberapa partai telah melakukan penggantian kepemimpinan secara berkala dengan baik. Bukan tidak mungkin itu akan terjadi di partai-partai lain seiring dengan silih bergantinya elite partai, yang akan turut membentuk political wisdom di setiap partai.
Hal yang pasti, penumbuhan demokrasi internal partai juga terkait erat dengan hal-hal seperti kontinuitas kaderisasi, penumbuhan kesadaran ataupun praktik nilai-nilai demokrasi secara meluas, kemapanan finansial partai, pola perekrutan yang didasarkan pada merit system, dan komitmen menjalankan aturan suksesi yang ada. Sebuah pergantian kepemimpinan tidak serta-merta memapankan demokrasi internal jika hal-hal tersebut tidak terjadi.
Firman Noor,Pemerhati Masalah Politik dan Demokrasi